Sistem Islam Atasi Masalah Kemacetan
Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Macet lagi, macet lagi, gara-gara si Komo lewat. Sebait lagu yang dibuat karena sudah capeknya melihat, mengalami dan merasakan kemacetan terjadi di mana-mana. Terkadang sampai mengeluarkan pendapat kemacetan adalah hal yang biasa dan tidak akan pernah terurai selama masih ada kehidupan di muka bumi, maka santuyyy dan berdamailah dengan kemacetan. Habis mau bagaimana lagi karena seakan-akan tidak akan pernah ada solusinya.
Hal ini juga sama dirasakan masyarakat Kota Depok terutama yang tinggal di kawasan Sawangan. Sehingga Pemerintah Kota Depok menyiapkan anggaran sebesar Rp80 miliar berencana mendanai pembebasan lahan sebagai tahap awal pelebaran sejumlah ruas jalan di sekitar Jalan Raya Sawangan. Proyek ini dirancang sebagai solusi jangka panjang untuk mengurai kemacetan yang telah berlangsung lama di wilayah tersebut. Anggaran itu akan digunakan untuk membebaskan lahan di beberapa titik yang kerap menjadi simpul kemacetan (KOMPAS.com/25/6/2025).
Sebagaimana yang dikatakan Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Depok, Teguh Iswahyudi, proyek pelebaran di Jalan Raya Sawangan tersebut akan dilakukan secara bertahap dengan tahap awal fokus tiga titik yakni Simpang Parung Bingung, Jalan Pemuda, dan Jalan Enggram. Ketiganya selama ini dikenal sebagai titik kemacetan utama di wilayah selatan Depok (KOMPAS.com/26/6/2025).
Jika kita lihat, sebenarnya langkah Pemkot Depok dengan strategi multifaset, yaitu mulai rekayasa lalu lintas jangka pendek hingga pelebaran jalan dan melakukan opsi flyover jangka panjang, merupakan bentuk responsivitas terhadap problem yang dihadapi rakyat. Proyek ini dilakukan seiring dengan upaya pejabat memenuhi janji politik dan kerja pemerintah. Padahal, pembangunan dan pelayanan publik membutuhkan kesinambungan.
Seharusnya program kerja pemerintah bukan hanya sekedar memenuhi janji politik karena akan berujung kepada munculnya kebijakan populis dan marak dengan minus ketulusan dalam menyelesaikan problem dari akar masalah hingga tuntas. Meskipun bisa jadi keberhasilan tapi baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, karena biar bagaimana pun janji adalah utang, harus berusaha ditunaikan.
Lain halnya dengan sistem Islam. Sistem Islam mengurai kemacetan (sebagai bagian dari masalah transportasi dan tata kota), dengan:
Pertama, jalan sebagai milik umum. Dalam Islam, jalan termasuk milik umum (al-milkiyyah al-‘ammah) yang tidak boleh dimiliki individu atau swasta. Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Para ulama memasukkan jalan sebagai fasilitas publik yang harus dijamin penggunaannya oleh negara agar tidak terjadi monopoli, pungutan, atau hambatan yang menimbulkan kesemrawutan
Kedua, negara wajib menyediakan dan memelihara infrastruktur. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah menegaskan: salah satu kewajiban khalifah adalah menyediakan sarana jalan dan jembatan demi kelancaran aktivitas rakyat. Khalifah Umar bin Khattab ra, ketika menjabat sebagai khalifah, membangun jalan-jalan antarwilayah, memperlebar jalur utama, bahkan menyiapkan tempat singgah dan sumur di sepanjang rute perjalanan untuk memudahkan mobilitas. Dengan adanya jalan alternatif, transportasi publik yang layak, dan pemeliharaan rutin, kemacetan bisa dicegah.
Ketiga, tata ruang kota dalam Islam. Dalam sistem khilafah, penataan kota (tasykîl al-madînah) menjadi perhatian penting agar pasar, masjid, pemukiman, dan pusat pemerintahan tidak saling menumpuk di satu titik. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan pentingnya keseimbangan antara kepadatan penduduk dan kapasitas kota, sehingga aktivitas manusia tidak saling mengganggu. Artinya, negara mengurai kemacetan dengan perencanaan kota berbasis syariat, bukan sekadar penambalan teknis.
Keempat, aturan adab dan penggunaan jalan. Islam menetapkan adab menggunakan jalan: tidak boleh menghalangi, parkir sembarangan, atau menutup jalan umum. Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian duduk di jalan-jalan.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, itu adalah tempat duduk kami.” Beliau menjawab: “Jika kalian enggan (berpindah), maka berikan hak jalan: menundukkan pandangan, menjawab salam, dan tidak mengganggu” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menjadi dasar larangan menutup jalur dengan pedagang kaki lima, parkir liar, atau bangunan ilegal—semua penyebab kemacetan.
Kelima, transportasi publik sebagai prioritas. Dalam khilafah, negara menyediakan transportasi publik murah dan aman karena rakyat berhak mendapat pelayanan atas milik umum. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fil Islam menegaskan, negara wajib mengelola fasilitas publik untuk kemaslahatan rakyat, bukan dibiarkan pada swasta yang hanya mencari keuntungan. Dengan transportasi publik memadai, ketergantungan pada kendaraan pribadi berkurang drastis, sehingga kemacetan terurai.
Itulah yang dilakukan oleh khalifah dalam sistem Islam sehingga akan rakyat sebagai pengguna jalan akan nyaman dan akan meminimalisir kemacetan.[]
Posting Komentar