-->

Merdeka Para Pejabat, Rakyat Melarat


Oleh : Ummu Utsman

Viral di media sosial isu kenaikan gaji wakil rakyat (DPR) hingga mencapai Rp3 juta per hari atau sekitar 90 juta per bulan.
Anggota DPR Komisi I, TB Hasanuddin membenarkan besarnya gaji yang dibawa pulang oleh anggota DPR setiap bulan melebihi Rp100 juta. Kenaikan tersebut sebagai kebijakan baru pengganti fasilitas rumah dinas yang dihapus.

Sungguh ironis. Hal ini tentu menimbulkan kontradiktif di masyarakat. Pengamat politik Ray Rangkuti, menilai kenaikan gaji DPR justru memperlebar jurang antara wakil rakyat dengan rakyat. Kebijakan ini menunjukkan rendahnya sensitivitas terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Di saat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, justru DPR berjoget ria lupa dengan penderitaan rakyat yang diwakilinya. (Kompas.com, Jumat 15/8/2025)

Kebijakan yang Mengkhianati Rakyat

Fenomena kenaikan gaji DPR sebagai bentuk kebijakan politik yang lebih mengutamakan kesejahteraan pejabat dibandingkan rakyat. Hanya para pejabat yang merdeka di atas penderitaan rakyat yang melarat. Sungguh miris negeri yang menganut demokrasi saat ini. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat faktanya narasi yang menipu. Katanya merdeka sudah 80 tahun, tetapi faktanya mana? Rakyat makin menderita dengan menanggung beban hidup yang berat. Menurut Bank Dunia angka kemiskinan di Indonesia dinilai tinggi, yakni mencapai 194,6 juta orang. Pengangguran di mana-mana. Barang kebutuhan naik, tetapi subsidi untuk rakyat malah dikurangi dengan dalih efisiensi anggaran. Utang negara selangit, tetapi rakyat yang harus membayar lewat pajak. 

Semua tahu APBN defisit harusnya efisiensi anggaran, bukan malah menaikkan gaji DPR yang sudah tinggi. Sementara guru yang gajinya tidak seberapa dituding membebani negara. Jeritan dan tangisan rakyat diabaikan. Padahal yang menjadikan dan menggaji pejabat, adalah rakyat. 

Apalagi etos kerjanya DPR belum bisa dirasakan rakyat. Justru DPR sebagai sarang tikus berdasi. Wajar jika tidak mau mengesahkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi yang tertuang pada UU Tipikor Pasal 18. Padahal koruptor itulah salah satu di antara yang memiskinkan rakyat. Bahkan yang terjadi lembaga legislatif menyalahgunakan fungsinya dalam membuat dan merumuskan UU. Selama ini UU yang dibuat bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi berpihak pada pemilik modal. Contohnya UU Omnibus Law, UU investasi, UU Kelistrikan, UU Minerba, dll. Itulah bentuk pengkhianatannya terhadap rakyat. Yakni adanya kongkalikong antara DPR dengan pemilik modal (oligarki). Adapun fungsi lain DPR RI, adalah mengawasi kebijakan dan program pemerintah dengan tujuan untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyat. Serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan APBN, kata Puan Maharani, Ketua DPR RI. 

Kenyataannya, pajak dinaikkan berlipat-lipat DPR-nya berpangku tangan. Rakyat komplain terhadap PIK 1&2 serta data pribadi WNI yang diserahkan ke AS, DPR pun masa bodoh. Apalagi masalah Danantara yang tidak termasuk program pemerintah dibiarkan, padahal ada beberapa orang yang bermasalah dengan hukum, dll. Itulah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat, yakni perselingkuhan antara legislatif (DPR) dengan eksekutif (pemerintah). Oleh karena itu, pengamat politik dan publik mensinyalir kenaikan gaji DPR, adalah bentuk pembungkaman agar DPR tidak kritis. Apalagi selama ini DPR dikenal pasif. Jadi, lebih tepatnya untuk meninabobokkan (menidurkan) DPR.

Demokrasi Sistem Kufur

Katanya merdeka sudah 80 tahun, pemilu sudah berkali-kali. Sayangnya tidak membuat rakyat sejahtera dan cerdas. Malah sebaliknya, membuat rakyat bodoh dan miskin. Suara rakyat dibeli dengan bansos, money politik, dan janji-janji manis. Sudah jelas apa yang disampaikan Wapres Gibran Rakabuming Raka ketika debat pemilu bilang akan menaikkan pajak, karena APBN defisit. Terlebih Gibran, adalah anak haram konstitusi. Anehnya tetap saja dipilih. Begitu terjadi insiden Pati masalah unjuk rasa kenaikan pajak, Said Didu dalam kontennya mengucapkan selamat menikmati hasil pilihanmu! Sudah berkali-kali pemilu, masih saja gampang ditipu.

Mengapa demokrasi kufur? Karena berasaskan sekularisme, yakni memisahkan agama dengan kehidupan. Agama hanya boleh mengatur akidah dan ibadah mahdah saja. Agama tidak boleh mengatur urusan publik, yakni kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Itulah akibatnya jika aturan diserahkan kepada DPR. Tentu tidak adil, karena manusia akalnya terbatas dan asasnya manfaat atau kepentingan, untuk dirinya dan kelompoknya. Dalam demokrasi permusyawaratan dan keputusan diambil dengan suara terbanyak. Bukan atas dasar halal dan haram. Maka untuk mendapatkan suara pemenangan segala cara dihalalkan. Setelah mendapatkan kursi lupa dengan janji-janjinya, hanya yang dipikirkan bagaimana caranya cepat balik modal. Itulah sedikit gambaran pemilu di negeri demokrasi.

Islam Melahirkan Pemimpin Adil dan Empati

Dalam sistem Islam, kedaulatan berada di tangan syarak. Allah berfirman, ".... Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS. al-An'am: 57)

Atas dasar ayat tersebut, manusia tidak boleh membuat hukum dengan menghukumi baik-buruk, terpuji-tercela, haram-halal, kecuali berdasarkan syarak. Sebab, membuat hukum adalah hak prerogatif Allah Swt. Sistem Islam (Khilafah) menjadikan akidah Islam sebagai asas negara. Dengan demikian mendorong semua individu muslim tak terkecuali pemimpin dan pejabatnya menjadi insan takwallah. Yakni, menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt.

Dalam Islam jabatan atau kekuasaan, adalah amanah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Atas kesadaran ini maka akan melahirkan pemimpin dan pejabat yang beriman, bertakwa, amanah, bertanggung jawab, dan empati. Sebagaimana yang dicontohkan dua sosok pemimpin Islam, yakni kakek dan cucunya yang dihormati dan disegani. Beliau adalah Umar bin Khathab ra. salah satu Khulafaur Rasyidin dan cucunya Umar bin Abdul Aziz sama-sama menjadi teladan dalam kepemimpinan Islam. Di antara keteladanannya adalah:

Keduanya kakek dan cucu dikenal sebagai Khalifah yang tegas dan berani membela kebenaran dan menegakkan ajaran Islam. Bersikap adil, bijaksana, dan juhud. Dalam hal keadilan dan kesejahteraan memprioritaskan kepentingan rakyat, menerapkan kebijakan yang adil dan merata. Fokus memikirkan kemakmuran rakyatnya. Kisah termasyhur Khalifah Umar bin Khathab tentang membantu seorang ibu yang kesulitan memasak untuk anak-anaknya. Hal ini membuktikan kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat. Untuk mengetahui kondisi dan memastikan kesejahteraan rakyat sering melakukan blusukan atau kunjungan tanpa pemberitahuan. Tidak seperti pemimpin demokrasi yang hanya untuk pencitraan.

Beliau berdua hidup sederhana, menolak fasilitas mewah, dan menolak pemberian hadiah meski dari keluarganya sendiri. Hal ini untuk mencegah praktik korupsi dan nepotisme. Hukum ditegakkan dengan adil kepada semua orang tanpa kecuali. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berhasil menghapus pajak dan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Bahkan, sampai tidak menemukan orang yang membutuhkan zakat karena rakyat sudah berkecukupan. Padahal hanya memimpin selama 2,5 tahun. Namun,  kepemimpinannya berdampak positif dalam sejarah Islam dan sebagai teladan pemimpin selanjutnya.

Berbeda dengan sistem demokrasi yang asasnya sekuler, tentu menggiring manusia menuntut kebebasan yang mendorong pada keburukan, kejahatan, egois, tamak, dan serakah. Akibatnya hilang rasa empati dan mati hati nuraninya. Saatnya kita ganti sistem kufur dengan sistem Islam yang melahirkan pemimpin dan pejabat yang empati pada rakyatnya. Sehingga kemerdekaan dapat dirasakan untuk semuanya.
Wallahu a'lam bissawab.