Tunjangan Anggota DPR Fantastik, Kok Bisa?
Oleh : Yeni Aryani
Aksi demo rakyat masih terus berlanjut. Setelah demo rakyat berujung rusuh, demo kembali digelar 5 september. Demo ini dianggap sebagai puncak tuntutan 17+8 tuntutan rakyat yang telah jatuh tempo.
Salah satu hal yang menjadi tuntutan masyarakat adalah memBekukan kenaikan gaji/tunjangan DPR dan batalkan fasilitas baru. Seperti diketahui, salah satu hal yang menjadi penyebab aksi massa adalah kenaikan tambahan tunjangan beras dari sepuluh juta jadi duabelas juta, tunjangan bensin dari lima juta jadi tujuh juta dan tunjangan rumah senilai limapuluh juta tiap bulan mereka dapatkan.
Ahmad Nur Hidayat, Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta mengatakan bahwa kenaikan tunjangan hingga total gaji anggota DPR ini tembus di atas seratus juta setiap bulan dinilai melukai perasaan masyarakat (beritasatu tv, 20/8/2025).
Acap kali oknum anggota DPR menunjukkan berbagai kemewahan yang didapatkan karena menduduki kursi legislatif. Berbagai tunjangan itu menjadi daya tarik yang mendorong mereka untuk mengeluarkan modal besar demi bisa menjadi anggota DPR. Dengan demikian, menjadi hal yang wajar jika tunjangan yang mereka putuskan untuk kebutuhan mereka sangat besar.
Keputusan yang tidak berpihak pada rakyat ini hadir sebagai konsekuensi pemberian hak melegislasi hukum pada manusia. Sebagai manusia yang serba terbatas, mustahil mengikuti keinginan semua rakyat. Saat manusia diberikan hal melegislasi, aturan yang diterapkan akan berpihak kepada mereka.
Demikianlah, kesenjangan sosial makin nyata dalam sistem demokrasi kapitalisme, sebab sistem ini menempatkan kedaulatan di tangan rakyat melalui suara terbanyak. Kebebasan untuk membuat keputusan didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Demokrasi kapitalisme juga memberikan kebebasan individu dalam berekspresi, beraktivitas ekonomi, dan pengelolaan bahan tambang. Semua aturan itu lagi lahir dari asas sekulerisme yang memisahkan urusan agama dari urusan kehidupan. Atas nama rakyat, lahirlah ragam kebijakan yang menyalahi hukum Allah Swt.
Akibat sekularisme dan kapitalisme, permasalahan masyarakat kian banyak tanpa adanya solusi tuntas. Besarnya tunjangan DPR terjadi di tengah sempitnya lapangan kerja, maraknya PHK, harga pangan melonjak belum lagi wajib pajak yang makin mencekik masyarakat. Saat masyarakat melayangkan protes terhadap prilaku gaya hidup alih-alih diterima, didengarkan mereka merespon dengan joget-joget saat rapat serta mengeluarkan kata-kata yang tidak menghargai masyarakat. Inilah memicu terjadinya aksi-aksi penolakan di berbagai daerah terutama di ibu kota Jakarta.
Untuk duduk di gedung perwakilan rakyat tentunya membutuhkan dana besar, mereka harus membiayai cetak poster, kaos, bayar tim sukses dan lainnya yang bisa berasal dari para pengusaha. Lraktik politik transaksional semacam ini telah menjadi identitas asli yang diketahui masyarakat umum, sehingga menjadi wajar jabatan menjadi kesempatan untuk balik modal dan balas budi.
Dalam Islam tidak ada pemilihan wakil-wakil rakyat bermodal besar untuk membuat dan melegislasi hukum. Hak melegislasi hukum hanyalah milik Allah semata. Allah berfirman dalam Al-Quran, "Sesungguhnya hak untuk membuat hukum hanyalah Allah,"
Demikian juga, individu-individu dididik dengan pemahaman Islam yang kelak menjadi bekal pemimpin agar tidak terlena oleh materi duniawi. Apapun kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan aturan Allah, bukan hawa nafsu pribadi dan kebijakan tidak bisa dijualbelikan. Seorang pemimpin dalam Islam wajib memiliki kepribadian, pola pikir Islam sesuai aturan Allah Swt. serta menyadari bahwa besarnya tangung jawab jabatan yang diamanahkan padanya kelak akan di pertanggung jawabkan. Rasulullah Saw bersabda yang artinya "Imam(Kholifah) adalah pengurus rakyat ia bertanggungjawab atas rakyat yang di urusnya" HR Bukhari Muslim.
Berdasarkan hadis tersebut jelas pemimpin adalah sebagai pengurus umat bukan pelayan partai politik. Dalam Islam, pemimpin merupakan pelayan dan pengurus, sehingga mereka tidak digaji. Semua kebutuhan hidup penguasa ditanggung oleh negara karena kesibukan penguasa mengurusi umat. Besar tunjangan itu disesuaikan kebutuhan penguasa dalam hal memenuhi kebutuhan dasar, berupa sandang, pangan, papan. Adapun kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan telah dipenuhi oleh negara secara langsung dan pelayanannya sama dengan masyarakat pada umumnya.
Demikianlah, Islam mengatur sistem kehidupan manusia, bukan menyerahkannya pembuatan hukum pada manusia. Manusia yang serba terbatas tidak akan mampu membuat hukum yang akan memberikan kesejahteraan bagi manusia. Hanya Allah Swt. yang berhak menetapkan hukum, sehingga kesejahteraan menjadi keniscayaan.
Wallahu'alam
Posting Komentar