-->

Tunjangan DPR naik, Kehidupan Rakyat Makin sulit


Oleh : Azzah Sri Labibah

Tunjangan para anggota dewan kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, pemerintah mengungkapkan bahwa anggota DPR mendapat tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, membuat pendapatan resmi mereka melampaui Rp100 juta tiap bulannya. Menurut para pengamat, hal ini dianggap tidak pantas di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit, serta tidak seimbang dengan kinerja mereka yang dinilai mengecewakan. (bbcnewsindonesia.com, 19/8/2025)

Pemberian tunjangan ini bertujuan agar para anggota dewan dapat lebih fokus dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Namun, melihat kondisi yang ada, timbul pertanyaan penting: apakah tunjangan tersebut benar-benar meningkatkan kinerja dewan, atau justru hanya menambah beban keuangan negara?

Kebijakan tunjangan bagi anggota dewan berpotensi menambah pemborosan anggaran negara. Di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk, pemerintah justru menetapkan berbagai tunjangan besar bagi para wakil rakyat. Kebijakan ini jelas tidak mencerminkan kepentingan publik.

Selain itu, kebijakan ini juga dianggap tidak menunjukkan empati terhadap berbagai kesulitan yang sedang dihadapi masyarakat, mulai dari maraknya PHK, melemahnya daya beli, hingga meningkatnya biaya pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Situasi ini diperburuk dengan lemahnya mekanisme pengawasan penggunaan dana tunjangan anggota dewan, terlebih karena dana tersebut ditransfer langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota. Hal ini menimbulkan potensi terjadinya penyalahgunaan atas fasilitas yang disediakan negara. Tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat, sulit dipastikan bahwa tunjangan tersebut benar-benar dimanfaatkan sesuai tujuan.

Ironisnya ketika masyarakat masih bergelut dengan persoalan sulit dan mahalnya kepemilikan rumah, para anggota dewan justru dengan mudah menerima transfer tunjangan perumahan. Fakta ini tentu semakin melukai perasaan rakyat. Di sisi lain, anggota dewan memperoleh tunjangan perumahan dengan nilai yang cukup besar. Hal ini semakin memperlebar kesenjangan ketidakadilan antara elit politik dan masyarakat yang mereka wakili.

Apabila dikaitkan dengan berbagai keputusan dewan yang kerap merugikan masyarakat, pemberian tunjangan ini wajar menimbulkan kritik. Kebijakan yang cenderung hanya menguntungkan sebagian kecil pihak menjadikan tunjangan tersebut dianggap tidak layak. Menjadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin para wakil rakyat menikmati fasilitas mewah sementara kebijakan yang mereka keluarkan justru semakin menekan masyarakat dalam kondisi ekonomi yang sulit?

Bukan hal yang mengejutkan apabila DPR mendapat kritik dari berbagai pihak, karena besarnya anggaran tersebut telah menyinggung perasaan masyarakat. Dengan gaji dan fasilitas yang begitu besar, kinerja mereka justru jauh dari harapan. Para wakil rakyat seharusnya merasa malu, karena apa yang mereka nikmati sejatinya bersumber dari pajak masyarakat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian anggota dewan dalam sistem kapitalisme lebih berorientasi pada uang, fasilitas, dan tunjangan. Hal ini merupakan konsekuensi dari praktik politik transaksional yang menjadi modal utama untuk menduduki kursi di DPR. Fakta bahwa mereka lebih mengutamakan tunjangan daripada bekerja demi kepentingan rakyat menjadi indikator kuat bahwa kinerja DPR cenderung berkisar pada perebutan kekuasaan. Ditambah dengan praktik politik dinasti yang marak, potensi penyalahgunaan anggaran negara semakin besar. Akhirnya, rakyat kembali hanya menjadi penonton dalam pesta demokrasi, bukan sebagai pusat perhatian para wakilnya.

Wakil Rakyat dalam Islam

Wakil rakyat pada dasarnya memegang peran penting dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dalam sistem Islam, terdapat sebuah lembaga bernama Majelis Umat, yang beranggotakan perwakilan kaum muslim dan berfungsi menyampaikan pendapat sekaligus menjadi tempat rujukan khalifah dalam meminta masukan serta nasihat mengenai berbagai persoalan.

Anggota Majelis Umat dipilih melalui mekanisme pemilu, bukan lewat penunjukan. Mereka berfungsi sebagai wakil masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan menjadi representasi, baik secara individu maupun kelompok. Dalam sistem Islam, warga non-Muslim pun diperkenankan menjadi anggota Majelis Umat, khususnya untuk menyampaikan pengaduan mengenai ketidakadilan penguasa, penerapan kebijakan yang dirasa merugikan mereka, maupun keterbatasan akses terhadap hak-hak tertentu.

Posisi Majelis Umat dalam Islam memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan wakil rakyat dalam sistem demokrasi, terutama dari segi peran. Dalam sistem demokrasi kapitalis, wakil rakyat berfungsi sebagai pembuat undang-undang sekaligus penentu anggaran. Fungsi semacam ini tidak dimiliki oleh Majelis Umat. Mereka semata-mata bertindak sebagai representasi umat dalam rangka melakukan muhasabah (pengawasan dan koreksi) terhadap para pejabat negara (al-hukkam) serta memberikan syura (nasihat/musyawarah). Adapun legislasi hukum merupakan wewenang khalifah selaku kepala negara, yang dijalankan melalui ijtihad serta tabanni (pengadopsian) hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Begitu pula penetapan anggaran negara, sepenuhnya menjadi kewenangan khalifah melalui pengelolaan baitulmal.

Sejatinya, anggota Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang berhak atas gaji. Jika pun ada anggaran yang dialokasikan untuk mendukung kinerja mereka, bentuknya hanya berupa santunan dalam kadar yang wajar, bukan tunjangan besar sebagaimana yang diterima anggota dewan. Demikian pula jika mereka memperoleh fasilitas dari negara, hal itu hanyalah hak dasar yang juga berlaku bagi setiap warga negara.

Dengan demikian, peran anggota Majelis Umat pada masa peradaban Islam, terlihat jelas bahwa motivasi mereka dalam mewakili rakyat sangat berbeda dengan anggota dewan pada masa kini. Anggota Majelis Umat bertugas mewakili umat berlandaskan iman serta kesadaran penuh akan tanggung jawab sebagai penyambung aspirasi masyarakat. Kesadaran ini membuat mereka fokus pada amanah yang harus dijalankan, karena hal itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta‘ala. Mereka sama sekali tidak terdorong oleh keinginan untuk memanfaatkan fasilitas negara, menuntut hak istimewa, atau memperkaya diri. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., yaitu: "Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR. Al Bukhari)

Oleh karena itu, keimanan yang tertanam kuat dalam diri setiap wakil rakyat menjadi jaminan atas amanah dalam menjaga seluruh kepentingan masyarakat. Selain itu, negara yang berlandaskan sistem Islam juga akan memberikan sanksi tegas kepada setiap wakil rakyat yang menyalahgunakan kewenangan. Para wakil rakyat menyadari sepenuhnya bahwa tanggung jawab mereka sebagai pengemban amanah rakyat akan dimintai pertanggungjawaban. Konsep inilah yang mencegah mereka dari sikap khianat terhadap kepercayaan publik.

Konsep ini hanya dapat terwujud melalui sistem Islam yang menegakkan syariat secara menyeluruh. Satu-satunya institusi yang amanah dalam menjaga serta menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu rakyat. Dengan adanya sistem ini, umat akan terlindungi, kesejahteraan terwujud dan keberkahan menjadi sebuah keniscayaan.

Wallahu a’lam bii Ash-Shawab.