Kesenjangan Penguasa dan Rakyat di Sistem Kapitalisme
Oleh : Rutin, SEI (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Naiknya tunjungan DPR menjadi perhatian besar masyarakat beberapa waktu lalu. Bahkan hal ini menjadi pemicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Fakta bahwa penghasilan resmi seorang anggota DPR dapat mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan—berkat aneka tunjangan mulai dari rumah, bensin, hingga beras—telah menimbulkan amarah publik. Di saat rakyat banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, para “wakil” justru menikmati fasilitas serba mewah (Beritasatu.com, 20/08/25).
Ricuhnya masalah kenaikan tunjangan ini akhirnya membuat presiden membatalkan tunjangan DPR pada 31 Agustus 2025. Presiden bahkan tidak hanya mencabut beberapa tunjangan tapi juga mencabut moratorium kunjungan kerja DPR ke luar negeri (Tempo.co 1/09/25). Namun pertanyaannya akankah masalah kesenjangan ekonomi antara penguasa dan rakyat terselesaikan?
Demokrasi Kapitalisme: Lahan Subur Ketidakadilan
Tidak bisa kita pungkiri, saat ini kita hidup di dalam sistem yang menganut demokrasi Kapitalisme. Dalam demokrasi, jabatan politik kerap dilihat sebagai sarana mencapai kepentingan, bukan sebagai amanah. Karena asasnya adalah sekularisme—pemisahan agama dari kehidupan—maka standar moral yang digunakan adalah akal dan kepentingan manusia, bukan aturan ilahi. Di sinilah celah yang melahirkan politik transaksional. Untuk bisa duduk di kursi DPR, seorang calon legislatif mengeluarkan modal besar: biaya kampanye, logistik, “serangan fajar”, hingga iklan politik. Begitu terpilih, dorongan untuk “balik modal” nyaris tak terhindarkan. Maka, tunjangan fantastik pun dianggap wajar, bahkan sah.
Ironisnya, anggota DPR memiliki kewenangan menyusun anggaran, termasuk untuk dirinya sendiri. Artinya, mereka menentukan sendiri besaran gaji dan tunjangan yang mereka terima. Wajar jika angka yang muncul tidak mencerminkan kesederhanaan, melainkan mengukuhkan privilese.
Demokrasi kapitalisme juga membiarkan kesenjangan lebar antara penguasa dan rakyat. Selama rakyat masih bisa “bertahan hidup”, maka kemewahan pejabat dianggap sah-sah saja. Padahal, logika ini justru mempertebal jurang ketidakadilan sosial.
Singkatnya, demokrasi kapitalis menjadikan jabatan politik sebagai komoditas. Empati pada rakyat memudar, amanah bergeser jadi kepentingan pribadi. Maka jangan heran, tunjangan ratusan juta rupiah tetap berjalan meski kinerja DPR sering dipandang minim oleh publik.
Islam: Paradigma Berbeda tentang Kekuasaan
Islam menghadirkan konsep kekuasaan yang sangat berbeda. Asasnya adalah akidah Islam, bukan kepentingan materi. Tujuannya adalah ri‘ayah syu’unil ummah—mengurus urusan umat sesuai dengan syariat Allah, bukan mengetuk keuntungan pribadi.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, seorang pemimpin atau wakil umat tidak melihat jabatannya sebagai jalan memperkaya diri, melainkan sebagai ladang ibadah. Ia sadar bahwa setiap keputusan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka dalam sistem ini jabatan itu adalah amanah, bukan privilage.
Dalam sejarah Islam, para pejabat negara memang diberi hak finansial agar mereka bisa fokus bekerja. Namun, besarnya ditentukan oleh kebutuhan wajar, bukan kemewahan. Khalifah Umar bin Khattab bahkan pernah hidup sangat sederhana, hanya menerima tunjangan secukupnya untuk biaya hidup sehari-hari. Jika pun ada fasilitas, itu bukan untuk gaya hidup, melainkan sekadar penopang agar amanah bisa dijalankan.
Kepribadian Islam juga berfungsi sebagai Penjaga Moral. Islam menuntut setiap muslim, termasuk pejabat, memiliki kepribadian Islami. Akidah menjadi landasan berpikir, syariat menjadi standar perbuatan. Dengan begitu, mereka tidak akan tergoda memperkaya diri dengan jabatan, melainkan berlomba- lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat).
Pertanggungjawaban di Akhirat. Inilah yang paling penting: seorang pemimpin muslim yakin bahwa setiap amanah akan ditanya di hadapan Allah. Rasa takut ini menjadi benteng moral yang tak dimiliki oleh demokrasi sekuler. Sehingga, peluang untuk menyalahgunakan jabatan jauh lebih kecil.
Abu Bakar ash-Shiddiq tetap berdagang setelah diangkat menjadi khalifah, sampai akhirnya diberi tunjangan sederhana agar ia bisa fokus pada amanah. Umar bin Khattab hanya menerima dua potong pakaian dari baitul mal, satu untuk dipakai, satu untuk dicuci. Bahkan ia pernah menolak kenaikan tunjangan yang diajukan para sahabat karena takut berlebih-lebihan. Umar bin Abdul Aziz menolak fasilitas negara yang berlebihan, bahkan memadamkan lampu minyak negara ketika hendak membicarakan urusan keluarganya. Semua teladan ini lahir dari paradigma Islam yang memandang jabatan bukan hak istimewa, melainkan amanah berat.
Mengapa Solusi Harus Sistemik?
Sebagian orang mungkin berkata, “Yang salah individunya, bukan sistemnya.” Pandangan ini keliru. Dalam demokrasi kapitalis, siapapun yang terpilih tetap akan masuk ke dalam mekanisme yang korup secara struktural: butuh modal besar, godaan fasilitas mewah, wewenang menyusun anggaran sendiri, hingga tekanan kepentingan oligarki.
Maka, mengganti individu tanpa mengubah sistem hanya akan melahirkan “wajah baru dengan perilaku lama”. Karena itu, solusi sesungguhnya adalah mengganti asas sistem: dari demokrasi sekuler kapitalis menuju sistem Islam yang berbasis syariat.
Dalam sistem Islam (khilafah), majelis umat memang ada, tetapi fungsinya berbeda. Mereka berperan memberi masukan, mengawasi, dan menyampaikan aspirasi rakyat kepada khalifah. Namun, mereka tidak memiliki kewenangan membuat hukum sendiri apalagi menentukan tunjangan mewah untuk dirinya. Prinsipnya jelas, hukum hanya berasal dari syariat Allah, dan amanah hanya dijalankan untuk kemaslahatan umat.
Dengan sistem ini tidak ada ruang bagi DPR versi demokrasi yang bisa menentukan fasilitasnya sendiri. Tidak ada peluang menjadikan jabatan sebagai ladang kaya raya. Ada kontrol akidah dan syariat yang menuntun setiap pejabat agar tetap takut kepada Allah.
Saatnya Kembali pada Islam
Tunjangan fantastik anggota DPR bukan sekadar masalah teknis, melainkan bukti rusaknya sistem demokrasi kapitalis. Selama asasnya adalah sekularisme, jabatan politik akan tetap dipandang sebagai sarana memperkaya diri.
Islam menghadirkan paradigma yang berbeda. Dengan asas akidah, hukum syariat, dan akhlak mulia, jabatan kembali dimaknai sebagai amanah, bukan privilege. Pemimpin bukan penguasa yang minta dilayani, melainkan pelayan rakyat yang akan ditanya pertanggungjawabannya di akhirat.
Karena itu, solusi nyata bukan sekadar mengurangi tunjangan DPR atau mengganti orang per orang, melainkan mengganti sistem yang melahirkannya. Hanya dengan kembali pada Islam, rakyat akan merasakan kepemimpinan yang adil, sederhana, dan penuh keberkahan.
Posting Komentar