-->

Dari Medan ke Sukabumi, Petaka Sanitasi dan Kesehatan Anak-anak Kita


Oleh : Linda Anisa

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan baru-baru ini mengungkap data yang mengejutkan, dimana dalam enam bulan pertama tahun 2025, tercatat 114 kasus kecacingan dari 41 puskesmas yang tersebar di Medan. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Medan, dr. Pocut Fatimah Fitri, kasus-kasus ini “tinggi terutama pada masyarakat kurang mampu dengan kondisi sanitasi yang buruk.” Ia juga menambahkan, “Cacingan menyebabkan kehilangan karbohidrat, protein, dan darah sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.” (GoSumut.com, 25 Agustus 2025)

Pernyataan tersebut seharusnya menjadi tamparan bagi kita semua bahwa cacingan bukan hanya masalah kesehatan kecil yang bisa ditangani dengan satu butir obat. Ia adalah potret dari wajah kemiskinan struktural, sanitasi yang terabaikan, dan sistem kesehatan yang belum berpihak pada akar masalah.

Obat Cacing Bukan Solusi Permanen

Memang, program pemberian obat cacing secara massal kepada anak-anak telah dilakukan, bahkan didukung kebijakan nasional seperti SKB 4 Menteri dan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). WHO dan Bank Dunia juga menegaskan bahwa pemberian obat cacing adalah intervensi murah dan efektif. Namun, efektivitas itu hanya bertahan jika lingkungannya bersih.

Masalahnya, banyak keluarga di Medan masih tinggal di lingkungan padat, dengan akses air bersih terbatas dan fasilitas sanitasi yang jauh dari layak. Bayangkan, seorang anak diberikan obat cacing hari ini, namun keesokan harinya kembali bermain di tanah tercemar, mandi dengan air yang tidak higienis, atau hidup di rumah tanpa toilet sehat. Infeksi ulang akan terus terjadi. Ini seperti menyiram api, tapi membiarkan bara tetap menyala.

Akar Masalah: Kesejahteraan Keluarga dan Lingkungan

Penyakit seperti cacingan tumbuh subur di lingkungan yang tidak sehat—dan lingkungan yang tidak sehat biasanya lahir dari kemiskinan. Ketika keluarga tidak mampu membangun toilet layak, tidak punya akses air bersih, atau tinggal di rumah sempit tanpa ventilasi, maka bukan hanya cacingan yang mengintai, tapi juga diare, stunting, dan penyakit infeksi lainnya.
Oleh karena itu, solusi tidak boleh hanya berbentuk tablet obat. Pemerintah daerah harus melihat ini sebagai indikator krisis sanitasi dan kemiskinan, bukan sekadar angka penyakit. 

Sayangnya, program kesehatan seringkali terjebak dalam paradigma “obat” — bukan “penyebab”. Ini mencerminkan wajah sistem kesehatan yang lebih kapitalistik, berorientasi pada kuratif (pengobatan), bukan preventif (pencegahan). Bahkan program yang digagas sekalipun kerap macet di tengah jalan karena miskin koordinasi dan tidak menyentuh akar masalah sosial ekonomi.

Kesehatan seharusnya bukan hanya soal obat gratis atau layanan di puskesmas. Ia harus berangkat dari prinsip keadilan sosial: bahwa setiap warga berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan layak, terlepas dari status ekonominya.

Islam Dan Solusi Holistik

Islam sebagai sebuah sistem hidup (way of life) menawarkan solusi yang holistik dan mendasar terhadap masalah-masalah seperti sanitasi buruk, kemiskinan struktural, ketimpangan layanan kesehatan, dan pengabaian terhadap hak-hak anak dan keluarga miskin. Dalam konteks kasus kecacingan di Medan dan kematian tragis Raya di Sukabumi, pendekatan Islam bukan hanya memberi solusi simptomatik (obat), tetapi juga menyentuh akar masalah sosial, ekonomi, dan pemerintahan.

Adapun beberapa solusi yang ditawarkan Islam:
1. Menjamin Kebutuhan Dasar Setiap Individu oleh Negara
Dalam Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat baik pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, Islam mewajibkan negara menyediakan Tempat tinggal yang layak, sebagaimana kebutuhan dasar manusia. Akses air bersih dan sanitasi yang sehat sebagai bagian dari hifzh an-nafs (menjaga jiwa). Layanan kesehatan gratis dan berkualitas, tanpa syarat administratif seperti KTP atau BPJS.


2. Pengelolaan Sumber Daya Alam hanya diperuntuk kepada Rakyat, Bukan Korporasi
Islam melarang privatisasi air, sumber energi, dan harta milik umum. Air adalah milik bersama, bukan komoditas yang dijual mahal. Rasulullah ﷺ bersabda: "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)

Dengan prinsip ini, negara dalam sistem Islam akan mengelola air dan sanitasi secara langsung untuk rakyat, bukan diserahkan kepada swasta dengan orientasi profit. Ini memungkinkan tersedianya air bersih secara luas dan murah. Infrastruktur sanitasi dibangun sebagai layanan publik, bukan proyek bisnis.
3. Distribusi Kekayaan yang Adil & Penghapusan Sistem Kapitalistik
Islam menolak sistem ekonomi kapitalistik yang membuat kekayaan berputar di tangan segelintir orang, sementara mayoritas hidup dalam kekurangan. Allah SWT berfirman yang artinya “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr: 7)

Dalam sistem Islam negara mengatur distribusi kekayaan melalui zakat, infak, dan sistem waris. Negara melarang akumulasi kekayaan berlebihan (monopoli, riba, pajak yang menindas rakyat kecil). Negara membangun program pemberdayaan keluarga miskin, bukan sekadar memberi bantuan temporer. Dengan itu, keluarga miskin tak akan tinggal di rumah reyot tanpa toilet seperti yang dialami Raya, atau hidup di permukiman kumuh penuh cacing seperti yang banyak ditemukan di Medan.
4. Tanggung Jawab Kolektif Umat
Islam juga memerintahkan masyarakat untuk saling peduli dan tidak membiarkan tetangganya kelaparan atau tinggal di tempat tak layak. Rasulullah bersabda yang artinya “Tidaklah beriman orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya.” (HR. Bukhari)
Ini berarti, dalam masyarakat Islam Ulama, masyarakat, dan pemimpin lokal wajib proaktif membantu keluarga miskin, bukan menunggu tragedi. Selain itu, lembaga zakat dikelola oleh negara dan didistribusikan secara adil, bukan hanya untuk simbolis atau pencitraan.

Solusi Islam adalah Solusi Sistemik

Kasus kecacingan di Medan dan tragedi balita Raya di Sukabumi adalah buah dari sistem kapitalisme sekuler yang mewajibkan rakyat bayar untuk layanan dasar, membiarkan kemiskinan struktural tanpa perubahan mendasar, menjadikan kesehatan sebagai komoditas, bukan hak.
Islam hadir sebagai solusi alternatif yang menempatkan rakyat sebagai amanah, bukan beban. Islam menjadikan negara pelayan umat, bukan penjaga kepentingan elite dan korporasi.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…”(QS. Al-A’raf: 96)
Jika negeri ini ingin benar-benar bebas dari tragedi seperti kecacingan massal dan kematian balita akibat kemiskinan, maka sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang diturunkan Allah — yaitu sistem Islam yang kaffah.
Wallahu a’lam bi ash sawab