-->

Korupsi Menggurita, RUU Aset Tak Menyentuh Akar Masalah


Oleh : Sri Wahyu Anggraini, S.Pd (Guru dan Aktivis Muslimah Lubuklinggau)

Menteri koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasyarakatan" Yusril Ihza Mahendra menyatakan keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti isu krusial yang tengah menjadi sorotan publik, salah satunya adalah komitmen pembahasan rancangan undang-undang atau RUU perampasan aset. RUU ini diharapkan menjadi instrumen hukum yang efektif untuk menjerat pelaku korupsi sekaligus memulihkan kerugian negara. (Tempo.co,10/09/25)

Kebutuhan akan perampasan aset dipandang semakin mendesak di tengah maraknya kasus korupsi skala besar, salah satu yang menjadi sorotan adalah dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan di Kemendikbud ristek pada periode 2019-2022 yang menurut kejaksaan agung mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 1,98 triliun. (Newsdetik.com,04/09/25). Lorong gelap korupsi juga merembet ke sektor pengelolaan dan haji Indonesia corruption watch (ICW) melaporkan kepada KPK dugaan penyimpangan dalam pengadaan layanan masyair haji dan catering pada musim haji 1446 H/ 2025 M, dengan potensi kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah. (antikorupsi.org/3/8/25).

RUU perampasan aset memang terlihat progresif tetapi hanya menyentuh aspek kuratif bukan preventif. Fokusnya sebatas merampas aset setelah korupsi terjadi tanpa menyentuh akar masalah, efektivitasnya pun diragukan apalagi rawan intervensi politik, bahkan ada kekhawatiran aset hanya dijadikan kompensasi sehingga pelaku lolos dari hukuman setimpal dan mentalitas produktif tetap langgeng. Akar masalah korupsi sendiri sesungguhnya terletak pada sistem politik yang dianut yakni demokrasi yang meniscayakan biaya politik sangat mahal, dari mulai ongkos kampanye, logistik untuk mengamankan dukungan, hingga biaya mempertahankan jaringan politik semuanya menuntut pengeluaran besar. Tidak mengherankan bila banyak pejabat merasa perlu balik modal setelah duduk di kursi kekuasaan, salah satunya dengan cara menyalahgunakan kewenangan atau menilap anggaran negara. Situasi ini diperparah dengan gaya hidup hedonis yang mendorong pejabat semakin rakus terhadap harta. 

Sementara lemahnya Iman menjadikan jabatan bukan sebagai amanah melainkan sebagai sarana memperkaya diri, keluarga, dan partai. Selain itu hukum yang berlaku saat ini berbasis sekuler buatan manusia sehingga mudah dilobi, ditawar bahkan di manipulasi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Tidak jarang pasal-pasal hukum yang ada dipakai secara diskriminatif tajam kebawah namun tumpul ke atas, hal ini memberi ruang luas bagi para koruptor untuk mencari celah lolos dari jerat hukum entah melalui permainan pasal, remisi, hingga praktek suap di lembaga penegak hukum. Maka selama akar persoalan berupa sistem politik dan hukum yang cacat tidak disentuh, regulasi seperti RUU perampasan aset tidak akan mampu menghadirkan solusi tuntas.

Persoalan korupsi akan tuntas di bawah penerapan Islam Kaffah. Sebab Islam menghadirkan solusi yang Paripurna dalam menyelesaikan persoalan korupsi baik secara preventif maupun kuratif. Dengan dukungan sistem politik Islam yang bersumber dari zat yang Maha Adil, pada aspek preventif Islam meletakkan pondasi melalui pendidikan yang berbasis akidah. Sejak dini umat dibentuk agar memiliki keimanan kokoh yang melahirkan pribadi bertaqwa, ketakwaan inilah yang menjadi benteng utama bagi seorang muslim dari perbuatan maksiat termasuk korupsi. 

Jabatan dalam Islam bukanlah sarana memperkaya diri melainkan amanah besar yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala. Sistem politik Islam tidak mengenal biaya politik yang mahal sebagaimana dalam demokrasi penguasa diangkat bukan karena transaksi kepentingan melainkan karena ketaatan dan kapasitas menjalankan hukum Allah secara menyeluruh, di samping itu jelas untuk menyiasati hukum pun tertutup sebab hukum yang diterapkan adalah syariat yang bersifat tetap dan tidak dapat diubah sesuai kepentingan. Islam juga menumbuhkan budaya Amar ma'ruf nahi mungkar sebagai kontrol sosial yang hidup di tengah masyarakat dengan budaya saling menasehati dan mengingatkan praktek korupsi akan sulit tumbuh subur. Dalam bingkai Khilafah dimungkinkan pula dibentuk lembaga khusus yang mengawasi harta pejabat memastikan bahwa setiap pemasukan dan pengeluaran mereka bersih dari praktik haram. Langkah-langkah preventif ini menjadikan korupsi bukan sekedar dilarang oleh hukum tetapi juga tercela secara sosial dan terhalang oleh ketakwaan individu.

Adapun pada aspek kuratif Islam memiliki perangkat sanksi hukum yang tegas untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi. Hukuman diberikan melalui mekanisme Ta'zir yakni sanksi yang ditetapkan khalifah sesuai tingkat kejahatan berdasarkan hasil ijtihad, ta'zir dapat berupa penjara,pengasingan, hingga hukuman mati bila kerusakan yang ditimbulkan sangat besar. Allah subhanahu wa ta'ala 
menegaskan: 
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَا ۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 33).

Ayat ini menunjukkan bahwa kerusakan besar seperti korupsi bisa dihukum dengan sangat tegas demi menjaga masyarakat dari kerusakan yang lebih luas dengan kombinasi antara pendidikan Iman, kontrol sosial, dan penegakan hukum syariat yang adil. Islam bukan hanya menawarkan solusi jangka pendek tetapi menyentuh agar persoalan sehingga korupsi dapat benar-benar diberantas.

Wallahu A'lam Bisshowab.