Pajak vs Zakat dan Wakaf, Kapitalisme Mencekik, Islam Menyejahterakan
Oleh : Henise
Belakangan ini publik dibuat heboh dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf. Pernyataan ini tentu bukan sekadar retorika, melainkan strategi untuk meredam penolakan rakyat sekaligus menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak. Sebagaimana diketahui, penerimaan pajak menjadi tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun faktanya, sistem pajak di negeri ini semakin memberatkan rakyat. Ketika pemasukan seret, pemerintah bukannya meninjau ulang pengelolaan sumber daya alam yang begitu melimpah, tetapi justru menambah jenis pajak baru. Mulai dari pajak warisan, pajak karbon, pajak rumah ketiga, hingga menaikkan tarif pajak yang sudah ada seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Bagi rakyat kecil, kebijakan ini adalah kabar buruk. Bayangkan, rakyat yang hidup pas-pasan harus menanggung beban tambahan, sementara di sisi lain para konglomerat dan pemilik modal besar justru mendapat banyak keringanan. Tidak jarang, undang-undang yang dibuat lebih berpihak pada kapitalis, misalnya kebijakan tax amnesty yang memberi jalan keluar mewah bagi pengemplang pajak. Ironis, ketika rakyat kecil harus taat membayar pajak, para kapitalis justru diistimewakan.
Pajak dalam Kapitalisme: Alat Penindasan Ekonomi
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai alat utama untuk menopang perekonomian negara, padahal di saat yang sama kekayaan alam justru diserahkan kepada swasta dan asing. Minyak, gas, tambang emas, nikel, bahkan air—semua yang sejatinya merupakan harta milik rakyat—justru dikelola oleh korporasi. Negara hanya mendapat sebagian kecil royalti, sementara keuntungan besar dikuasai kapitalis.
Dampaknya, ketika kas negara defisit, solusinya selalu kembali pada rakyat: menaikkan pajak. Pola ini jelas menciptakan ketidakadilan. Rakyat yang miskin semakin terhimpit, sedangkan segelintir orang yang menguasai modal justru semakin kaya raya. Inilah wajah asli kapitalisme: keuntungan hanya untuk segelintir orang, penderitaan ditanggung rakyat banyak.
Lebih parah lagi, uang hasil pajak tidak benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagian besar dialokasikan untuk membayar utang luar negeri, proyek-proyek mercusuar, atau kepentingan politik. Adapun kebutuhan mendasar rakyat seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial seringkali terpinggirkan. Inilah sebabnya rakyat semakin pesimis: mereka dipaksa membayar pajak, tetapi tidak merasakan manfaatnya.
Zakat dan Wakaf: Instrumen Sejahtera dalam Islam
Berbeda jauh dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki mekanisme keuangan yang adil dan menyejahterakan. Dalam Islam, zakat dan wakaf adalah instrumen penting untuk mengelola harta dan menciptakan keseimbangan sosial.
Zakat adalah kewajiban syar’i atas harta kaum Muslim yang telah mencapai nisab dan haul. Distribusinya pun sudah jelas diatur dalam Al-Qur’an, yaitu hanya untuk delapan asnaf sebagaimana disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 60: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang berutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil. Dengan aturan ini, zakat menjadi sarana efektif untuk menghapus kesenjangan sosial dan memastikan kelompok lemah mendapatkan perhatian.
Sementara itu, wakaf adalah ibadah sunnah yang berorientasi pada keberlanjutan. Wakaf bisa berupa tanah, bangunan, atau harta lainnya yang manfaatnya digunakan untuk kepentingan umat, seperti pendidikan, kesehatan, dan dakwah. Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf telah membiayai universitas, rumah sakit, bahkan infrastruktur publik tanpa membebani rakyat dengan pajak yang mencekik.
Islam juga mengenal pajak dalam arti tertentu, namun sifatnya berbeda dengan kapitalisme. Pajak dalam Islam (disebut dharibah) hanya bersifat temporer dan hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, itupun ketika baitulmal kosong untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti pembiayaan jihad atau penanggulangan bencana besar. Dengan demikian, pajak dalam Islam bukanlah instrumen utama, melainkan sekadar solusi darurat yang sangat terbatas.
Baitulmal: Sistem Keuangan Negara dalam Khilafah
Selain zakat dan wakaf, baitulmal (kas negara dalam Islam) memiliki sumber pemasukan yang beragam. Salah satunya berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang dikategorikan sebagai kepemilikan umum, seperti minyak, gas, tambang, dan hutan. Kekayaan ini wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta.
Dengan model ini, pemasukan negara tidak bergantung pada pajak rakyat. Justru negara mampu memberikan pelayanan gratis untuk kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dalam sejarah panjang Khilafah, tercatat baitulmal mampu memberikan kesejahteraan yang merata, bahkan pada masa tertentu hampir tidak ditemukan lagi orang miskin yang berhak menerima zakat.
Islam Menjawab, Kapitalisme Menyengsarakan
Perbandingan antara pajak kapitalisme dengan zakat dan wakaf dalam Islam memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai tulang punggung negara dengan cara menekan rakyat kecil, sementara kekayaan besar diserahkan kepada swasta. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin lebar, kemiskinan meningkat, dan rakyat kehilangan kepercayaan pada negara.
Sebaliknya, Islam melalui zakat, wakaf, dan pengelolaan baitulmal menghadirkan sistem yang adil, transparan, dan sejahtera. Kekayaan alam dikelola untuk rakyat, bukan untuk kapitalis. Zakat menjadi jaminan sosial bagi yang lemah, wakaf menopang pembangunan berkelanjutan, dan baitulmal memastikan semua kebutuhan umat terpenuhi.
Karena itu, jelaslah bahwa solusi atas masalah pajak yang mencekik rakyat bukan sekadar reformasi sistem perpajakan, tetapi mengganti paradigma ekonomi secara total. Islam dengan sistem Khilafah telah terbukti selama berabad-abad menyejahterakan umat manusia. Kini, hanya dengan kembali pada Islam kafah, umat akan terbebas dari penindasan pajak ala kapitalisme dan merasakan keadilan hakiki.
Wallahu a'lam
Posting Komentar