-->

Pelecehan Seksual dan Krisis Moral, Potret Kelam Bekasi Hari Ini


Oleh : Fauziyah Ainun

Mahasiswi dan Aktivis Dakwah Remaja
Dilansir dari detiknews.com, 27/8/2025, Seorang sopir angkot berinisial AA (35) telah ditetapkan sebagai tersangka setelah melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap penumpangnya, seorang remaja berinisial KJS (15). Peristiwa terjadi pada 17 September 2024 sekitar pukul 22.00 WIB. Korban yang biasa menumpang angkot tersebut tidak diantar ke rumahnya malah dibawa ke kontrakan pelaku di Jalan Damai, Jatiasih, Bekasi. Di sana, AA menodong korban dengan pisau, mengancam akan membunuh, hingga akhirnya melakukan pemerkosaan. Korban akhirnya bisa keluar dari kontrakan pelaku setelah mengeluhkan sakit perut. Ia kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi hingga AA ditangkap pada 29 Juli di Stasiun Bekasi. Pelaku kini dijerat dengan Pasal 81 UU Nomor 17 Tahun 2016, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara. 

Selanjutnya, dilansir dari rakyatbekasi.com, 27/8/2025, Oknum guru olahraga berinisial JP (59), kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelecehan seksual terhadap siswi SMPN 13 Kota Bekasi. JP diketahui adalah Anggota Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah tersebut dan sebelumnya juga pernah menjadi pembina OSIS. Posisi ini seharusnya membuatnya menjadi garda depan dalam perlindungan siswa, bukan sebaliknya. TPPK memiliki tugas strategis dalam menangani masalah kekerasan di lingkungan sekolah, seperti perundungan (bullying) dan tawuran antar siswa. Ironisnya, JP sendiri justru melakukan tindakan yang jauh lebih serius yaitu pelecehan seksual. Menyikapi kejadian ini, Kepala Sekolah SMPN 13 Bekasi, Titiek Atikah, mengonfirmasi bahwa semua tugas tambahan JP telah dicopot. Guru tersebut juga telah dinonaktifkan dari tugas mengajarnya oleh Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, dan pelaku kini ditangani oleh pihak kepolisian. Insiden ini menjadi cerminan kegagalan sistem pengawasan internal sekolah. Sebagai respons, pemerintah daerah memutuskan memberikan sanksi administratif terhadap Kepala Sekolah, yang dinilai lalai dalam pengawasan dan tidak mendeteksi potensi bahaya dari oknum yang dipercayakan melindungi siswa.

Dari dua kejadian tersebut menunjukkan pola kegagalan berlapis, yaitu keamanan transportasi publik yang rapuh, tata kelola sekolah yang tidak tahan benturan konflik kepentingan, serta respons institusi yang cenderung reaktif, alih-alih preventif. Ironinya, keduanya terjadi di ruang yang seharusnya paling aman bagi anak, sebagai perjalanan harian dan lingkungan sekolah. Sehingga dampak traumanya bersifat ganda, yaitu pada korban dan pada rasa aman kolektif.

Rapuhnya sistem perlindungan terhadap perempuan dan anak di ruang publik maupun lembaga pendidikan. Rentannya kejahatan di ruang transportasi umum, mengikis rasa aman masyarakat, khususnya perempuan, ketika menggunakan fasilitas publik. Padahal, transportasi seharusnya menjadi sarana mobilitas yang aman dan nyaman. Begitupun lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman dan mendidik, justru berubah menjadi tempat predator bersembunyi di balik jabatan.

Fakta bahwa korban sampai mengalami trauma psikis berat, kehilangan semangat belajar, bahkan terdorong untuk menyakiti diri sendiri, menunjukkan betapa seriusnya dampak pelecehan seksual. Pelaku JP merupakan anggota TPPK, lembaga internal yang dibentuk untuk mencegah kekerasan di sekolah. Hal ini memperlihatkan adanya kelemahan struktural. Jabatan diberikan tanpa verifikasi moral dan pengawasan ketat. Akibatnya, predator justru bersembunyi di balik sistem yang seharusnya melindungi. Karena Pelaku memanfaatkan power imbalance ditambah dengan lemahnya pengawasan real-time. Sedangkan korban adalah anak/remaja, yaitu kelompok dengan “daya tawar terendah” atas ruang dan keputusan.

Dari sini terdapat kegagalan sistemik yang terdeteksi diantaranya, desain pengamanan “di atas kertas”. Sekolah punya TPPK, tapi tanpa pagar etika/rotasi dan uji kelayakan (background & behaviour) yang ketat; transportasi punya izin operasional, tetapi minim compliance auditing (CCTV/dashcam, panic button, pelacakan rute, uji psikologi). 

Kemudian akuntabilitas kabur, tidak ada entitas independen yang mengawasi. Kurangnya respon dan lambannya Independensi pengawasan, forensik dan pendampingan proaktif, serta data dan transparansi. Dan terakhir, hanya sebatas reaktif, bukan preventif. Tindakan cepat biasanya baru terjadi setelah viral/penangkapan (no viral, no justice).
Islam sebagai sistem hidup memberikan solusi menyeluruh untuk melindungi kehormatan manusia dengan langkah sebagai berikut :
Pertama, Pencegahan (Sadd adz-Dzari’ah) berupa larangan mendekati zina (QS. Al-Isra: 32) yang menegaskan pentingnya menutup semua celah menuju pelecehan seksual. Juga negara wajib menyediakan transportasi aman, sekolah harus mengawasi guru dan staf dengan sistem yang kuat, dan masyarakat yang aktif dalam amar ma’ruf nahi munkar.

Kedua, Hukuman Tegas (Hudud & Ta’zir). Pemerkosaan yang terbukti masuk dalam kategori zina dengan paksaan mendapat hukuman hudud yang berat (rajam atau cambuk). Dan pelecehan non-penetratif masuk dalam ranah ta’zir, yang mana sanksi ditentukan oleh hakim/penguasa sesuai tingkat kejahatan. Hukuman ini mencakup penjara, pengasingan, sanksi sosial, agar menimbulkan efek jera.
Ketiga, akuntabilitas lembaga. Rasulullah ﷺ bersabda, 
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin.." (HR. Bukhari). 
Maka sekolah, pemerintah daerah, dan pengelola transportasi mempunyai tanggung jawab pada bidangnya dan wajib diawasi secara ketat. Juga mekanisme hisbah dalam Islam memungkinkan masyarakat menegur dan melaporkan pemimpin atau lembaga yang lalai. 

Keempat, Perlindungan Korban. Adanya kewajiban menolong dan melindungi korban (QS. An-Nisa: 75). Negara harus menyediakan rehabilitasi medis, psikologis, dan hukum secara gratis. Dan dana di Baitul Mal, zakat, atau APBD dapat digunakan untuk mendukung pemulihan korban agar tidak terpuruk.

Terakhir, Pendidikan Moral dan Iman. Nabi ﷺ diutus untuk menyempurnakan akhlak. Maka, sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan iman, taqwa, iffah (menjaga kehormatan), dan literasi consent (persetujuan). Keluarga dan masyarakat harus aktif menanamkan rasa malu (al-hayaa’) dan proteksi diri sejak dini.

Dalam pandangan Islam, pelecehan seksual adalah bentuk kezaliman besar yang merampas kehormatan manusia. Negara dan lembaga pendidikan wajib menjalankan amanah sebagai pelindung, bukan justru menjadi ruang aman bagi predator. Islam menempatkan kehormatan manusia sebagai salah satu maqāṣid asy-syarī‘ah yang wajib dijaga. Negara wajib menjamin keamanan ruang publik dan sekolah. Hukum Islam diterapkan tegas tanpa pandang bulu. Pendidikan berbasis akidah membentuk pribadi yang takut kepada Allah. Masyarakat diberi ruang untuk mengontrol dan mengingatkan. Dengan penerapan Islam kafah, pelecehan seksual tidak akan dianggap masalah pribadi atau sekadar kasus kriminal, tetapi dosa besar yang merusak tatanan masyarakat dan harus dicegah serta diberantas dari akarnya.

Wallahu a’alam bish shawaab