-->

Kondisi pendidikan di Indonesia setelah 80 tahun merdeka


Oleh : Heni Satika (Praktisi Pendidikan)                
Bulan Agustus selalu menjadi hal yang istimewa bagi Bangsa Indonesia. Banyak kegiatan lomba, pertunjukkan seni dan upacara untuk memperingati hari Kemerdekaan Indonesia. Tidak terasa 80 tahun sudah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Delapan puluh tahun bukanlah angka yang kecil, artinya sudah selama itu kita mengatur pemerintahan secara mandiri tidak dibawah tekanan penjajah. Apakah kondisi Indonesia sudah lebih baik dari sebelumnya?

Mari kita lihat disektor pendidikan, masih banyak sekolah dengan fasilitas yang jauh dari kata memadai. Dilansir dari kompas.id (16/8/2025) di Desa Embonatana, Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan terdapat sekolah yakni SD negeri 084 yang ruang kelasnya berlantai tanah dengan dinding papan kayu dan papan tulis yang kurang layak untuk dipakai karena berlubang. Jangan bertanya akses jalan menuju desa. Tidak ada kendaraan roda empat yang bisa lewat. Jalan desa yang kecil dengan jalur ekstrem kala musim penghujan, mendaki, berlumpur hingga harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang mulai lapuk.

Berdasarkan data dari Portal Data Kemendikdasmen 60% ruang kelas dalam kondisi rusak, terutama untuk tingkat Sekolah Dasar. Ini masih kebutuhan dasar sekolah berupa ruang kelas belum lagi ketiadaan fasilitas penunjang seperti laboratorium, perpustakaan dan tempat ibadah. Masih jauh panggang dari api, jika kita ingin memajukan negeri ini, tetapi pendidikan tidak mendapat perhatian serius pemerintah.

Pendidikan bukan hanya bicara tentang fasilitas fisik tetapi juga tujuan dan arah pandang pendidikan. Bicara tataran konsep pendidikan di Indonesia masih membingungkan. Pendidikan menjadi sarana rebutan proyek dan anggaran. Kejadian belakangan ini seaakan memperjelas akan ketidakjelasan arah pendidikan Indonesia. Kemendiktisaintek membentuk sekolah Garuda, sedangkan Kemensos punya Sekolah Rakyat, disusul Danantara berencana mendirikan Universitas Danantara. Betapa kacaunya jika semua lembaga nantinya membentuk sekolah. Seharusnya seluruh kementrian focus pada tugasnya dan berkolaborasi sesuai perannya. 

Mengapa kekacauan ini terjadi, bahkan dilaporkan tumpang tindihnya kewenangan ada di berbagai sector dan kementrian. Salah urus, salah sasaran sepertinya memang disengaja. Dasar pengelolan negeri ini berasaskan pada system Demokrasi Kapitalisme. Cara pandang Demokrasi yang menjadikan pendapat manusia merupakan hal terbaik untuk diikuti jelas kesalahan. Karena pasti bersumber pada hawa nafsu mereka. Sehingga aturan yang dibuat akan menguntungkan pembuat kebijakan. Maka berlomba-lomba orang untuk sampai pada kedudukan ini dengan menjadi anggota parlemen. 

Kesalahan berikutnya dari system ini adalah menjadikan pendidikan sebagai barang komoditas. Kualitas sekolah disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Jika anda orang dengan finansial mumpuni maka akan mencari sekolah mahal tetapi berkualitas. Sedangkan jika sebaliknya maka anda harus puas dengan sekolah negeri.

Hal tersebut berbeda dengan Islam yang menetapkan arah pandang kebijakan negara adalah keridhoan Allah SWT. Sehingga para penguasa akan berlomba menerapkan aturan Allah yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah. Sehingga ketika Islam memposisikan penguasa sebagai ro’yin (penggembala/pengurus) maka aturan Islam berupa kewajiban menuntut ilmu akan diterjemahkan penguasa dengan pemberian layanan pendidikan gratis, terjangkau dan layak untuk seluruh lapisan masyarakat.
Sumber pendanaan negara Islam berlimpah karena berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang selama ini di cengkeram asing dan aseng. Indonesia kaya akan sumberdaya alam jika diurus sesuai syariat Islam maka keberkahan akan diberikan untuk masyarakat. Saatnya kembali pada syariat Islam