-->

Tunjangan Fantastis DPR, Rakyat Menjerit, Wakilnya Hidup Bergelimang harta

Oleh : Henise

Delapan dekade lebih Indonesia merdeka, tetapi jurang kesenjangan sosial semakin lebar. Ironisnya, kesenjangan itu justru dipertontonkan terang-terangan di lembaga yang mestinya menjadi simbol suara rakyat: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Belakangan, publik dikejutkan dengan informasi bahwa gaji plus tunjangan anggota DPR bisa menembus lebih dari Rp100 juta per bulan. Angka itu muncul dari kombinasi gaji pokok, tunjangan beras, tunjangan bensin, tunjangan komunikasi, hingga tunjangan aspirasi. Semua serba fantastis. Bayangkan, ada tunjangan bensin Rp7 juta per bulan, tunjangan beras Rp12 juta, dan masih banyak tambahan lainnya.

Di saat yang sama, rakyat yang mereka wakili sedang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Harga beras meroket, biaya pendidikan menjerat, lapangan kerja sulit didapat. Para pengamat pun menilai tunjangan DPR “tidak layak di tengah sulitnya ekonomi masyarakat” dan “tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tak memuaskan.” Kritik ini wajar, sebab publik bisa menilai sendiri: rapat sering kosong, legislasi terbengkalai, sementara yang ramai justru kontroversi dan drama politik.

Demokrasi Kapitalisme: Kesenjangan yang Tak Terhindarkan

Mengapa fenomena ini terus berulang? Jawabannya terletak pada sistem yang melandasinya: demokrasi kapitalisme.
Dalam demokrasi, jabatan politik tak bisa dilepaskan dari politik transaksional. Materi adalah tujuan, kursi parlemen adalah kendaraan. Maka, jangan heran bila begitu terpilih, hal pertama yang diutamakan bukan lagi rakyat, melainkan kepentingan pribadi dan kelompok. Anggaran bisa mereka tentukan sendiri, bahkan untuk menambah tunjangan yang sudah selangit.

Kesenjangan adalah keniscayaan dalam sistem ini. Rakyat terus dicekik dengan berbagai kesulitan hidup, sementara elite politik hidup mewah tanpa empati. Jabatan bukan lagi amanah, tetapi investasi. Bukan lagi jalan untuk melayani, melainkan alat untuk memperkaya diri.
Apakah ini yang disebut “wakil rakyat”? Jika benar mewakili, seharusnya mereka merasakan derita rakyat, bukan justru menambah jarak dengan gaya hidup yang tak terjangkau.

Islam Menawarkan Paradigma Berbeda

Islam memandang jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa. Siapa pun yang diberi kepercayaan memegang urusan umat, ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah asas yang membedakan antara demokrasi kapitalis dengan sistem Islam. Dalam demokrasi, asasnya adalah akal manusia—yang sarat kepentingan, bisa berubah, dan sering tunduk pada materi. Dalam Islam, asasnya adalah akidah. Syariat Allah menjadi pedoman, tidak bisa diganggu gugat oleh hawa nafsu.

Majelis umat dalam sistem Islam berfungsi memberi masukan, kontrol, dan penyampaian aspirasi. Bukan tempat bagi elit untuk mengatur tunjangan pribadi. Setiap anggotanya wajib berkepribadian Islam, terikat pada hukum Allah, dengan kesadaran penuh bahwa setiap kebijakan yang mereka ambil akan ditanya di akhirat.

Dengan akidah sebagai landasan, jabatan tidak akan digunakan untuk memperkaya diri. Keimanan menjadi penjaga agar setiap langkah selalu dalam koridor syariat. Alih-alih berlomba memperbesar tunjangan, anggota majelis umat justru berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), memperjuangkan hak rakyat agar sejahtera.

Bayangan Keadilan dalam Sistem Islam

Mari kita bayangkan, jika prinsip Islam diterapkan:

• Pertama, tidak ada lagi tunjangan yang membebani rakyat. Setiap pejabat mendapatkan haknya sekadar untuk menjalankan tugas, bukan fasilitas mewah yang menjauhkan mereka dari realitas rakyat.

• Kedua, orientasi kerja bukan pada keuntungan pribadi, melainkan keridhaan Allah. Ini membuat para pejabat takut untuk berkhianat, karena sadar ada hisab yang lebih berat daripada sekadar kritik publik.

•Ketiga, rakyat benar-benar menjadi fokus. Negara dalam Islam menempatkan dirinya sebagai ra’in (pengurus), yang bertugas memastikan kebutuhan dasar setiap orang—pendidikan, kesehatan, pangan—terpenuhi secara layak dan merata.

Maka, tidak ada istilah wakil rakyat yang sibuk menaikkan tunjangan ketika rakyat kelaparan. Justru mereka yang berada di garda terdepan memastikan tidak ada satu pun rakyat yang terabaikan.

Penutup: Saatnya Meninjau Ulang

Kasus tunjangan DPR yang fantastis hanyalah satu potret buram dari wajah demokrasi kapitalisme. Sistem ini membuka peluang lebar bagi penyalahgunaan kekuasaan, memfasilitasi politik transaksional, dan menciptakan jurang kesenjangan yang semakin dalam.

Rakyat boleh marah, boleh kecewa, boleh menuntut. Tetapi jika akar masalahnya tidak disentuh, maka fenomena serupa akan terus berulang. Selama demokrasi kapitalisme tetap menjadi pijakan, selama jabatan masih dipandang sebagai jalan memperkaya diri, selama materi tetap menjadi tujuan, rakyat akan terus menjadi korban.

Islam menawarkan paradigma yang berbeda: asasnya akidah, tujuannya ridha Allah, orientasinya melayani umat. Anggota majelis umat tidak akan berani menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, karena sadar amanah ini berat dan akan dihisab di akhirat.

Maka, persoalan ini bukan sekadar soal tunjangan fantastis, tetapi soal pilihan sistem. Apakah kita rela terus hidup di bawah sistem yang zalim, ataukah kita mau berjuang menghadirkan sistem Islam yang menegakkan keadilan hakiki?

Wallahu a'lam