MEWASPADAI POLITIK TRANSAKSIONAL DI BALIK PEMBERIAN ABOLISI DAN AMNESTI
Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)
Abolisi telah diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Thomas Trikasih Lembong atau T Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristianto. Terbukti ada dua surat yang dikirim beliau bertanggal 30 Juli kepada DPR RI, yaitu surat Presiden nomor R43/PRES/07/2025 tentang abolisi untuk Tom Lembong dan surat presiden nomor R42/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti termasuk buat Hasto Kristianto. Keesokan harinya. Kamis, 31 Juli 2025, Kedua surat tersebut langsung disetujui oleh DPR (www.kompas.com, Senin 4 Agustus 2025) (1).
Pro dan kontra pun bermunculan terkait kebijakan Presiden ini. Para pengamat melihat ini adalah upaya penyatuan. Pemberian amnesti bagi Hasto sebagai upaya pendinginan politik pasca Pilpres 2024 dengan PDIP, karena sempat memanas hubungan kedua pihak tersebut. Sedangkan pemberian abolisi untuk Tom Lembong adalah bentuk penyelamatan figur penting yang punya nilai strategis dalam agenda ekonomi pemerintah saat ini. Semata untuk membangun stabilitas pemerintahan. Tapi banyak juga pengamat menganggap ini adalah upaya rekonsiliasi politik yang melanggar hukum.
Inilah sistem politik demokrasi. Tidak ada lawan sejati, yang ada adalah kepentingan sejati. Semua bisa diatur, ditransaksikan. Karena demokrasi memberikan kedaulatan hukum kepada manusia, akhirnya manusia dengan mudah mengubah hukum sekehendak hatinya, sesuai dengan kepentingan mereka. Intinya menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, yaitu agar tetap berkuasa. Rakyat akhirnya yang jadi korban. Terabaikan. Karena penguasa fokus mempertahankan kekuasaan. Dengan pemberian amnesti dan abolisi, juga DPR yang cepat melakukan pengesahan kedua surat tersebut; telah menjadi bukti. Ini kezaliman akibat aturan yang berasal dari akal manusia dengan segala keterbatasan dalam meraih hakikat kebaikan yang serba nisbi, karena mengabaikan aturan Sang Pencipta, yaitu Allah.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Islam memandang kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jika dilanggar, maka bersiaplah menanggung siksa pedih di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda :
"Seorang imam atau pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus." (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Penguasa dalam Islam wajib menjalankan aturan Allah, bukan membuat aturan buatan manusia sendiri seperti dalam sistem demokrasi. Bahkan Allah memberi ancaman bagi orang yang tidak memutuskan sesuatu menggunakan hukum Allah. Allah SWT berfirman :
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Terjemah Al-Quran surah Al-Maidah ayat 44).
Tidak hanya disebut kafir, mereka juga disebut zalim berdasarkan Al-Quran surah Al-Maidah ayat 45. Dan orang fasik berdasarkan Quran surah Almaidah ayat 47.
Konsep kepemimpinan Islam yang demikianlah yang akan membuat penguasa dalam Islam sadar akan tanggung jawabnya. Mereka akan fokus menggunakan kekuasaannya untuk menjamin memenuhi kebutuhan rakyat, demi mewujudkan kesejahteraan mereka. Kesadaran ini terpancar dari keimanan pada Allah SWT. Bahkan Allah sampai mengancam penguasa yang berkhianat kepada rakyat. Rasulullah bersabda :
"Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat lalu ia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat atau kebaikan, kecuali ia tidak akan mencium bau surga."
(Hadis riwayat Bukhari).
Sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah. Dalam Khilafah, kedaulatan ada di tangan syariat dan rakyat menjadi pemilik kekuasaan. Kedaulatan atau as-siyadah ada di tangan syariat, berarti sumber hukum hanya pada syariat. Manusia berhak membuat hukum. Ini dijelaskan dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 40 dan 67, surat Al-An'am ayat 57, surat An-Nisa ayat 59 dan 65, serta masih banyak ayat-ayat sejenisnya.
Sedangkan maksud dari kekuasaan di tangan umat, maknanya umat bisa memberikannya kepada siapa saja yang mereka kehendaki untuk diberi amanah kepemimpinan. Dengan begitu, seorang Khalifah (sebutan pemimpin dalam Khilafah) hanya memiliki kekuasaan jika dibaiat oleh umat. Imam Muslim meriwayatkan dari Ubadah bin Somit yang berkata :
"Kami telah membaiat Rasulullah untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah. Baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun tidak kami senangi.”
Dengan standar kekuasaan berasal dari Allah dan Rasul-Nya, para penguasa dalam Khilafah akan senantiasa bertakwa. Mereka akan menjadi penguasa yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, karena menegakkan aturan-Nya yang dijamin pasti akan membawa keberkahan bagi manusia karena Dia Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Mereka pun menjadi penguasa yang tidak akan berkhianat kepada rakyat, karena sadar bahwa hisabnya akan pedih di hari akhir kelak jika mereka melakukan hal tersebut.
Wallahualam Bisawab
Catatan Kaki :
(1)https://nasional.kompas.com/read/2025/08/04/11290181/pemberian-amnesti-hasto-kristiyanto-dan-abolisi-tom-lembong-dinilai-buka?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_Desktop
Posting Komentar