Berbagai Aksi Massa Bukanlah Solusi Perubahan Hakiki
Oleh : Ummu Ayesa, Aktivis Muslimah
Sejak 25 Agustus 2025, berbagai aksi massa terjadi di 107 titik di 32 provinsi di Indonesia. Di beberapa tempat, aksi berlangsung anarkis, bahkan hingga memakan korban jiwa. Sebelum tanggal tersebut, seruan aksi massa memang sudah tersebar di media sosial atas nama Revolusi Rakyat Indonesia. Para penggagasnya mengajak semua elemen masyarakat untuk turut dalam aksi tersebut. Tujuannya menyampaikan protes terhadap berbagai kebijakan penguasa yang kian hari kian menyusahkan rakyat.
Adapun pemicunya karena adanya kebijakan soal pajak khususnya kenaikan PBB yang dipandang sangat zalim dan akhirnya memicu demo besar-besaran di berbagai daerah. Di Pati, sekitar 100.000 warga turun ke jalan, menuntut Bupati Sudewo meletakkan jabatan. Di Jombang, Semarang, Bone dan sebagainya, masyarakat dan mahasiswa juga turun ke jalan karena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) naik drastis, bahkan di Cirebon kenaikan terjadi hingga 1.000%.
Kekisruhan ini diperparah dengan pembahasan RAPBN yang strukturnya dipandang makin tidak adil. Di satu sisi atas nama efisiensi, pembiayaan pada sektor-sektor layanan umum terus dipangkas dan pendapatan dari pajak pun terus digenjot. Di sisi lain, pos pembelanjaan dirancang sangat boros pada program-program populis dan berbau politik. Termasuk soal rencana penambahan tunjangan anggota DPR hingga angka yang fantastis. Padahal, kasus-kasus korupsi yang dilakukan para penjabat negara—baik eksekutif maupun legislatif—kian marak dan kinerja mereka pun dipertanyakan.
Bahkan, pada Senin 8 September 2025 lalu telah terjadi Reshuffle kabinet merah putih terbaru dengan pergantian di 5 posisi kementerian. Yang paling disoroti oleh publik salah satunya adalah posisi menteri keuangan yang semula dijabat Sri Mulyani diganti oleh Purbaya Yudhi Sadewa yang sebelumnya menjabat Ketua dewan komisioner LPS, sebagai efek domino dari desakan publik dan kebutuhan untuk melakukan perbaikan kinerja Menteri (detikNews.com).
Fakta-fakta itulah yang mendorong para demonstran turun ke jalan pada 25 Agustus 2025. Mereka secara damai menyampaikan beberapa tuntutan, termasuk pengusutan kasus dugaan korupsi keluarga Mantan Presiden Joko Widodo dan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, serta mendesak DPR untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai kontrol pemerintah.
Begitu pun aksi yang digelar para buruh pada 28 Agustus 2025, awalnya berlangsung damai dengan membawa enam tuntutan berbeda, yakni penghapusan outsourcing, penolakan upah murah, menstop PHK, percepatan pembahasan RUU Ketenagakerjaan, RUU Perampasan Aset, dan meminta DPR merevisi UU Pemilihan Umum (Pemilu).
Namun, alih-alih mendengarkan berbagai kritik keras dan masukan dari masyarakat, beberapa anggota DPR malah mengeluarkan berbagai pernyataan dan melakukan perbuatan yang kian memancing kemarahan rakyat. Di luar kebiasaan mereka melakukan flexing, ada di antara mereka yang menghina rakyat dengan kata-kata kasar, nyinyir atas protes rakyat soal tunjangan DPR, termasuk malah berjoget ria di gedung DPR seolah bergembira atas kenaikan tunjangan yang praktis akan membebani APBN.
Oleh karena itu, sesungguhnya, aksi yang dilakukan masyarakat tidak bisa membawa perubahan apa pun. Memang masyarakat sudah lama memimpikan adanya perubahan. Terlebih kehidupan mereka alih-alih membaik, kemiskinan makin merebak dan makin parah, gap sosial makin lebar, moral generasi makin hancur, politik pun penuh dengan intrik dan hipokrisi. Namun sayangnya perubahan yang ada pada benak mereka masih sebatas asal berubah. Cara berpikir mereka masih sangat pragmatis dan selalu fokus pada pergantian personal.
Itulah sebabnya rakyat negeri ini masih mudah diiming-iming iklan dan pencitraan. Meski sering dikecewakan, mereka selalu saja melakukan kesalahan yang berulang. Mereka menempuh jalur demokrasi yang memaksa untuk hanya fokus pada pergantian orang. Padahal, jika dicermati lebih dalam, akar dari semua problem kehidupan yang mereka hadapi justru karena buruknya sistem sekuler demokrasi yang diterapkan.
Tidak dimungkiri, perubahan sudah sering didengungkan di negeri ini oleh berbagai kalangan umat. Namun, sering kali perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang berada di permukaan, tidak mengubah struktur dasar (fundamental) dari sistem yang ada. Perubahan yang digagas pun sering kali terjebak pada sistem demokrasi—sebagaimana diterapkan hari ini.
Bahkan, keterlibatan dalam pemilu demokrasi masih populer bagi banyak orang yang ingin mengganti rezim dan membawa perubahan. Mereka berharap pemimpin baru yang terpilih akan memprioritaskan kepentingan rakyat dan membuat kebijakan yang lebih adil dan sejahtera, bahkan berharap bisa sampai pada penerapan Islam.
Demikian juga kekerasan aparat, penegakan hukum yang lemah, hingga pemilu yang tidak adil, dianggap karena tidak sempurnanya penerapan demokrasi sehingga memunculkan gerakan mahasiswa bahkan profesor menyerukan penyelamatan demokrasi. Ya, penerapan demokrasi yang baik masih dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
Wajar kalau perubahan yang diinginkan belum bisa terwujud. Ini karena kondisi yang makin karut-marut hari ini bukanlah persoalan personal atau kasuistik, melainkan persoalan sistemis sebagai akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme dengan sistem politik demokrasi. Padahal, demokrasi bukanlah solusi perubahan hakiki, melainkan sebaliknya, merupakan salah satu cara negara-negara besar melanggengkan hegemoninya. Perubahan menuju penyelamatan demokrasi tentu kontraproduktif dengan visi perubahan. Yang ada juga justru umat akan makin masuk lebih kuat dalam hegemoni negara-negara besar.
Oleh karenanya, jika perubahan yang ada masih terjebak pada kerangka sistem demokrasi, tentu perubahan yang diharapkan tidak akan pernah bisa terwujud. Alhasil menempuh jalur demokrasi untuk perubahan hakiki, justru bagai pungguk merindukan bulan. Bukan hanya tidak akan sampai pada kondisi ideal yang diinginkan, keterlibatan umat dalam perubahan ala demokrasi justru hanya akan melanggengkan keburukan.[]
Posting Komentar