-->

Gaza Berteriak Kelaparan Dunia Menutup Telinga


Oleh : Ani Yunita (Aktivis Dakwah)

Sejak agresi militer pada 7 Oktober 2023, penderitaan warga Gaza tak kunjung mereda. Bahkan kini, situasinya memasuki babak yang jauh lebih kelam, kelaparan massal. Anak-anak kini kehilangan nyawa bukan karena peluru, tapi karena tubuh mungil mereka tak mampu bertahan menghadapi kelaparan, kekeringan, dan ketakutan yang terus membayangi. Blokade total diberlakukan sejak 2 Maret 2025. Lebih dari seribu truk bantuan dilaporkan dihancurkan, dengan dalih bahwa distribusinya tidak sesuai prosedur yang ditetapkan. (CNNIndonesia.com 26/07/25)

Sementara itu, hampir seluruh wilayah Gaza sekitar 90 persen kini terkepung total dan berada di bawah blokade ketat pasukan militer Israel. Dua juta jiwa, termasuk anak-anak dan lansia, terjebak dalam penjara terbuka tanpa akses makanan, air bersih, listrik, atau pelayanan kesehatan dasar. Di tengah penderitaan ini, tsunami kelaparan menerjang, namun dunia sekali lagi memilih diam. Diam yang menyakitkan, diam yang membunuh.

Selain itu, kekejaman ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan. Ini adalah genosida yang dilakukan dengan metode paling keji membuat manusia mati perlahan karena kelaparan. Kelaparan dijadikan senjata, bukan karena keterpaksaan, tetapi karena strategi. Sementara itu, seorang menteri Israel secara terbuka mengatakan bahwa tujuan mereka adalah menjadikan seluruh Gaza sebagai wilayah Yahudi. Tindakan ini bukan lagi kejahatan yang disembunyikan, tapi dilakukan secara terang-terangan, disiarkan ke seluruh dunia, dan dibenarkan dengan narasi yang menyesatkan.

Sayangnya, lembaga-lembaga internasional seperti PBB hanya mampu mengulang sikap standar menyatakan “keprihatinan”, mencatat jumlah korban, dan melayangkan kecaman yang tak berdampak. Israel terus bertindak semakin sadis dan di luar kendali, tanpa menghiraukan apa pun. Di balik layar, veto Amerika Serikat terus menjadi tameng utama bagi rezim Zionis, menjaga mereka dari pertanggungjawaban hukum internasional.

Ditambah lagi yang memilukan adalah reaksi dunia Islam. Sebagian besar penguasa negeri-negeri Muslim seolah kehilangan nurani dan nyali. Bantuan kemanusiaan dikirim seadanya simbolik, tanpa keberanian politik. Padahal, al-Quds adalah milik umat. Gaza bukan sekadar wilayah perang, tapi cerminan luka mendalam umat Islam yang terus diabaikan. Ia menjadi bukti nyata dari kezaliman yang berlangsung terus-menerus terhadap kaum Muslimin. Jika kelaparan telah dijadikan alat pembunuhan massal, masih adakah alasan untuk menunda seruan pembebasan?

Sudah saatnya kita jujur mengakui protes moral, doa bersama, atau seruan kemanusiaan tidak akan cukup menghadapi genosida yang terorganisir ini. Yang kita lawan bukan sekadar kekejaman satu negara, tetapi sistem kolonial global yang tegak di atas konspirasi kekuasaan Barat dan pengkhianatan para penguasa Muslim terhadap umatnya sendiri.

Lantaran umat Islam hari ini tengah digiring dalam medan perang ideologi bukan dengan senjata, tapi dengan propaganda, ketakutan, dan rasa tidak berdaya. Mereka dibentuk untuk percaya bahwa kemenangan hanya mungkin melalui sistem dunia yang telah terbukti tak berpihak. Padahal, selama umat terus menggantungkan nasibnya pada sistem penjajah, mereka akan terus diinjak, dibungkam, dan ditindas tanpa ampun.

Sejarah mencatat bahwa umat Islam pernah menjadi kekuatan dunia yang disegani. Ketika Daulah Islam tegak, kaum Muslimin bukan hanya mampu menjaga kehormatan diri, tetapi juga menjadi perisai bagi seluruh umat manusia. Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan al-Quds dari cengkeraman pasukan salib dengan semangat jihad dan persatuan. Umar bin Khattab masuk ke Palestina tanpa setetes darah pun tertumpah, membawa keadilan yang tak dikenal oleh penjajah. Di masa Daulah Utsmaniyah, tanah-tanah suci tetap terlindungi dari gangguan imperialis Eropa. Inilah bukti nyata bahwa Islam, ketika ditegakkan secara kaffah, mampu menjadi pelindung umat dan pemimpin peradaban.

Kini, Gaza dicekik dengan kelaparan yang sistemik, tapi umat hanya disuruh bersabar dan berharap pada lembaga kemanusiaan yang tak bisa menghentikan penjajahan atas tanah dan darah kaum Muslimin adalah bentuk agresi yang wajib dihadapi dengan jihad. Tetapi jihad yang terorganisir dan sah hanya bisa dilakukan di bawah naungan kepemimpinan Islam bukan oleh individu, bukan oleh negara bangsa yang terpecah-belah.

Inilah akar masalah yang sering dilupakan absennya institusi pelindung umat, yakni Khilafah Islam. Selama umat Islam tidak memiliki junnah, perisai politik dan militer yang melindungi darah dan kehormatan mereka, maka kezaliman akan terus berulang, dan pembantaian seperti di Gaza akan terus terjadi. Maka fokus perjuangan hari ini tidak cukup hanya pada dampaknya penderitaan, kelaparan, pembunuhan massal tapi harus menyasar pada solusi hakiki tegaknya kembali sistem Islam sebagai institusi pelindung umat secara global.

Jika hari ini kita hanya menangis dan bersimpati, maka besok kita akan menangis lebih dalam lagi karena tidak ada yang berubah. Kesedihan yang tidak diiringi kesadaran hanya akan menjadi rutinitas tahunan. Rasa sakit ini harus menjadi energi perubahan, bukan sekadar luka yang ditangisi.

Maka, inilah saatnya dakwah ideologis tidak hanya berhenti di ruang-ruang kajian. Kesadaran tentang pentingnya Khilafah harus menyebar ke tengah-tengah umat keluarga, teman, lingkungan, dan seluruh lini masyarakat. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah, melainkan juga membawa sistem kehidupan yang lengkap, yang mampu melindungi umat dari kehinaan dan penindasan.

Maka tegaknya Khilafah merupakan janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah. Namun janji itu takkan turun dari langit tanpa perjuangan. Ia harus ditegakkan melalui jalan yang benar dakwah yang konsisten, pembinaan umat yang ideologis, dan perjuangan politik yang mengikuti jejak kenabian.

Oleh sebab itu, penderitaan Gaza menjadi cambuk keras bagi umat ini bukan hanya untuk bersimpati, tapi untuk bangkit, bersuara, dan memperjuangkan perubahan besar yang hakiki tegaknya kembali Khilafah Islam sebagai pelindung sejati umat dan pembebas Palestina.

Wallahu a'lam bishawab