Sistem Islam Menjamin Nafkah, Bukan Sekadar Program Negara
Oleh : Novi Ummu Mafa
Polemik seputar program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat setelah video temuan belatung dalam makanan MBG di Tuban viral di media sosial. Menu yang semestinya menjamin gizi anak sekolah justru menjadi sorotan karena diduga tidak layak konsumsi. Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elistianto Dardak menanggapi dengan menyatakan bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) akan melakukan investigasi resmi guna memastikan duduk perkara kasus ini (Realita.co, 20/07/2025).
Namun, sorotan tak berhenti di aspek higienitas semata. Sejumlah siswa SMKN Tambakboyo, Kabupaten Tuban yang turut merekam dan menyebarkan video tersebut dipanggil oleh guru Bimbingan Konseling (BK) hal ini memicu kekhawatiran publik akan adanya intimidasi terhadap suara kritis. Meskipun pihak sekolah dan Wakil Gubernur membantah dugaan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk tabayyun, langkah itu tetap menuai kecaman karena dianggap menghalangi partisipasi masyarakat dalam mengawasi program publik (Ngopibareng.id, 19/07/2025).
Insiden ini kembali membuka tabir persoalan mendasar dalam kebijakan distribusi pangan sekolah yang digadang-gadang menjadi program unggulan nasional. Alih-alih memperbaiki gizi generasi bangsa, implementasinya justru menyisakan persoalan keamanan pangan, lemahnya pengawasan, serta kesan pemerintah yang abai terhadap aspirasi masyarakat. Khususnya para pelajar yang menjadi pihak terdampak langsung. Dalam konteks ini, kegagalan tidak hanya soal makanan berbelatung, tetapi juga ketidakmampuan sistem dalam melindungi hak-hak dasar rakyat atas pangan yang layak, aman, dan bergizi.
MBG Bukan Solusi, Hanya Tambal Sulam
Alih-alih memperbaiki sistem pangan, program MBG justru menambah daftar masalah. Di berbagai daerah, fakta di lapangan menunjukkan pelaksanaan MBG jauh dari kata efektif. Mulai dari makanan yang tak layak konsumsi, jarak dapur yang terlalu jauh sehingga makanan tiba dalam kondisi tak segar, hingga makanan yang disajikan tidak sesuai standar gizi sebagaimana yang dijanjikan.
Lebih ironis lagi, anggaran besar untuk MBG justru dipaksakan dengan memangkas alokasi dari pos-pos penting seperti subsidi energi, pendidikan, dan kesehatan. Bukannya memperbaiki sistem kehidupan rakyat secara menyeluruh, negara justru memilih jalur kosmetik yang memanjakan pencitraan politik. Padahal, jika negara benar-benar ingin membantu rakyat, solusinya bukan bagi-bagi nasi gratis, melainkan dengan menurunkan harga listrik, BBM, pajak, kebutuhan dasar, biaya
pendidikan, dan kesehatan. Itulah bentuk keberpihakan nyata, bukan proyek seremonial.
Sistem Islam: Menjamin Nafkah
Dalam sistem Islam, masalah kelaparan dan kurang gizi tidak diselesaikan dengan sekadar membagi bantuan makanan. Islam membangun solusi dari akar permasalahan dan memberikan nafkah yang layak untuk setiap kepala keluarga.
Islam mewajibkan seorang ayah atau wali sebagai penanggung jawab nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Allah Swt. berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...”
(QS. An-Nisa: 34)
Jika seorang ayah tidak mampu memberikan nafkah, maka negara harus hadir bukan dengan memberi bantuan instan tetapi dengan membuka lapangan kerja, memberikan akses ekonomi, dan mendorong produktivitas. Negara dalam Islam bukan pelaksana proyek populis, tetapi pelindung dan pengurus rakyat (raa’in dan junnah). Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (penguasa) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sistem Islam dalam naungan Khilafah bukan hanya sekadar wacana, tetapi pernah dipraktikkan secara nyata selama 1300 tahun lamanya. Dalam sejarah Khilafah Islam, terutama pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra., negara sangat bertanggung jawab terhadap rakyat yang kelaparan. Umar sendiri turun tangan membantu rakyat yang tak bisa makan, bahkan memikul gandum dan memasaknya sendiri.
Dalam sistem Islam, jika seorang kepala keluarga tak mampu menafkahi, maka negara wajib mengambil alih tanggung jawab tersebut melalui Baitul Mal. Prinsip inilah yang menunjukkan betapa sistem Islam tidak membiarkan satu perut pun lapar apalagi menunggu proyek bagi-bagi nasi. Bahkan, jika seorang ayah atau kepala keluarga benar-benar tidak mampu bekerja, maka negara mengambil alih tanggung jawab nafkahnya dengan dana dari Baitul Mal.
Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sistem distribusi kekayaan dan jaminan pangan berjalan begitu baik hingga tidak ditemukan satu pun rakyat yang layak menerima zakat, karena seluruh kebutuhan dasar telah terpenuhi.
Dengan sistem Islam, anak-anak bisa makan bergizi bukan karena proyek politik, tapi karena keluarganya diberi kemampuan untuk menafkahi. Inilah sistem yang adil, beradab, dan menyejahterakan.
Posting Komentar