-->

Kesenjangan Sosial dalam Sistem Kapitalis Sengaja Dipelihara, Islam Tawarkan Solusi Sesungguhnya


Oleh : Alimatul Mufida (Mahasiswa)              
Seringkali dihadapkan pada fakta pada dimensi sosial seperti: pada keluarga kaya misalnya, mereka bingung untuk menyekolahkan anak di sekolah internasional yang mana, di sekolah ternama Indonesia atau Singapura. Namun di sisi lain kita jumpai sebuah keluarga juga bingung uang yang ada harus dipakai buat bayar tagihan listrik atau biaya anak sekolah. Bahkan yang lebih ekstrem, pada keluarga miskin mereka bingung bagaimana cari duit buat memenuhi kebutuhan perut hari itu. Sebuah kesenjangan antara harus memilih di antara kepastian atau memilih di antara ketidakpastian. Merupakan realita hidup yang seringkali tidak disadari, dimengerti, bahkan terpinggirkan dalam sistem yang tidak akan pernah menawarkan keadilan dan kesejahteraan pada seluruh elemen masyarakat. Mungkin terbesit bahwa persoalan kesenjangan hanyalah perkara si kaya dan si miskin, padahal lebih dari sekadar itu, kesenjangan sosial merupakan perbedaan akses pada hak-hak mendasar yang seharusnya terpenuhi bagi semua pihak. Pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan yang memadai, penghasilan yang layak, bahkan hingga sampai kepada keadilan hukum, seluruh elemen masyarakat memiliki hak yang sama tiada beda.
 
Namun, nyatanya itu semua hanyalah angan-angan yang berkepanjangan, tidak akan pernah terealisasi karena sistem kapitalisme justru memelihara kesenjangan sosial tersebut, kian hari semakin menguat. Peluang tidak pernah berawal dari titik yang sama. Bagi keluarga miskin misalnya, akan lebih susah hanya sekadar bermimpi menjadi “orang sukses” start poin akan sangat jomplang dengan keluarga si kaya yang dari awal sudah memiliki akses pendidikan yang bagus, makanan berkualitas, relasi yang luas, bahkan warisan yang tiada batas. Ironis hidup pada sistem kapitalisme. 

Kekayaan di Indonesia terkonsentrasi pada segelintir elit. Menurut Global Wealth Report 2018, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan nasional. Apabila dinaikkan 10% terkaya, mereka menguasai 75,3% kekayaan. Artinya, mayoritas rakyat Indonesia hanya berbagi kurang dari 1/4 kekayaan nasional. Akar kesenjangan sosial dan kemiskinan ekstrem bukan pada definisinya, tetapi pada sistem ekonomi Kapitalisme yang menciptakan jurang kaya-miskin. Kekayaan menumpuk di segelintir elite, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit. Kesenjangan tidak hanya dibentuk dari nasib dan usaha individu. Sering kali justru dibentuk secara sistemik oleh keputusan negara lewat kebijakan yang lebih menguntungkan kelas atas dan mengabaikan perlindungan kelas bawah. Mulai dari teknis dan mekanisme pajak, subsidi, membangun infrastruktur, dan pengelolaan lingkungan. Semuanya akan menjadi alat dalam mengatur keadilan atau justru sebaliknya hanya akan menciptakan jurang sosial semakin dalam. 

Alih-alih mengurus kesejahteraan rakyat, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Solusi yang ditawarkan pun tak pernah menyentuh akar masalah. Artinya sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan tidak akan pernah menyelesaikan masalah kesenjangan sosial dan kemiskinan. Satu-satunya solusi yang seharusnya diadopsi adalah bukan hanya pergantian pada sistem ekonominya apalagi peningkatan bantuan sosial tetapi pergantian sistem yang lebih layak dan manusiawi. 
Dalam sistem Islam, indikasi kesejahteraan terletak pada kemerataan distribusi tiap individu. Negara (Khilafah) memastikan setiap kepala mendapatkan hak dasar dan peluang hidup yang sama. Negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat—pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—tanpa syarat pasar. Bukan hanya membutuhkan usaha dan kemauan tetapi juga kemampuan finansial negara yang stabil. Oleh karena itu sumber daya alam yang ada yang meliputi air, api, dan tanah akan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan dikomersialkan.

Negara (Khilafah) tidak mengukur kemiskinan dari angka PPP buatan lembaga internasional, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak atau tidak. Dari sini akan tergambarkan berapa nyaman, aman, dan sejahtera hidup di bawah naungan Khilafah berikut penerapan syariat islam di seluruh aspek kehidupan. 

Walllahu a'lam bis Shawwab