-->

Pemuda Jadi Korban Krisis Pekerjaan, Kapitalisme Gagal Mensejahterakan


Oleh: Hamnah B. Lin

Dunia, saat ini dibayangi masalah serius di sektor ketenagakerjaan. Sejumlah negara besar melaporkan lonjakan angka pengangguran. Dimana situasi ini menunjukkan rapuhnya pemulihan ekonomi global, di tengah tekanan inflasi, perlambatan pertumbuhan, hingga ketidakpastian politik.

Kondisi ini tak hanya menekan daya beli masyarakat, tapi juga membawa dampak sosial dan politik yang luas. Ketika kesempatan kerja semakin terbatas, ketidakstabilan di berbagai negara bisa saja terpicu ( CNBC, 30/08/2025 ).

Sebuah survei global yang dilakukan selama November 2021—Januari 2022 menyatakan bahwa biaya hidup adalah kekhawatiran terbesar generasi Z (Gen Z) dan milenial. Gen Z umumnya dikategorikan yang lahir pada 1996—2009 (atau berusia 13—26 tahun pada 2022). Milenial sedikit di atasnya, lahir pada 1980—1995 (atau berusia 27—42 tahun pada 2022). (Wikipedia)

Terjadi krisis tenaga kerja global di beberapa negara besar seperti Inggris, Prancis, AS, dan Cina mengalami kenaikan angka pengangguran. Bahkan, muncul fenomena pura-pura kerja dan kerja tanpa digaji, semata demi dianggap kerja. Di Indonesia, meski secara nasional angka pengangguran turun, generasi muda mendominasi pengangguran. Separuh pengangguran adalah anak muda. 

Mencermati semua ini, jelas terdapat imbas keserakahan kapitalisme dan diskriminasi oleh penguasa melalui sistem pegawai negara, sistem kontrak, hingga pegawai honorer. Di samping itu, ada orientasi sistem pendidikan yang salah kaprah karena lulusan sebuah jenjang pendidikan hanya ditargetkan untuk bekerja. Ini juga dikuatkan oleh adanya berbagai program kewirausahaan pemuda di sejumlah perguruan tinggi, orientasi bekerja kian tajam mewarnai jejak kelulusan para sarjana.

Akibatnya, orang yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah, secara normatif dianggap tidak layak untuk memiliki pekerjaan bergengsi. Posisi mereka teropinikan bahwa untuk sukses haruslah memiliki usaha sendiri. Pada akhirnya, mereka hanya bisa masuk ke jalur UMKM. 

Jalur pendaftaran menjadi pegawai negara pun diiringi sederet persyaratan, belum lagi rawan suap dan gratifikasi. Padahal, potensi sumber daya ekonomi negeri ini sangat besar dan sumber daya alam pun melimpah. Namun, karena pengelolaannya diserahkan pada swasta asing/lokal melalui privatisasi, akses masyarakat luas untuk memperoleh andil mengelola sumber daya tersebut malah jadi terbatas.

Ujungnya, angka pengangguran dan kemiskinan tidak dapat terhindarkan, tetapi sumber daya perut bumi dari tanah airnya sendiri pun masuk ke kantong swasta. Ketika pada gilirannya rakyat bekerja kepada perusahaan swasta, tidak sedikit yang harus “ditumbalkan”. 

Berbeda dengan Islam, Ideologi Islam yang sudah jelas memuat aturan dari Allah dan Rasul-Nya sehingga mustahil menyalahi fitrah manusia. Islam mengatur perihal wajibnya jalur nafkah dari seorang laki-laki bagi istri dan anak-anaknya. Seorang istri tidak harus berganti peran dari tulang rusuk menjadi tulang punggung ketika suaminya meninggal atau tidak mampu bekerja karena jalur nafkah yang lain masih ada, bisa dari ayahnya (jika masih hidup), saudara laki-lakinya, ataupun anak laki-lakinya.

Islam juga memiliki aturan dalam masalah pekerjaan yang diatur secara rinci. Pekerja dan pemberi kerja diikat dalam akad ijarah. Perjanjian keduanya harus saling menguntungkan. Tidak boleh ada yang melakukan kezaliman. Pengusaha akan mendapatkan keuntungan dari kerja yang dilakukan pekerja dan sebaliknya, buruh akan mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya.

Dalam penentuan imbalan, Islam memiliki ketentuan khusus. Dalam kitab Nidham Al Iqtishadi tulisan Syekh Taqiyudin an-Nabani, dijelaskan bahwa upah pekerja adalah kompensasi dari jasa pekerjaan yang sesuai dengan nilai gunanya. Penentuan upah ini tidak boleh diserahkan pada pengusaha, penguasa, pekerja atau keumuman masyarakat, tetapi kepada ahlinya, yaitu orang yang punya keahlian menentukan upah.

Selain masalah akad ijarah, Islam membagi kekayaan menjadi tiga bagian, kekayaan negara, kekayaan pribadi dan kekayaan umum. Negara akan memberi kebebasan rakyat mengelola hartanya asalkan dengan cara yang halal. Untuk kekayaan negara berasal dari jizyah, fa’i, kharaj, ghanimah, harta tidak bertuan, dan lainnya yang akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan negara. Sedangkan, kekayaan umum yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) akan digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyat (kesehatan, pendidikan, dan sarana umum lainnya).

Dengan pemenuhan di atas, maka rakyat tidak lagi perlu memikirkan bagaimana membiayai pendidikan dan kesehatan. Mereka bisa berkonsentrasi pada pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Walau demikian, jika masih ada yang hidup kekurangan, Islam menetapkan zakat bagi yang mampu. Zakat itu dikelola negara untuk diberikan kepada delapan orang yang membutuhkan. Dengan begitu masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya, di samping itu mereka juga mendapat jaminan kerja dari negara.

Apabila hal di atas dapat dilaksanakan secara sempurna, maka kemiskinan secara berangsur akan hilang. Sayangnya, konsep seperti di atas tidak bisa dijalankan dalam sistem kapitalisme. Konsep pekerja dan pengusaha ini hanya akan berjalan jika ada sistem Islam. Pemerintah dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan menerapkan konsep ijarah. 

Menegaskan kembali bahwa penguasa dalam Islam berperan sebagai raa'in yaitu mengurusi rakyatnya agar mendapatkan pekerjaan. Negara memfasilitasi rakyat agar memiliki pekerjaan, yaitu dengan pendidikan, bantuan modal, industrialisasi, pemberian tanah, dll. Penerapan sistem ekonomi Islam menjadikan kekayaan dunia terdistribusi secara adil, tidak terkonsentrasi pada segelintir pihak.  Melalui sistem pendidikan Islam, negara menyiapkan SDM berkualitas, tidak hanya siap kerja, tetapi memiliki keahlian di bidangnya. Sehingga tidak ada lagi pemuda yang kwatir tidak mendapatkan pekerjaan karena tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, karena mereka bekerja bukan semata mencari uang tapi karena bentuk ibadah.
Wallahu a'lam.