-->

Tunjangan DPR Menggunung, Rakyat Merintih, Demokrasi untuk Siapa?


Oleh : Umma Almyra

Ketika berita tentang gaji dan tunjangan anggota DPR kembali mencuat ke publik, rasa getir sulit ditepis. Anggota DPR disebut bisa mengantongi pendapatan resmi lebih dari Rp100 juta setiap bulan. Angka itu sudah termasuk gaji pokok, tunjangan rumah, tunjangan beras, tunjangan transportasi, tunjangan aspirasi, hingga tunjangan lain-lain yang jumlahnya lebih dari cukup untuk hidup mewah.

Bayangkan, hanya untuk tunjangan transportasi bisa mencapai Rp7 juta, dan tunjangan beras sekitar Rp12 juta. Padahal, banyak rakyat di pelosok negeri yang untuk membeli beras 5 kilogram saja harus memutar otak dan menekan pengeluaran lain. Ketimpangan ini terasa seperti jurang yang kian lebar: wakil rakyat menikmati fasilitas serba ada, sementara rakyat yang diwakilinya bergulat dengan harga kebutuhan pokok, utang, dan pekerjaan serabutan.

Seorang pengamat politik dalam wawancara dengan BBC Indonesia menyebut bahwa “tunjangan DPR sebesar itu menyakiti hati rakyat.” Apalagi ketika kinerja DPR dinilai tidak sebanding. RUU yang mangkrak, absensi rapat yang buruk, hingga keputusan-keputusan kontroversial menjadi catatan merah. Rakyat pun bertanya-tanya: Benarkah wakil rakyat bekerja untuk rakyat? Atau lebih sibuk mengurus kenyamanan diri sendiri?

Demokrasi Kapitalisme: Lahan Subur bagi Kesenjangan

Fenomena ini bukanlah kebetulan. Kesenjangan antara rakyat dengan para pejabat adalah konsekuensi logis dari sistem demokrasi kapitalisme. Demokrasi memberi ruang bagi politik transaksional, di mana jabatan adalah sarana untuk meraih materi, bukan amanah untuk melayani.

Bagaimana tidak? Anggota DPR adalah bagian dari sistem yang membuat aturan bagi dirinya sendiri. Mereka duduk di kursi parlemen, lalu menentukan besaran gaji dan tunjangan untuk dirinya. Tidak ada mekanisme “check and balance” yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Semuanya berputar dalam lingkaran kepentingan elite.

Dalam demokrasi, uang dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Biaya politik yang mahal—dari kampanye hingga lobi-lobi—mendorong politisi menjadikan kursi parlemen sebagai “investasi” yang harus kembali modal. Hasilnya? Jabatan diperlakukan sebagai sumber keuntungan pribadi. Empati pada rakyat menguap, berganti dengan mental “asal gua senang”.

Tak heran, banyak anggota DPR yang lebih dikenal dengan kasus korupsi ketimbang prestasi legislasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkali-kali menjerat anggota dewan karena suap, mark-up anggaran, hingga permainan proyek. Apa yang tampak jelas di hadapan kita adalah wajah asli demokrasi kapitalisme: sebuah sistem yang membuka peluang besar untuk memperkaya diri dan mengabaikan penderitaan rakyat.

Hilangnya Amanah dan Empati

Kondisi ini menunjukkan betapa jabatan dalam sistem demokrasi sudah terlepas dari nilai amanah. Padahal, dalam pandangan Islam, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, dalam demokrasi sekuler, nilai-nilai itu terpinggirkan. Jabatan dipandang semata-mata sebagai posisi strategis untuk mengakses fasilitas, kekuasaan, dan jaringan bisnis. Tidak ada mekanisme spiritual yang menahan mereka dari kerakusan. Yang ada hanyalah kalkulasi politik, kepentingan kelompok, dan tawar-menawar kekuasaan.

Akibatnya, rakyat hanya menjadi “alat” untuk mendapatkan kursi, bukan tujuan pelayanan. Wajar jika suara rakyat kerap diabaikan. Aspirasi rakyat kalah oleh kepentingan oligarki dan kepentingan partai.

Islam Kaffah: Jalan Keadilan dan Keteladanan

Berbeda dengan demokrasi, Islam memiliki asas yang jelas: akidah Islam. Syariat Allah menjadi pedoman, bukan akal manusia yang sarat kepentingan. Dalam sistem Islam, jabatan bukanlah sumber kekayaan, melainkan amanah yang berat.

Para khalifah dan pemimpin umat terdahulu memberikan teladan. Umar bin Khattab ra., misalnya, memilih hidup sederhana meski memimpin wilayah yang luas. Umar bin Abdul Aziz bahkan dikenal menolak fasilitas berlebihan dan memastikan setiap kebijakan memberi manfaat nyata bagi rakyat.

Dalam Islam, seorang pejabat tidak akan menjadikan jabatannya sebagai alat memperkaya diri. Sebab ia sadar, setiap amanah akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Allah berfirman:
“Dan berhati-hatilah terhadap hari di mana kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, dan mereka tidak akan dizalimi.”
(QS. Al-Baqarah: 281)

Mekanisme Pengawasan dalam Islam

Sistem Islam juga memiliki mekanisme pengawasan yang nyata, bukan sekadar formalitas. Dalam struktur Khilafah, ada Majelis Umat yang berfungsi menyampaikan kritik dan kontrol atas kebijakan penguasa. Ada pula Mahkamah Mazalim, lembaga khusus untuk mengadili penguasa yang zalim atau menyalahgunakan jabatan.

Dengan mekanisme ini, tidak ada ruang bagi pejabat untuk menentukan gaji atau tunjangannya sendiri. Semua diatur berdasarkan syariat dengan standar keadilan. Pemimpin tidak dibolehkan hidup mewah di atas penderitaan rakyat.

Selain itu, setiap muslim—termasuk anggota majelis umat—dituntut memiliki kepribadian Islam. Dengan semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan), mereka menjalankan amanah sebagai wakil umat, bukan memperalat umat.

Demokrasi untuk Siapa?

Realitas yang kita saksikan hari ini menimbulkan pertanyaan besar: demokrasi untuk siapa? Jika demokrasi hanya melahirkan pejabat yang hidup dalam kemewahan, sementara rakyat tetap berjuang di bawah garis kemiskinan, maka jelas jawabannya: demokrasi bukan untuk rakyat, melainkan untuk elite.

Islam memberikan jawaban yang berbeda. Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah yang harus dijaga. Kekuasaan tidak dimanfaatkan untuk memperkaya diri, tetapi untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Dalam Islam, pejabat dan rakyat sama-sama tunduk pada hukum Allah, bukan pada aturan buatan manusia yang sarat kepentingan.

Saatnya Kembali pada Islam Kaffah

Fenomena tunjangan DPR yang fantastis hanyalah satu dari sekian banyak bukti gagalnya demokrasi kapitalisme dalam mewujudkan keadilan. Kesenjangan akan terus ada, politik transaksional akan terus berjalan, dan rakyat akan terus menjadi korban.

Solusi sejati bukanlah sekadar menuntut pemotongan gaji atau tunjangan, sebab masalah utamanya ada pada sistemnya. Selama demokrasi kapitalisme yang sekuler ini dipertahankan, selama itu pula ketidakadilan akan berulang.

Islam kaffah menawarkan jalan keluar yang hakiki: menjadikan akidah Islam sebagai asas, syariat sebagai pedoman, dan amanah jabatan sebagai ibadah. Dengan itu, pejabat tidak lagi menjadikan jabatannya sebagai “lahan basah”, melainkan sarana untuk berkhidmat kepada rakyat dan mengharap ridha Allah.

Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita akan terus bertahan dengan demokrasi yang hanya melahirkan jurang kesenjangan? Atau berani beralih pada sistem yang benar-benar membawa keadilan: Islam kaffah?

wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb