-->

Pajak di Bawah Kapitalisme, Zakat dan Wakaf dalam Syariat


Oleh : Meidy Mahdavikia

Publik baru-baru ini dikejutkan oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan kewajiban pajak dengan zakat dan wakaf. Menurutnya, pajak adalah bentuk kontribusi yang sama pentingnya dengan dua ibadah tersebut. Pernyataan ini dikutip dari CNBCIndonesia.com (14/08/2025), yang disampaikan beliau di tengah melemahnya penerimaan pajak negara.

Untuk menambah pemasukan, pemerintah mengajukan usulan sepuluh jenis pajak baru, termasuk pajak warisan, pajak karbon, hingga pajak rumah ketiga, dengan target tambahan penerimaan sebesar Rp388 triliun dilansir dari CNNIndonesia.com (12/08/2025). Tidak hanya itu, tarif pajak lama seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dinaikkan berkali-kali lipat.

Sementara itu, CNBCIndonesia.com (15/08/2025) melaporkan bahwa Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan tantangan penerimaan pajak di tahun 2026 semakin berat. Hal ini disebabkan basis pajak yang sempit, tingkat kepatuhan yang rendah, serta meningkatnya kebutuhan pembiayaan negara. Keresahan masyarakat pun makin meningkat karena pajak kian mencekik mereka, sementara hasilnya tidak langsung dirasakan rakyat kecil.

Rakyat Menanggung, Kapitalis Menikmati

Fenomena ini lahir dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara. Pada saat yang sama, sumber daya alam (SDA) yang seharusnya menjadi milik rakyat justru diserahkan kepada swasta atau korporasi besar. Akibatnya, negara kehilangan sumber pendapatan strategis dan akhirnya bertumpu pada pajak yang dipungut dari rakyat.

Rakyat kecil yang semestinya dilindungi justru semakin terbebani. Pajak dipungut dari seluruh kalangan tanpa mempertimbangkan kemampuan. Bahkan, mereka yang berpenghasilan pas-pasan tetap dikenakan pajak, sedangkan para pengusaha besar kerap memperoleh fasilitas khusus, insentif, atau keringanan melalui kebijakan seperti tax amnesty.

Dalam praktiknya, kebijakan pajak ini bersifat zalim. Harta diambil dari rakyat yang lemah, namun manfaatnya sering kali diarahkan pada pembangunan yang lebih menguntungkan kaum kapitalis. Alih-alih menyejahterakan masyarakat miskin, pajak justru menambah jurang ketimpangan.

Pilar Kesejahteraan dalam Sistem Islam : Dharibah, Zakat, dan Wakaf

Dalam Islam, zakat, wakaf, dan dharibah memiliki kedudukan yang jelas dan berbeda. Zakat merupakan kewajiban ibadah bagi setiap muslim yang hartanya telah mencapai nisab dan haul, dengan distribusi terbatas kepada delapan golongan sebagaimana ditetapkan dalam syariat. Wakaf bersifat sukarela sebagai amal sunnah yang ditujukan untuk kepentingan sosial dan pelayanan umat. Sementara itu, pajak dalam Islam dikenal dengan istilah dharibah. Pungutannya bersifat temporer, hanya dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya, dan diberlakukan ketika kas Baitul Mal kosong serta terdapat kebutuhan mendesak, seperti pembiayaan jihad atau penanggulangan bencana.

Islam juga menetapkan bahwa sumber daya alam strategis, seperti minyak, gas, dan listrik, merupakan milik umum yang wajib dikelola negara. Keuntungan dari pengelolaan tersebut masuk ke Baitul Mal dan menjadi sumber utama pembiayaan negara. Dengan cara ini, negara memiliki fondasi finansial yang kuat tanpa harus membebani rakyat dengan pajak terus-menerus. Lebih dari itu, sistem ekonomi Islam mendorong inovasi dalam pengelolaan zakat dan wakaf agar lebih efektif, transparan, dan modern. Pemanfaatan teknologi digital, aplikasi, serta mekanisme akuntabilitas dapat meningkatkan kepercayaan publik sekaligus memperkuat peran zakat dan wakaf dalam pemerataan kekayaan.

Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, kesejahteraan rakyat akan terjamin. Distribusi kekayaan berjalan adil, rakyat terbebas dari jeratan pajak yang menindas, dan negara mampu berdiri mandiri secara finansial. Inilah perbedaan mendasar antara kapitalisme yang menekan rakyat dan Islam yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.