-->

Jeritan Rakyat Tak Didengar, DPR Nikmati Tunjangan Fantastis


Oleh : Isna Anafiah
Aktivis Muslimah

Di tengah kehidupan yang serba sulit. Publik di gemparkan dengan pemberitaan tunjangan pemerintah yang jumlahnya sangat fantastis. Berita tersebut sontak membuat masyarakat geram. Sebab sangat kontras dengan realita masyarakat di lapangan.

Menurut berita di berbagai platfrom media tunjangan dan gaji anggota DPR jika dikalkulasikan antara gaji dan berbagai tunjangan yang di dapatkan jumlahnya tidak main-main lebih dari Rp.100 juta perbulan. Jika di hitung-hitung total anggaran sewa rumah saja dengan rincian 50 juta perorang artinya jika jumlah anggota DPR ratusan nilainya bisa triliunan selama mereka menjabat. Namun, di sisi lain berbagai intasi ekekutif di minta melakun efisiensi anggaran yang totalnya tidak sedikit. Akibat efisiensi tersebut pelayanan yang diterima masyarakat kualitasnya menurun. (Www.bbc.com 19/08/2025)

Apa lagi di saat yang sama masyarakat saat ini kondisinya sedang menghadapi berbagai permasalahan yang begitu kompleks. Mulai dari harga kebutuhan pokok yang kian mencekik, gelombang PHK makin tinggi, beban pajak naik, kesehatan serta pendidikan mahal. Kemiskinan meningkat, penganguran makin tinggi, belum lagi daya beli masyarakat juga menurun. Sementara di sisi lain para guru honorer hanya memperoleh gaji sebesar Rp 300 ribu perbulan tanpa tunjangan. Realita ini sungguh sangat menyayat hati. Para penguasa dan wakil rakyat tersebut tidak memiliki empati dan miskin moral. Meraka hidup dengan harta berlimpah, sementara rakyat justru hidup dalam kondisi serba sulit.

Fakta tersebut tidak terlepas dari sistem politik yang menaungi negeri ini. Di dalam politik demokrasi modal yang di keluarkan untuk mendapatkan kursi empuk biayanya tidak murah. Bahkan para penguasa yang sudah mendapatkan kursi empuk tersebut akan menghalalkan berbagai cara untuk mengbalikan modal. Sebab dalam sistem demokrasi kapitalis, jabatan politik merupakan jalan pintas untuk meraih kekuasaan termasuk materi. Sehingga yang terjadi di dalam sistem tersebut hanya bagi-bagi kursi dan kekuasaan, karena kekuasaan dipandang sebagi investasi bukan sarana untuk melayani rakyat. Semenatara rakyat tidak pernah mendapatkan kesejahtraan sebagaimana mestinya. Faktanya politik dalam sistem demokrasi yang terjadi hanya transaksi bisnis berupa kebijakan yang akan menguntungkan pengusaha bukan mensejahtrakan rakyat. Demokrasi telah menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum. Namun hawa nafsu yang tanpa batas dan kepentingan sebagai sumber rujukan untuk membuat berbagai kebijakan yang dapat menguntungkan para pemilik modal.

“Demokrasi merupakan sistem kufur, karena menyerahkan hak pembuatan hukum kepada manusia, bukan kepada Allah. Dalam sistem tersebut, rakyat memilih wakil untuk membuat hukum, padahal yang memiliki hak untuk menetapkan hukum hanyalah Allah Swt ” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam)

Sistem demokrasi sesungguhnya bukanlah sarana untuk mengurus kepentingan umat, akan tetapi untuk mewakili kepentingan partai dan kepentingan para oligarki. Bahkan mereka memiliki wewenang menyusun anggaran termasuk anggaran pribadi, agaran tersebut sangat rawan disalahgunakan. Sebab jabatan kerap dijadikan investasi dan jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan. Mereka hidup dengan harta berlimpah hingga menimbulkan kesenjangan sosial ditengah masyarakat, kelakuannya yang tidak merakyat telah membuat masyarakat hilang trust. Sebab sistem yang menaunginya tidak dirancang untuk mendekatkan penguasa dengan rakyat. Melainkan melanggengkan kepentingan para pengusaha.

Sistem yang rusak hanya menghasilkan wakil rakyat yang bejat, tidak memiliki empati dan moral. Mereka hanya fokus memikirkan diri sendiri dan para pemilik modal. Bahkan mereka tidak perduli dengan jeritan dan tangisan rakyat. Mereka menganggap rakyat sebagai beban negara. Rakyat hanya di jadikan " sapi perah demokrasi" rakyat seolah hanya "dipelihara" saat pemilu saja untuk di ambil suaranya saat pemilu berlangsung. Lalu diperas hartanya untuk membiayai kursi empuk. 

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berbeda halnya dengan Islam, yang memandang kekuasaan sebagai amanah yang kelak akan di mintai pertanggung jawaban di akhirat oleh Allah Sw dan Allah juga memberikan azab yang pedih bagi para penguasa yang zalim yang telah menelantarkan rakyatnya dan tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya hanya untuk kepentingan tertentu. Penguasa yang tidak mampu berlaku adil dan mensejahtrakan rakyat merupakan penguasa yang zalim dan akan mengalami kehancuran. Akan tetapi jika negeri ini yang menjalankannya adalah penguasa yang adil pasti kehidupan masyarakat sejahtra dan makmur.

Dalam sistem Islam, penguasa merupakan pelindung dan pengurus rakyat, bukanlah profesi untuk mencari kekayaan.Sistem politik Islam juga mampu menihilkan korupsi kekuasaan. Sebab Islam memiliki lembaga yang dapat mewakili umat untuk mengontrol dan mengoreksi para wakil rakyat yaitu (Majelis umat). Bahkan di dalam Islam mengontrol dan mengoreksi penguasa merupakan sebuah kewajiban yang di wajibkan oleh Allah untuk mengubah perilaku para penguasa jika mereka mengabaikan urusan rakyat atau memutuskan persoalan bukan dengan hukum yang berasal dari Allah ( syariat) sehingga tidak ada hukum atau kebijakan yang menguntungkan para penguasa karena di dalam Islam berbagai persoalan masyarakat di selesaikan dengan hukum Islam bukan yang lain. 

"Majelis Umat" di dalam sistem Islam merupakan lembaga untul menyampaikan aspirasi bukan pembuat hukum, sebab di dalam Islam sumber hukum hanyalah syariat Islam. Sebab Majelis umat fungsinya memberikan pendapat dan juga rujukan kepada para (khalifah) dalam meminta pendapat serta masukan agar berbagai persoalan terselesaikan dengan tuntas. Seperti menyampaikan pendapat, mengontrol kinerja penguasa, serta memberikan masukan pada kebijakan negara. Para penguasa di dalam Islam dipilih karena mereka miliki akhlak yang baik dan ilmu, bukan karena mereka memiliki banyak harta atau koneksi. 

Sebab Islam adalah akidah Islam sebagai asas. Sehingga setiap pejabat terikat dengan syariat. Bahkan sebagai pemimpin mereka tidak memiliki hak untuk menentukan gaji dan tunjangan, karena pengelolaan harta umat dilakukan dengan terperinci dan pengawasan yang ketat. 

Bahkan di dalam sistem Islam, para penguasa akan diperiksa kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika harta para penguasa bertambahnya tidak wajar, maka akan disita di serahkan kepada Baitul Mal.

“Para penguasa di dalam Islam tidak memiliki hak untuk mengatur kebijakan sesuai hawa nafsunya atau kepentingan tertentu. Berbagai persoalan harus tunduk kepada SOP dari Allah yaitu hukum syara’. Jika ditemukan penyimpangan, maka umat akan mengoreksi dan mencabut kekuasaan tersebut"

Rasulullah ﷺ dan para khalifah setelahnya sudah mencontohkan bagaimana seorang penguasa dalam menjalankan hidup dan amanahnya. Rasulullah saw sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan orang ansor dan muhajirin yang mewakili mereka. Bahkan para penguasa tersebut hanya mengambil gaji sekadar untuk bisa survive (bertahan hidup) atau berupa kebutuhan dasar hidup keluarganya. Islam yang diterapkan dalam level negara mengelola kekayaan alam dan keuangan publik hanya untuk kesejahteraan umat, bukan untuk memperkaya elite penguasa. Dengan demikian, tidak ada celah bagi penguasa untuk menikmati gaji jumbo dan tunjangan fantastis sementara rakyat sengsara.

Dengan demikian kasus gaji DPR yang fantastis merupakan potret buram sistem demokrasi kapitalis yang gagal menyejahterakan rakyat. Sistem tersebut tidak layak untuk dipertahankan. Sebab jika terus dipertahankan, maka tidak akan pernah tercipta keadilan dan kesejahteraan. Jika masyarakat benar-benar menginginkan pemerintahan yang mampu menciptakan keadilan, kesejahteraan, serta amanah, maka solusi satu-satunya bukan sekadar mengkritik angka gaji, dan tunjangan, akan tetapi mengganti sistem yang di terapkan di negeri ini dengan syariat Islam dalam level negara. Hanya pemimpin di dalam Islam yang peduli dengan kebutuhan rakyatnya dan tidak hidup hedonis dengan menggunakan anggaran negara.

Wallahu a’lam bish-shawab.