Kemiskinan dalam Permainan Standar Ala Kapitalisme, Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki
Oleh : Ghooziyah
Di tengah deretan klaim penurunan angka kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), publik dihadapkan pada kenyataan yang jauh berbeda. Maret 2025, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional hanya sekitar Rp20.305 per hari. Standar ini mengadopsi formula dari Bank Dunia: USD 2,15 per hari, dengan asumsi paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) 2017. Ironisnya, nilai itu bahkan tak cukup untuk membeli makanan bergizi satu hari, apalagi mencakup kebutuhan dasar lain seperti tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan.
Angka statistik ini mencerminkan permainan ilusi dalam sistem Kapitalisme. Pemerintah tampak lebih sibuk merapikan data di atas kertas ketimbang mengatasi realitas hidup rakyat. Di saat pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi secara massif, angka kemiskinan diklaim turun. Masyarakat pun semakin sadar, bahwa statistik dan realitas tidak selalu berjalan seiring, apalagi ketika dikendalikan oleh kepentingan citra politik.
Fenomena ini bukanlah kesalahan teknis belaka. Ia adalah gejala sistemik dari sistem Kapitalisme yang menilai keberhasilan ekonomi bukan dari terpenuhinya kebutuhan rakyat, tetapi dari pertumbuhan angka dan stabilitas pasar. Dalam sistem ini, kekayaan terpusat pada segelintir elite, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam kemiskinan struktural. Di berbagai daerah penghasil utama seperti Indramayu—penghasil padi dan garam terbesar—kemiskinan justru merajalela. Ini adalah paradoks yang menunjukkan bahwa sistem saat ini tidak berpihak pada keadilan distribusi kekayaan.
Lebih lanjut, akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak pun makin mahal. Lapangan kerja makin sempit, dan angka pengangguran, khususnya pria di wilayah perkotaan, terus meningkat. Kapitalisme tak memberi jaminan hidup, kecuali kepada mereka yang mampu bersaing dan bertahan dalam sistem pasar yang kejam dan bebas nilai.
Negara, dalam sistem Kapitalisme, bukan pelayan rakyat, tapi pelayan kepentingan pasar dan korporasi. Alih-alih menyediakan kebutuhan dasar, negara justru sibuk membuka pintu investasi dan menjual aset-aset publik kepada swasta. Kesejahteraan tidak menjadi prioritas, melainkan sekadar slogan untuk kampanye politik.
Sebaliknya, Islam memiliki sistem yang adil dan menyeluruh untuk mengatasi kemiskinan. Dalam sistem Khilafah Islamiyyah, negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu rakyat: sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Prinsip ini bukan hanya ideal, tapi telah terbukti dalam sejarah panjang peradaban Islam.
Dalam Khilafah, kekayaan alam adalah milik umum yang tidak boleh dikomersialkan. Negara mengelolanya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk korporasi. Sistem distribusi kekayaan dijalankan melalui mekanisme zakat, infak, jizyah, dan ghanimah. Negara tidak mengukur kemiskinan dari standar buatan lembaga asing, tetapi dari realitas: apakah setiap individu sudah mendapatkan hak-haknya sebagai manusia secara layak atau belum.
Islam tidak hanya membangun angka dan citra, tapi benar-benar menghadirkan kesejahteraan nyata. Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah contoh pemimpin dalam sistem Islam yang berhasil menghapuskan kemiskinan hingga tak ada lagi penerima zakat. Ini bukan dongeng sejarah, melainkan kenyataan yang mungkin terulang jika sistem Islam ditegakkan kembali secara kaffah.
Solusi Islam bukan tambal sulam. Ia bukan sekadar mengganti standar kemiskinan atau menambah bantuan sosial sementara. Islam menawarkan perubahan sistemik: dari Kapitalisme menuju Khilafah. Inilah satu-satunya jalan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang terus dipelihara oleh sistem ekonomi kapitalis yang cacat.
Saatnya umat Islam tidak lagi terbuai oleh angka dan data statistik semu. Kesejahteraan hakiki tidak datang dari PPP Bank Dunia, tetapi dari penerapan syariat Islam yang adil di bawah naungan Khilafah. Sudah cukup umat Islam menjadi korban permainan angka dalam sistem yang zalim. Saatnya kebangkitan dimulai, dengan Islam sebagai satu-satunya solusi.
Wallahu a'lam
Posting Komentar