DPR Kaya Raya, Rakyat Tetap Merana
Oleh : Meidy Mahdavikia
Masyarakat kembali digegerkan oleh kabar fantastis mengenai gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejumlah media menyoroti bahwa setiap anggota DPR bisa mengantongi penghasilan resmi lebih dari Rp 100 juta per bulan. Jumlah itu berasal dari gaji pokok serta berbagai macam tunjangan, mulai dari transportasi, perumahan, komunikasi, hingga tunjangan beras dan bensin.
Kondisi ini memicu kritik, sebab dianggap melukai hati rakyat yang tengah berjuang menghadapi perekonomian sulit. Sementara itu, _Tempo.co_ (19/8/2024) melaporkan bahwa selain tunjangan pokok, DPR juga mendapatkan tunjangan bensin sebesar Rp 7 juta dan tunjangan beras Rp 12 juta per bulan. Bahkan, menurut _BBC.com_ (19/8/2024), fasilitas mewah yang dinikmati para legislator dipandang tidak sepadan dengan kinerja DPR yang kerap dipertanyakan, baik dalam hal legislasi maupun fungsi pengawasan.
Fenomena ini semakin memperlebar jarak antara rakyat dan wakilnya. Rakyat kecil harus bergulat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya kesehatan, dan pendidikan, sementara para elite politik menikmati kemewahan dari uang pajak rakyat. Kritik pun bermunculan, menilai bahwa pendapatan setinggi itu tidak layak ketika rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi.
Dari Amanah Menjadi Ladang Harta
Kesenjangan semacam ini tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang dianut negeri ini, yakni demokrasi sekuler bercorak kapitalis. Dalam sistem tersebut, jabatan politik sering dipandang sebagai jalan untuk mendapatkan keuntungan materi, bukan amanah. Politik pun berubah menjadi ajang transaksional, di mana jabatan diperoleh melalui modal besar, lalu modal itu dikembalikan dengan berbagai fasilitas ketika berkuasa.
Tidak mengherankan jika para legislator dengan mudah menentukan besaran gaji dan tunjangan mereka sendiri. Mereka adalah pembuat kebijakan sekaligus penerima manfaat langsung dari kebijakan itu. Inilah ciri khas sistem sekuler, yaitu aturan dibuat berdasarkan kepentingan manusia, bukan syariat Allah SWT. Orientasi duniawi mendominasi, sementara empati terhadap rakyat perlahan hilang.
Ketika agama dipisahkan dari kehidupan publik, jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, tetapi sebagai instrumen untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya, lahirlah kesenjangan tajam, di satu sisi rakyat banyak menjerit kesulitan, sedangkan di sisi lain pejabat politik bergelimang fasilitas.
Fastabiqul Khairat, Bukan Fastabiqul Harta
Islam memandang jabatan politik dengan cara yang berbeda. Dalam sistem pemerintahan Islam, asas yang mendasari adalah aqidah Islam, dan seluruh aturan bersumber dari syariat Allah SWT. Anggota Majelis Umat adalah lembaga dalam Islam yang berfungsi sebagai wakil umat. Mereka tidak berhak menjadikan jabatannya sebagai sarana memperkaya diri. Mereka sadar bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Islam menegaskan bahwa pemimpin dan pejabat hanya berhak mendapatkan kompensasi secukupnya untuk hidup layak, bukan untuk bermewah-mewahan. Harta negara yang tersimpan dalam baitulmal digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk fasilitas pribadi pejabat. Dengan prinsip ini, tidak akan ada celah bagi seorang pejabat untuk menetapkan tunjangan fantastis bagi dirinya sendiri.
Selain itu, Islam membentuk pribadi-pribadi beriman yang menjadikan syariat sebagai pengikat perilaku. Setiap muslim, termasuk anggota majelis umat, wajib memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) yang mendorongnya untuk fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan), bukan dalam mencari keuntungan pribadi. Kesadaran iman inilah yang akan mencegah penyalahgunaan jabatan.
Dengan demikian, solusi bagi persoalan tunjangan DPR bukanlah sekadar menuntut pengurangan angka, tetapi mengganti sistem sekuler yang menjadi akar masalah dalam kehidupan sekarang ini. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah (menyeluruh), jabatan kembali dimaknai sebagai amanah, bukan privilege (hak istimewa). Saat itulah rakyat benar-benar diwakili, keadilan ditegakkan, dan kesenjangan bisa diakhiri.
Posting Komentar