KEMERDEKAAN, MASIH JAUH DARI HARAPAN
Oleh : Khairunnisa (aktifis dakwah Islam)
80 tahun kemerdekaan adalah usia yang cukup matang bagi sebuah bangsa untuk menengok ke belakang, mengukur pencapaian, sekaligus menatap ke depan.
Bagi Indonesia, kemerdekaan bukan hanya penanda lepasnya kedaulatan politik, tetapi juga janji luhur yang terpatri di Pembukaan UUD 1945. Yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa. Janji kemerdekaan itu seharusnya menjadi kompas moral, mengarahkan seluruh kebijakan publik lintas generasi.
Namun, di tengah usia bangsa yang kian dewasa, peta pendidikan kita justru memunculkan tanda tanya besar. Beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan fenomena yang dipenuhi dengan kebobrokan buah dari sistem rusak kapitalisme.
(harian.disway.id 16/08/2025).
Pertanyaannya, ke mana sesungguhnya haluan kapal besar Pendidikan Nasional ini hendak dibawa berlayar?
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menyoroti rendahnya angka partisipasi Pendidikan tinggi di Indonesia yang hanya berada pada kisaran 30-40 persen untuk kelompok usia 19-23 tahun. Berdasarkan data BPS 2024, Lalu menyebut angka partisipasi sekolah (APS) untuk jenjang SD mencapai lebih dari 99 persen. APS jenjang SMP masih tinggi, namun di SMA menurun signifikan ke kisaran 70-85 persen, lalu kembali merosot tajam di pendidikan tinggi.
(cnnindonesia.com 14/08/2025).
Rakyat Indonesia tengah gegap gempita memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke-80. Meski sudah merdeka secara fisik, namun layanan kesehatan cepat, mudah dan berkualitas masih menjadi impian. Realitasnya, hak dasar untuk sehat masih menjadi barang mahal yang sulit didapat di negerinya sendiri.
Pemandangan hiruk pikuk dan antre di ruang rawat jalan rumah sakit sudah menjadi hal umum. Puluhan warga dengan keluhan beragam penyakit masih harus berjuang keras demi mendapatkan pelayanan terbaik yang sebenarnya adalah hak sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan BPJS Kesehatan.
Warga berharap mendapat pelayanan kesehatan terbaik dari pemerintah. Namun setiap kedatangan untuk mendapatkan kesembuhan menjadi sebuah ajang uji kesabaran yang menguras perasaan dan tenaga. Proses panjang mulai pendaftaran sampai mendapat giliran masuk ke poliklinik bisa mencapai dua hingga tiga jam. Proses itu belum selesai, si pasien masih harus menanti untuk bisa bertemu dokter.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkapkan, layanan kesehatan di Indonesia belum merata. Pernyataan tegas ini, dibeberkan oleh Pengurus Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial IDAI, Hesti Lestari. Hesti mengatakan, pada tahun 2023 Indonesia memiliki sekitar 10 ribu puskesmas. Sedangkan, rumah sakit umum berjumlah 2.636 unit di Indonesia.(kbrn 29/07/2025).
Ketua Fraksi PKB MPR RI sekaligus Anggota Komisi IX DPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, menyampaikan pentingnya peran Negara dalam memastikan akses layanan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh masyarakat. Ia pun menyoroti ketimpangan distribusi tenaga kesehatan, rendahnya rasio dokter, serta perlindungan sosial nakes yang belum merata. Menurut Eem, layanan kesehatan yang baik tidak bisa dilepaskan dari pemerataan distribusi tenaga kesehatan, fasilitas yang terakreditasi, dan perlindungan sosial bagi para tenaga medis.
(inilah.com 18/08/2025).
Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 menjadi pertanyaan besar sebenarnya, walaupun kita tetap mensyukuri bahwa kita telah merdeka dari terjajah fisik. Tetapi, ada penjajahan yang bahkan lebih mneyeramkan dari penjajahan fisik yaitu penjajahan pemikiran. Terlihat dari setiap generasi yang tidak terjamin keintelektualan ataupun kecerdasan mereka karena tidak memadainya sarana Pendidikan yang berkualitas. Dan tidak hanya ingin dicetak sebagai generasi yang bodoh bahkan kesehatan pun tidak dijamin secara merata.
Maka, merdeka seperti apa sebenarnya yang didapatkan hari ini? Sekalipun tidak dipungkiri perjuangan para pahlawan yang luar biasa untuk memerdekakan Indonesia tetapi tentu bukan hal seperti ini yang diharapkan oleh para pahlawan. Menghargai perjuangan para pahlawan adalah memperjuangkan kemerdekaan yang sebenarnya yaitu tidak terjajah dari fisik dan non fisik.
Kemerdekaan yang hakiki tidak akan kita dapatkan dalam sistem Kapitalisme saat ini. Sistem Kapitalisme yang senantiasa meniscayakan Pendidikan berkualitas tidak merata karena layanan diberikan kepada swasta dan Negara hanya sebagai regulator. Dan hanya menganggap daerah yang dianggap bernilai sementara daerah terpencil terabaikan.
Sistem Kapitalisme menjamin kapitalisasi kesehatan dan pendidikan karena itu adalah buah dari sistemnya. Maka, jelas kualitas diukur dari finansial, sehingga diskriminatif.
Jauh berbeda dengan sistem Islam yang menetapkan Negara sebagai Ra'in, sehingga melayani kebutuhan dasar rakyat termasuk pendidikan dan kesehatan. Dan Islam memposisikan pendidikan dan kesehatan sebagai hak publik. Dan Islam menjamin pendidikan serta kesehatan gratis, merata, berkualitas bagi semua warga tanpa diskriminasi. Sarana publik seperti jalan, jembatan, transportasi dibangun Negara untuk mendukung akses layanan pendidikan dan kesehatan.
Sumber dana Negara Islam sangat berlimpah karena bersumber dari pengelolaan kekayaan alam oleh Negara melalui baitul mal yang dikelola berdasarkan syariat Islam. Dan indahnya Islam akan benar-benar dapat diarasakan apabila diterapkan dalam kehidupan bukan justru menganggapnya sebagai angan-angan.
Wallahu a’lam bi shawab
Posting Komentar