-->

Ketangguhan Anak Gaza vs. Fenomena Duck Syndrome Mahasiswa, Dua Wajah Generasi di Dua Dunia

Oleh : Ghooziyah

Dunia hari ini memperlihatkan dua potret generasi muda yang begitu kontras. Di satu sisi, kita menyaksikan anak-anak Gaza yang tumbuh dalam kobaran perang, hidup di bawah ancaman rudal, kelaparan, kehilangan orang tua, dan kehilangan rumah. Namun mereka tetap teguh: belajar dengan serius, bercita-cita tinggi, dan memegang erat identitas mereka sebagai penjaga Masjid Al-Aqsa.

Di sisi lain, ada fenomena yang disebut duck syndrome—awal mula istilah ini berasal dari mahasiswa Stanford di Amerika Serikat, namun kini menyebar ke kampus-kampus di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mahasiswa tampak tenang di permukaan, seolah tidak ada masalah, padahal di dalam dirinya tersembunyi tekanan luar biasa. Mereka harus memenuhi tuntutan perfeksionis ala kapitalisme: IPK tinggi, karier menjanjikan, gaya hidup modern, serta ekspektasi sosial yang terus membebani. Akibatnya, banyak yang jatuh dalam stres, kecemasan, bahkan depresi.

Pertanyaannya, mengapa anak-anak Gaza yang hidup di tengah perang justru bisa lebih tangguh, sedangkan mahasiswa di negeri aman justru rentan hancur mental?

Gaza: Generasi yang Ditempa oleh Akidah dan Perjuangan

Kehidupan di Gaza tidaklah mudah. Penjajah Zionis berusaha mengosongkan wilayah itu dengan segala cara: pengeboman rumah sakit dan sekolah, penghancuran masjid, pembunuhan massal, hingga melumpuhkan pasokan makanan. Anak-anak tumbuh dengan menyaksikan ayah mereka syahid, ibu mereka luka-luka, dan rumah mereka rata dengan tanah.

Namun, justru dalam kondisi yang mengerikan itu, lahir generasi yang tangguh. Mereka tetap bersekolah di reruntuhan bangunan, tetap menghafal Al-Qur’an di balik tenda darurat, tetap bercita-cita ingin menjadi dokter, insinyur, atau mujahid yang membebaskan Al-Aqsa. Semangat mereka tidak padam, karena akidah Islam menjadi pondasi yang kokoh.

Bagi mereka, belajar bukan sekadar mencari gelar atau pekerjaan. Belajar adalah bagian dari jihad, sebuah ibadah, dan jalan untuk membela agama Allah. Karena itu, meskipun perang mendera, mereka tidak berhenti. Bahkan, pendidikan Qur’ani yang mereka dapatkan menumbuhkan kesadaran bahwa hidup ini bukan sekadar untuk bertahan, melainkan untuk memperjuangkan tegaknya kalimat Allah.

Duck Syndrome: Generasi yang Terjerat Standar Kapitalisme

Sangat berbeda dengan kondisi mahasiswa di negeri-negeri aman. Fenomena duck syndrome kini merajalela. Mahasiswa berusaha keras terlihat baik-baik saja, padahal mereka berenang dengan penuh kepanikan di bawah permukaan. Mereka terjebak pada standar hidup kapitalisme yang menuntut segalanya harus “sempurna”: nilai tinggi, prestasi akademik gemilang, pergaulan modern, gaya hidup sosial media yang memukau, sekaligus karier masa depan yang menjanjikan.

Kenyataannya, semua itu sulit dicapai sekaligus. Rata-rata mahasiswa akhirnya hidup dalam tekanan berat. Mereka harus belajar keras demi IPK, sambil bekerja paruh waktu demi biaya kuliah, sekaligus menjaga citra sosial di hadapan teman-temannya. Mereka terlihat tenang, tapi di balik itu ada stres, kecemasan, dan kelelahan yang terus menggerogoti.

Inilah buah dari sistem kapitalisme-sekuler. Sistem ini memutus hubungan manusia dengan Sang Pencipta, memisahkan agama dari kehidupan, lalu meletakkan standar kebahagiaan pada materi dan pencapaian duniawi. Akibatnya, banyak generasi muda kehilangan arah hidup, tidak tahu untuk apa mereka belajar, dan tidak tahu apa prioritas amal dalam kehidupan.

Dua Dunia, Dua Paradigma

Mengapa perbedaan ini begitu mencolok?

Anak-anak Gaza dididik dalam paradigma Islam. Sejak kecil, mereka terbiasa dengan Al-Qur’an, terbiasa mendengar tentang Masjid Al-Aqsa, terbiasa melihat orang tua mereka berkorban demi agama. Semua itu membentuk kepribadian Islam yang kokoh: berani, sabar, tabah, dan yakin pada janji Allah.

Sebaliknya, mahasiswa di negeri kapitalisme dididik dalam paradigma sekuler. Mereka sejak kecil dijejali dengan orientasi duniawi: ranking, gelar, pekerjaan, gaji besar, gaya hidup keren. Ukuran sukses ditentukan oleh pandangan manusia, bukan ridha Allah. Maka ketika tidak sanggup memenuhi ekspektasi itu, jiwa mereka rapuh dan mudah runtuh.

Solusi Islam: Menyatukan Generasi, Menyatukan Perjuangan

Islam memberikan solusi jelas untuk kedua persoalan ini.

1. Membina generasi dengan akidah dan syariat.
Anak-anak Gaza bisa tangguh karena pendidikan Qur’ani dan semangat perjuangan membela agama Allah. Inilah yang harus dihidupkan kembali di seluruh negeri Muslim. Pendidikan Islam sejati akan melahirkan pemuda yang kokoh iman, jelas tujuan hidupnya, dan kuat menghadapi tantangan zaman.

2. Mengakhiri penjajahan dan penderitaan Gaza.
Ketangguhan anak-anak Gaza memang menginspirasi, tetapi penderitaan mereka tidak boleh dibiarkan. Dibutuhkan penyatuan kekuatan umat Islam di seluruh dunia, dipimpin oleh khilafah yang mampu menggerakkan tentara kaum Muslimin untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis.

3. Menyadarkan generasi muda dari jebakan kapitalisme.
Mahasiswa yang terjebak duck syndrome harus sadar bahwa standar kapitalisme hanyalah jebakan. Hidup bukan soal memenuhi ekspektasi duniawi, melainkan soal memenuhi amanah sebagai hamba Allah. Dengan iman yang kuat, mereka akan menemukan makna sejati hidup dan terbebas dari tekanan palsu.

4. Perubahan sistem adalah keniscayaan.
Selama kapitalisme-sekuler tetap menjadi sistem global, krisis multidimensi ini tidak akan berakhir. Butuh perubahan mendasar menuju sistem Islam yang mampu mengembalikan manusia kepada fitrah, memenuhi kebutuhan dasar jasmani, menjaga naluri mempertahankan diri, mengarahkan naluri beragama pada jalan yang benar, dan membina generasi untuk menjaga martabat umat.

Penutup

Anak-anak Gaza mengajarkan pada kita arti ketangguhan sejati: tetap belajar di bawah serangan bom, tetap bercita-cita di tengah kehilangan, dan tetap tersenyum meski dikepung derita. Sementara itu, fenomena duck syndrome menunjukkan bagaimana generasi muda di negeri aman bisa hancur oleh tekanan hidup buatan sistem kapitalisme.

Perbedaan ini lahir dari dua paradigma. Gaza hidup dengan paradigma Islam yang menumbuhkan iman dan keberanian. Mahasiswa di negeri kapitalis hidup dengan paradigma sekuler yang menumbuhkan ilusi dan tekanan.

Sudah saatnya kita belajar dari Gaza: membangun generasi dengan Islam, bukan dengan standar kapitalisme. Sebab hanya dengan Islam, umat ini bisa melahirkan generasi tangguh yang akan membebaskan Al-Aqsa sekaligus membebaskan manusia dari krisis peradaban.

Wallahu a'lam