-->

Klaim BPS Kemiskinan Menurun, Tak Sesuai Realitas


Oleh : Rima, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebanyak 23,85 juta orang, setara 8,47% dari total penduduk pada September 2024. Angka ini turun 0,10% atau sekitar 200.000 orang, jika dibandingkan dengan September 2024 yang mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 24,06 juta orang atau 8,57% dari total penduduk (Tirto.id, 26/7/25).

BPS mengklaim kemiskinan turun, padahal ada banyak PHK di mana-mana. Oleh karena itu banyak kalangan yang mengkritiknya. Dilaman yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indeft) Ester Sri Hastuti, meragukan rilis BPS soal data kemiskinan lantaran dinilai tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Menurutnya, saat ini banyak PHK besar-besaran, terus ketika dibuka lowongan pekerjaan sedikit malah banyak yang antre. “Nah sementara kalau kita pakai ukurannya tentu saja banyak orang yang pendapatannya lebih dari Rp600.000. Pendapatan orang 1 juta saja mereka dapat apa? mereka kan tetap miskin gitu. Jadi ini ukuran kemiskinan yang nggak benar,” kata Ester.

Jika dilihat, memang angka kemiskinan ekstrem turun di atas kertas. Namun, faktanya standar garis kemiskinan juga rendah karena masih mengadopsi PPP (purchasing power parity) 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000 per hari). Penetapan garis kemiskinan semestinya diukur dari biaya hidup layak dan 20.000 per hari dianggap masih terlalu kecil. Ini manipulasi statistik untuk menunjukkan progress semu. Sistem kapitalisme lebih peduli pada citra ekonomi ketimbang realita penderitaan rakyat.
 
Akar kemiskinan ekstrem bukan pada definisinya, tapi pada sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan jurang kaya dan miskin. Kekayaan menumpuk di segelintir elit. Kendali atas perekonomian hanya di tangan segelintir orang saja, sedangkan yang lainnya berebutan mengais remah-remah uang yang masih tersisa setelah dibabat habis oleh golongan kelas atas. Akses terhadap pendidikan kesehatan dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit.

Alih-Alih mengurus kesejahteraan rakyat, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Sistem ekonomi kapitalis dianggap sebagai sistem yang mengentaskan kemiskinan karena sifatnya yang adil padahal sejatinya sistem ekonomi kapitalis adalah sistem yang perlahan-lahan memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. 

Lain halnya dengan sistem Islam. Negara dalam sistem Islam, akan bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa syarat pasar. Pasalnya, sumber daya alam yang melimpah sebagai kepemilikan umum dikelola negara untuk kemaslahatan umat bukan dikomersialkan. Khilafah tidak akan mengukur kemiskinan dari angka PPP buatan lembaga internasional, melainkan dari kebutuhan pokok setiap manusia atau individu terpenuhi secara layak atau tidak.[]