-->

One Piece dan Cermin Ketidakadilan di Negeri Kapitalis, Kemerdekaan Hanya Milik Kelompok Elit

Oleh : Henise

Menjelang peringatan HUT RI ke-80, jagat maya dan ruang publik diramaikan oleh seruan untuk mengibarkan bendera bajak laut ala One Piece. Banyak pihak menilai ini sekadar tren pop culture, tetapi bagi sebagian orang, gerakan ini adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Pemerintah bahkan sempat merasa terancam dan mengaitkannya dengan simbol pembangkangan. Padahal, sebagian besar yang mengibarkannya bukan hendak makar, melainkan ingin menunjukkan bahwa mereka mencintai negeri ini, namun kecewa karena kehidupan rakyat terus di dera penderitaan akibat ulah oligarki.

Cerita One Piece sendiri bercerita tentang dunia yang dikuasai segelintir elit “World Government” yang mengatur segalanya demi kepentingan mereka. Kekuasaan digunakan bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk mempertahankan privilese. Jika kita jujur, kondisi itu sangat mirip dengan realitas di Indonesia. Meski secara formal kita sudah merdeka puluhan tahun, rakyat belum merasakan kemerdekaan sejati.

Kemerdekaan yang Hanya Formalitas

Hari ini, kemerdekaan lebih terasa sebagai seremoni tahunan: upacara, lomba, dan pidato. Namun di balik itu, kebijakan negara sering kali berpihak kepada elit, bukan rakyat. Harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja sulit, tanah rakyat diambil demi proyek strategis, sementara pejabat dan pengusaha besar semakin kaya. Kemerdekaan sejati — di mana rakyat bebas dari penindasan, aman harta dan jiwanya, serta terpenuhi kebutuhan pokoknya — belum pernah benar-benar hadir.

Inilah yang membuat sebagian rakyat mencari simbol untuk meluapkan kekecewaannya. Dan simbol itu, entah kenapa, muncul dalam bentuk bendera One Piece. Dunia fiksi bajak laut ini menjadi cermin dunia nyata: rakyat melawan “World Government” versi Indonesia — sistem kekuasaan yang dikuasai segelintir elit politik dan ekonomi.

Akar Masalah: Sistem Kapitalisme

Jika kita telusuri lebih dalam, masalah ini bukan sekadar soal pejabat yang korup atau kebijakan yang salah arah. Akar masalahnya adalah sistem yang digunakan untuk mengatur negeri: kapitalisme sekuler. Sistem ini memberi kebebasan mutlak kepada segelintir orang untuk menguasai sumber daya dan membuat kebijakan yang menguntungkan mereka, tanpa peduli pada kemaslahatan rakyat.

Dalam kapitalisme, politik adalah jalan untuk mengamankan kepentingan ekonomi, dan ekonomi dijalankan untuk melanggengkan kekuasaan politik. Rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek yang dilindungi. Hasilnya adalah kesenjangan sosial yang tajam: kemewahan di satu sisi, kemiskinan di sisi lain.

Kondisi ini memenuhi ghorizah baqo’ (naluri mempertahankan hidup) rakyat dengan cara yang tertekan: mereka bekerja keras, tapi hasilnya habis untuk membayar kebutuhan dasar yang semakin mahal. Hajat udhowiyah (kebutuhan jasmani) sulit terpenuhi secara layak. Bahkan ghorizah tadayyun (naluri beragama) pun dibatasi oleh aturan yang memisahkan agama dari kehidupan publik.

Islam: Jalan Menuju Kemerdekaan Hakiki

Islam tidak datang hanya untuk mengatur urusan ibadah ritual. Islam adalah sistem hidup yang mencakup politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Dalam Al-Qur’an, umat Islam disebut khairu ummah — umat terbaik (QS Ali Imran: 110) — karena mereka menegakkan amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman kepada Allah.

Dalam sistem Islam, kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tetapi bebas dari penindasan dalam bentuk apapun, termasuk penindasan ekonomi dan hukum. Negara Islam (Khilafah) tidak memberi ruang bagi segelintir elit untuk menguasai sumber daya alam demi keuntungan pribadi. Sumber daya strategis seperti tambang, minyak, gas, dan hutan dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan dilelang kepada korporasi besar.

Keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Pejabat yang korup akan dihukum sesuai syariat, tidak ada impunitas seperti yang sering kita lihat di bawah kapitalisme. Rakyat dijamin kebutuhan dasarnya: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Dari Simbol ke Perjuangan Nyata

Fenomena pengibaran bendera One Piece menunjukkan satu hal penting: rakyat mulai berani menyuarakan ketidakpuasan. Namun, jika kemarahan ini hanya dituangkan dalam bentuk simbolik, perubahan hakiki tidak akan terjadi. Simbol bisa menginspirasi, tetapi perubahan butuh arah dan strategi yang jelas.

Kesadaran rakyat harus diarahkan pada pemahaman bahwa musuh sejati bukan hanya oknum pejabat, tetapi sistem yang melahirkan mereka. Perjuangan melawan ketidakadilan berarti perjuangan untuk mengubah sistem kapitalisme menjadi sistem Islam yang kaffah. Dan itu hanya bisa terwujud dengan dakwah yang terarah, konsisten, dan mengajak umat untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah.

Penutup

Mungkin bendera One Piece yang berkibar di HUT RI ke-80 hanyalah secarik kain dengan tengkorak dan tulang bersilang. Namun di baliknya, ia menjadi simbol rasa frustrasi rakyat terhadap ketidakadilan yang terus berlangsung. Simbol ini menyentil kesadaran kita bahwa kemerdekaan sejati belum kita miliki.

Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat bebas dari penindasan, kebutuhan hidup terpenuhi, dan hukum Allah menjadi pedoman dalam setiap kebijakan. Dan itu hanya bisa terwujud jika kita berani meninggalkan kapitalisme, lalu berjuang bersama untuk menegakkan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah.

Karena pada akhirnya, seperti dalam cerita One Piece, keadilan dan kebebasan sejati hanya bisa diraih ketika sistem yang menindas dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil bagi semua.

Wallahu a'lam