-->

Duck Syndrome, Tipu Daya Kapitalis Mengikis Kesadaran Generasi


Oleh : Alin Aldini, S.S., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Kondisi perang memang banyak memakan korban, khususnya anak-anak dalam masalah mentalnya menghadapi dunia. Selain Gaza, banyak juga wilayah yang mengalami peperangan juga seharusnya mengalami guncangan mental/kejiwaan. Namun, anak-anak Muslim justru semakin kuat dan tabah dalam kondisi perang sekalipun, terkhusus anak-anak Palestina. Lalu, apakah mereka juga mengalami duck syndrome? 

Adapun duck syndrome Psikolog dari Unit Pengembangan Karier dan Kemahasiswaan (UKK) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Anisa Yuliandri, yang dikutip di laman kompas.com, (22/08/2025), istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Universitas Stanford yang tampak tenang tetapi sebenarnya sedang berada di bawah tekanan besar.

Nah, jika dilihat kondisi anak-akan Gaza lebih dari sekadar itu. Tapi apakah mereka berputus asa dari surga yang akan mereka raih? Tentu tidak. Anak-anak di Gaza malah terlihat lebih kuat dalam suasana perang yang kian hari makin berkecamuk.

Namun lain halnya dengan anak muda yang tidak berada dalam suasana perang, yang di luar wilayah Gaza. Mereka menganggap dirinya mengalami mental illness (tanpa validasi tenaga ahli) sungguh seperti hanya alibi untuk bermalas-malasan atau hanya sekadar ‘rebahan’. Padahal, tingkat stres dan kecemasan sejatinya tidak muncul begitu saja, kecuali memang ada gangguan dari sebagian hormon dalam tubuh yang tidak bisa dikendalikan baik oleh otak. Artinya otak mengalami ketidakstabilan atau kecenderungan untuk melakukan hal yang semestinya, mengontrol tubuh agar berjalan sesuai dengan semestinya. Dan ini perlu dikonsultasikan pada tenaga ahli seperti psikolog atau psikiater yang saat ini dijadikan stigma negatif, padahal kesehatan mental ini pun seyogianya wajib menjadi tanggung jawab negara.

Jika saja anak muda dunia hanya sibuk dengan gangguan mental yang pada ujungnya tidak ada indikasi medis padanya, maka sudah jelas semua itu hanyalah tipu daya kapitalisme untuk mengikis kesadaran generasi muda Muslim bahwa mereka agen of change, iron of stock, dan social control.

Ternyata, duck syndrome muncul di jantung kapitalisme, yaitu Stanford University karena di sana mereka menggunakan akidah sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan), kalau pun agama ada dalam kehidupan hanya dimanfaatkan untuk meraih manfaat sebanyak-banyaknya. Sehingga sistem kapitalisme-sekuler menjadikannya krisis multidimensi yang tidak bisa dihadapi secara individual atau komunal semata. 

Adanya konsultasi psikolog gratis pun rasanya tak menyentuh akar masalah karena masih banyak dari kaum muda yang semakin ‘tahu’ mental health justru semakin ingin mengakhiri hidup. Sungguh miris! Itulah mengapa solusi yang dibuat akhirnya menjadi sangat parsial. Standar kesuksesan pun dibuat sempit hanya sekadar materi. Sehingga nilai produktif hanya diartikan pada dua hal, yaitu kerja dan sekolah.

Sekolah sendiri memiliki tujuan atau orientasi dunia dan hanya untuk bekerja, sehingga tatanan hidup seperti ini menjadikan manusia berpura-pura bekerja karena lahan pekerjaan pun sangat sempit. Padahal seharusnya tujuan pendidikan bukan hanya sekadar meraih materi, tapi pendidikan memiliki tujuan membentuk kepribadian yang kuat dengan pola pikir dan pola sikap sesuai akidah Islam karena sejatinya belum ada yang mampu menandingi agungnya kepribadian melalui pendidikan Islam.

Rumah sakit-rumah sakit pun serius untuk mengurusi masyarakat yang mengalami gangguan mental (illness, sekalipun), dana yang banyak tidak mungkin dikorupsi karena tenaga ahli dan pejabat (penguasa) memahami bahwa setiap apapun yang mereka lakukan akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat kelak sehingga kondisi mental masyarakat bisa kembali waras. 

Rumah sakit Islam pertama yang sebenarnya didirikan di Baghdad pada abad ke-9, di masa Khalifah Abbasiyah Harun ar-Rasyid. Rumah sakit ini, yang disebut "Bimaristan", terus mengembangkan sistem perawatan kesehatan yang inklusif dan menyeluruh, termasuk bagi orang-orang dengan gangguan mental. Para dokter dan perawat memiliki tugas untuk merawat semua pasien, tanpa diskriminasi. Setiap Bimaristan memiliki taman, air mancur, ruang kuliah, perpustakaan, dapur, apotek, dan ruang ibadah untuk Muslim dan non-Muslim. (nationalgeographic.grid.idn, 5/5/2024).

Dunia saat ini membutuhkan pembentukan generasi penjaga Masjid Al Aqsa. Tujuan pendidikan Islam akan membentuk generasi penjaga Al-Aqsa, bukan malah membebek dengan gejala duck syndrome, kalau pun teridap maka cepat-cepat sadar. Sehingga masih tetap melakukan kewajiban dalam kondisi perang sekali pun. Karena selain cita-cita sukses mulia di dunia, mereka pun bercita-cita mati dalam keadaan syahid.

Dunia menginginkan kembalinya era para khalifah, karena semua kebutuhan terjamin dan hidup sejahtera tanpa harus memikirkan tuntutan hidup perfeksionis ala kapitalisme dan gaya hidup kapitalisme yang telah menjerat generasi muda. Mereka terpaksa harus memenuhi tuntutan ala sekuler kapitalis yang sebenarnya tidak mampu karena tidak sesuai fitrahnya sebagai manusia, juga tidak menentramkan sebagai hamba Allah SWT. 

Maka, semua itu membutuhkan kesadaran politik dan kondisi saat ini mendesak akan kebutuhan perubahan pada sistem pendidikan dan politik Islam sehingga bukan hanya kaum muda dunia yang bebas dari segala hal penyakit mental (mental illness) tapi juga Gaza (Palestina), Syam, dan negeri-negeri Muslim terbebas dari penjajahan fisik maupun psikis.[]