Setan Digital Subur di Lahan Sekularisme, Urgensi Perisai Politik Islam
Oleh : Siti Nurhalizah, M.Pd. (Pendidik)
Kemajuan dunia digital menghadirkan tantangan serius terhadap perlindungan anak. Penggunaan gawai secara masif sejak dini menjadikan anak-anak semakin rentan terhadap ancaman siber, termasuk eksploitasi dan kekerasan melalui konten media sosial. Dilansir dari rri.co.id (20/09/2025) Chatarina, Komisioner Komnas Perempuan menjelaskan bahwa laporan kekerasan berbasis gender online saat ini telah naik sebesar 40,8 persen.
Menurut data Safer Internet Day 2025, sepanjang Januari–Juni 2024 tercatat 15.186 anak menjadi korban kekerasan seksual online dan 366 mengalami eksploitasi seksual; sedangkan hampir 500.000 pelajar bahkan mahasiswa dilibatkan dalam aktivitas judi online, termasuk ribuan anak di bawah 10 tahun (ecpatindonesia.org, 26/02/2025). Di Indonesia, laporan KPAI sepanjang 2024 menyebutkan ada 41 kasus kejahatan siber terhadap anak, seperti pornografi, perundungan, dan kekerasan digital (ahlulbaitindonesia.or.id).
Minimnya literasi digital pada anak dan orang tua semakin memperburuk kondisi ini. Pemerintah merespons dengan mempercepat perumusan Peraturan Pemerintah (PP) dan penerapan sistem kepatuhan moderasi konten (SAMAN), untuk memperkuat mekanisme takedown konten negatif secara sistematis (komdigi.go.id, 24/01/2025).
Rendahnya literasi digital dan kurangnya nilai spiritual akibat sistem pendidikan berbasis sekuler telah membuka celah maraknya ancaman siber terhadap anak dan perempuan. Sistem pendidikan nasional yang berbasis sekuler menunjukkan kecenderungan memisahkan nilai spiritual dari kurikulum utama. Pendidikan agama hanya menjadi pelengkap, sedangkan fokus utama diarahkan pada capaian akademik dan keterampilan kerja. Akibatnya, pembentukan karakter dan moral keagamaan tidak diinternalisasi secara sistemik dalam pendidikan formal.
Studi pada Pendidikan Agama Islam menunjukkan bahwa literasi digital yang diintegrasikan dengan nilai agama mampu meningkatkan pemahaman etika siber dan tanggung jawab media sosial (ejurnal.darulfattah.ac.id, 2023). Sayangnya, minimnya muatan agama dalam kurikulum saat ini menyebabkan para siswa tidak memiliki landasan spiritual dan etika digital yang memadai, sehingga mudah terpapar kekerasan digital, hoaks, cyberbullying, dan eksploitasi online.
Lemahnya iman dan moral dalam sistem pendidikan turut menjadikan ruang digital sebagai medan yang tidak terlindungi secara spiritual bagi anak-anak dan perempuan. Akibatnya, literasi digital yang seimbang antara keterampilan teknis dan fondasi moral menjadi tidak tercapai, membuka pintu bagi ancaman siber yang lebih luas dan serius.
Inilah buah dari kemajuan teknologi yang tidak diarahkan oleh ilmu yang berpijak pada iman.
Sistem kapitalisme-sekuler telah memisahkan nilai-nilai agama dari ranah kehidupan publik, menjadikan teknologi sebatas instrumen ekonomi dan kekuasaan, bukan amanah yang mesti dikawal oleh syariat.
Dampaknya sangat nyata. Laporan Microsoft Digital Civility Index (2023) menempatkan Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara dalam hal kesopanan digital, menunjukkan rendahnya etika bermedia di tengah masyarakat yang tercerabut dari pendidikan berbasis nilai moral dan agama (Microsoft DCI, 2023).
Lebih dari itu, ruang digital kini telah berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan global. Laporan Amnesty International (2022) mengungkap bagaimana perangkat mata-mata seperti Pegasus spyware digunakan untuk menyadap jurnalis, aktivis, bahkan pejabat negara, sebagai alat pengawasan dan kendali politik oleh rezim maupun aktor global (Amnesty, 2022).
Ini membuktikan bahwa penguasaan atas dunia digital bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi sudah menjadi senjata geopolitik yang bisa mengancam kedaulatan negara mana pun.
Tanpa pijakan pada akidah dan sistem Islam yang menempatkan teknologi dalam bingkai halal-haram dan tanggung jawab syar’i, dunia digital justru menjadi ruang yang rawan bahaya, baik bagi individu, masyarakat, maupun negara.
Oleh karena itu, negara harus membangun kemandirian teknologi digital, tanpa ketergantungan pada sistem asing yang rentan terhadap penyadapan, infiltrasi budaya, dan intervensi politik.
Ketergantungan pada teknologi luar menjadikan negara rentan terhadap dominasi digital global, yang kerap menjadi alat penjajahan gaya baru. Untuk itu, negara harus hadir sebagai pelindung (junnah) bagi rakyatnya dengan mewujudkan ruang siber yang sehat, syar’i, bebas pornografi dan konten destruktif.
Hal ini tidak akan mungkin diwujudkan dalam sistem kapitalisme-sekular yang justru mempromosikan kebebasan absolut tanpa batas halal dan haram.
Dalam Islam, negara (Khilafah) memegang tanggung jawab langsung dalam mengarahkan perkembangan teknologi, termasuk teknologi informasi, agar sejalan dengan syariat dan menjaga kemuliaan manusia. Negara tidak pasif, tapi aktif memfilter dan membina seluruh lini kehidupan berbasis hukum Islam, termasuk media, pendidikan, dan komunikasi publik.
Sejarah membuktikan bahwa Khilafah Islam pada masa Abbasiyah (abad ke-8 hingga ke-13 M) menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbesar di dunia, termasuk teknologi komunikasi saat itu. Para ilmuwan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Al-Khwarizmi bukan hanya menciptakan inovasi matematika dan optik, tapi juga mengembangkan konsep etika dalam ilmu pengetahuan.
Negara tidak hanya mendorong riset, melainkan peran menyaring dan menyelaraskan pengetahuan asing agar tidak bertentangan dengan akidah. Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun bahkan mendirikan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dengan prinsip bahwa setiap kemajuan harus membawa maslahat dan menjaga akhlak umat.
Hal ini berpijak pada hadis Nabi saw.: “Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai (junnah), di belakangnya orang-orang berperang, dan dengannya mereka berlindung.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Khilafah bukan hanya bertugas menjaga keamanan fisik umat, tetapi juga bertanggung jawab atas penjagaan akidah, moral, dan kesucian ruang berpikir umat dari pengaruh ideologi dan budaya digital yang merusak. Karena itu, pembangunan teknologi dalam Khilafah akan diarahkan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, bukan untuk kepentingan korporasi atau agenda geopolitik.
Allah SWT berfirman: "Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri."
(QS. An-Nahl: 89)
Ayat ini menegaskan bahwa syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk pengelolaan informasi dan teknologi. Maka hanya dengan tegaknya Khilafah Islamiyyah, kedaulatan digital yang berpijak pada wahyu ilahi dapat terwujud—sebuah perlindungan sejati di tengah dunia siber yang dipenuhi ilusi kebebasan dan ancaman penjajahan terselubung.
Posting Komentar