-->

Kelaparan Sistemik di Gaza, Genosida Gaya Baru, Solusi Hakiki Hanya dari Islam

Oleh : Henise

Kelaparan di Gaza bukan sekadar tragedi kemanusiaan. Ia adalah kejahatan perang, genosida sistemik yang dilakukan dengan sengaja oleh entitas Zionis yang tak lagi menyisakan rasa kemanusiaan. Israel tak hanya menghujani bom, tetapi juga menghancurkan 1.000 lebih truk bantuan, menutup akses masuk makanan, hingga menyebabkan ribuan anak-anak wafat karena kelaparan dan gizi buruk. Ini bukan lagi sekadar pembunuhan massal, tapi bentuk penyiksaan kolektif terhadap manusia dalam skala besar.

Sejak blokade penuh diberlakukan Israel pada 2 Maret 2025 lalu, Gaza yang dihuni oleh sekitar dua juta jiwa ibarat penjara terbuka. Mereka dijerat bukan dengan senjata tajam, tapi dengan kelaparan yang menggerogoti perlahan namun mematikan. Laporan dari PBB menyebutkan bahwa 71 persen wilayah Gaza kini diblokade total oleh militer Israel. Padahal, sebelumnya wilayah ini telah lumpuh akibat agresi berkepanjangan. Kini, harapan untuk hidup pun makin tipis karena akses terhadap makanan dan obat-obatan sengaja dihancurkan.

Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa ia ingin menjadikan seluruh Gaza sebagai tanah Yahudi. Pernyataan ini menegaskan bahwa Israel tak lagi menyembunyikan ambisinya untuk melakukan pembersihan etnis. Genosida bukan hanya terjadi dengan pembantaian langsung, tapi kini dilakukan dengan menciptakan kelaparan massal yang sistematis. Umat Islam tak bisa lagi menutup mata atau hanya menunggu hasil konferensi internasional yang tak pernah membuahkan keadilan.

PBB, organisasi yang selama ini diagung-agungkan sebagai penjaga perdamaian dunia, terbukti mandul. Ratusan resolusi mereka dilanggar Israel tanpa konsekuensi. AS terus menggunakan hak vetonya untuk membela Israel, bahkan ketika dunia telah melihat bukti-bukti kejahatan mereka yang nyata. Eropa, meski sebagian mantan diplomatnya bersuara, tetap tak punya keberanian politik untuk menjatuhkan sanksi tegas. Dunia internasional tak akan pernah benar-benar membela Palestina karena mereka tunduk pada logika kapitalisme dan geopolitik, bukan pada nilai keadilan dan kemanusiaan.

Di sisi lain, para pemimpin negeri-negeri Islam tampak sudah mati rasa. Tidak ada satu pun pasukan militer negeri Muslim yang digerakkan untuk membela Gaza. Tidak ada yang benar-benar mengambil tindakan nyata untuk menghentikan genosida ini. Mereka hanya merilis pernyataan kecaman atau mengirim bantuan yang ditolak di perbatasan. Umat pun semakin frustrasi karena merasa tak memiliki kekuatan, padahal sejatinya umat Islam memiliki kekuatan luar biasa yang bersumber dari akidah yang kokoh.

Inilah jebakan sistem sekuler yang mengebiri potensi umat. Umat Islam telah dibuat seolah-olah lemah, dibuat sibuk dengan perpecahan, nasionalisme, dan urusan domestik yang sempit. Mereka melupakan satu fakta penting: bahwa mereka adalah satu umat yang seharusnya bersatu dalam satu barisan, satu kepemimpinan, satu tujuan. Hajat hidup mereka sebagai manusia—yakni kebutuhan terhadap rasa aman (ghorizah baqo’), pemenuhan kebutuhan jasmani (hajat udhowiyah), serta dorongan beragama dan tunduk pada perintah Tuhan (ghorizah tadayyun)—semua terabaikan karena sistem kapitalisme global yang terus membelenggu mereka.

Dalam kondisi seperti ini, solusi tidak bisa datang dari retorika belaka. Bukan pula dari bantuan kemanusiaan yang selalu tertahan. Solusi hakiki hanya bisa datang dari penerapan Islam secara total dalam institusi Khilafah. Hanya Khilafah yang mampu menggerakkan potensi besar umat: militer, sumber daya, dan semangat jihad fi sabilillah yang lahir dari akidah Islam. Islam bukan hanya agama ritual, tapi sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek umat, termasuk urusan perang dan perdamaian, serta perlindungan terhadap wilayah-wilayah Muslim yang diserang.

Khilafah akan menjadikan seruan jihad sebagai panggilan resmi negara, bukan sekadar slogan individu. Ia akan mengatur distribusi kekuatan umat untuk melindungi kaum Muslim yang tertindas di mana pun mereka berada, termasuk di Gaza. Khilafah akan menjadikan kekuatan militer sebagai tameng umat, bukan alat untuk menindas mereka. Ia akan menyatukan umat yang kini terpecah dalam sekat-sekat nasionalisme buatan kolonial, dan mengembalikan orientasi umat pada ukhuwah Islamiyah yang sejati.

Penting bagi umat saat ini untuk sadar bahwa penderitaan Gaza adalah panggilan untuk bangkit. Umat tidak boleh lagi diam, apalagi menyerah. Ini saatnya kembali memahami ideologi Islam secara mendalam, dan menyadari bahwa perjuangan menegakkan khilafah bukanlah utopia, tapi satu-satunya solusi logis, historis, dan syar’i untuk membebaskan Palestina dan melindungi umat dari penindasan.

Para pengemban dakwah ideologis harus terus menggugah kesadaran umat. Mereka harus pandai menyentuh sisi emosional (perasaan) umat dengan kisah derita anak-anak Gaza, sekaligus menguatkan sisi rasional (pemikiran) dengan penjelasan sistemik tentang kebobrokan sistem internasional saat ini. Mereka harus terus menanamkan keyakinan bahwa pertolongan Allah akan datang bagi siapa yang menolong agama-Nya, dan bahwa Khilafah bukan hanya masa lalu gemilang, tapi masa depan yang bisa diwujudkan.

Maka jangan diam. Jangan menyerah. Terus suarakan solusi Islam. Tegakkan panji perjuangan Rasulullah. Bimbing umat agar tidak hanya berduka, tetapi bergerak menuju perubahan hakiki. Gaza adalah kita. Penderitaan mereka adalah panggilan bagi kita untuk bersatu, bangkit, dan menegakkan kembali pelindung dunia Islam: Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.

Wallahu a'lam