-->

Kelaparan Gaza dan Dunia Tanpa Suara


Oleh : Sri Azzah Labibah. SPd

Sampai detik ini genosida belum berakhir dari jalur Gaza. Kematian, luka, dan duka mereka yang terbaring sekarat telah menjadi pemandangan sehari-hari. Tambah hari semakin bertambah. Bukan karena suara teriakan ledakan bom yang menghiasi langit Gaza melainkan teriakan dari perut-perut kosong yang menjerit berteriak. Kelaparan menjadi senjata baru yang mematikan oleh Zionis Israel untuk membunuh rakyat Gaza dengan pelan tanpa suara.

Mereka sengaja menjadikan kelaparan untuk mematikan anak-anak Gaza satu persatu. Perbatasan ditutup rapat. Bantuan-bantuan hanya berbaris rapi di pintu-pintu perbatasan. Bahkan bantuan logistik tak sedikit mereka dihancurkan. Tak satupun tersisa. Semua kejahatan telah dilakukan dengan tangan-tangan kotor mereka yang penuh darah.

Namun ironis yang membuat hati tersayat, negara-negara Arab dan Muslim termasuk Arab Saudi, Qatar, dan Mesir untuk pertama kalinya secara resmi justru mendesak Hamas untuk melucuti senjata dan menyerahkan kekuasaan atas jalur Gaza kepada Otoritas Palestina (PA). Seruan ini diumumkan dalam konferensi PBB di New York, (CNBC Indonesia, 29/07/25)

Disisi lain Kepresidenan Mesir dilaporkan karena menekan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed al-Tayeb untuk mencabut pernyataan yang mengecam genosida kelaparan di Gaza oleh Israel. Berita yang dilaporkan kepada Middle East Eye. (Republika co.id, 25/07/25)

Pernyataan ini seolah menggambarkan kaum muslim disuruh bungkam dan dipaksa menormalisasi situasi di Gaza untuk tetap membiarkan genosida terus terjadi. Pun jika melihat fakta di atas, seruan pelucutan senjata kepada Hamas tanpa jaminan perlindungan kepada rakyat Gaza sama saja menyerahkan Gaza dengan penjajahan secara terbuka. Sebab rakyat Gaza akan kehilangan satu-satunya alat perlawanan yang mereka miliki terhadap agresi Zionis.

Agresi brutal Israel terhadap rakyat Gaza, dunia dipaksa hanya menonton dan menyaksikan bagaimana kekuatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya. Terang-terangan memberikan dukungan kepada negara penjajah. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Lembaga PBB pun seolah tak bertaji sebagai lembaga keamanan dunia. Bukan hanya gagal menghentikan kekejaman. Tetapi justru menjadi bagian darinya. 

Dan paham nasionalisme, sungguh menjadikan penguasa negara-negara muslim seakan buta dan tuli terhadap penderitaan saudara-saudara mereka di Gaza. Tidak ada lagi ikatan iman yang menghubungkan hati mereka dengan nasib kaum muslim yang tengah dizalimi oleh penjajah Zionis.

Ikatan iman dalam diri mereka telah dirusak oleh kerakusan terhadap jabatan dan kekuasaan. Mereka tunduk kepada tekanan diplomatik dan kepentingan geopolitik sampai suara mereka nyaris tak terdengar melainkan hanya kecaman retoris semata. Sementara jauh dari lubuk hati mereka tidak pernah benar-benar peduli dengan penderitaan Palestina. Mereka hanya peduli pada kepentingan negaranya.

Sikap diamnya para penguasa muslim atas genosida yang sedang terjadi di Gaza bukan hanya menunjukkan krisis moral tetapi juga menjadi bukti nyata betapa jauh mereka berpaling dari ajaran Islam yang memerintahkan menjalin ukhuwah sesama muslim, berani dan tegas di hadapan kebatilan.

Padahal jumlah umat Islam secara global berjumlah lebih dari 1,8 miliar jiwa disokong dengan kekuatan ekonomi dan sumber dayanya yang sangat besar. Namun nyatanya jumlah yang besar itu tidak berbanding lurus dengan pengaruh geopolitik ataupun solidaritas yang utuh. Sebab dunia Islam hari ini hidup dalam kerangka sistem negara-bangsa (nation state). Merupakan sistem buatan yang diwariskan oleh kolonialisme Barat dan secara sistemis memecah kekuatan umat. Sehingga tak heran hari ini persatuan umat tercerai-berai karenanya.

Karena itu umat harus menyadari bahwa perpecahan justru melemahkan kekuatan. Dan kini saatnya umat berdiri lantang bersuara menyerukan persatuan. Kita tidak boleh lagi terpecah belah. Bahwa diamnya kita hari ini adalah bencana bagai saudara kita di Palestina. Kita mesti terus memperhatikan isu kelaparan Gaza sebagai topik-topik yang terus digaungkan. Agar berita mereka terus diketahui bahwa mereka sedang diambang kematian. Tidak berhenti disitu, umat pun harus mempelajari sejarah tanah suci Baitul Maqdis, mengilmui dan memahaminya agar muslim terus terpaut dengan kiblat pertamanya.

Sehingga dengan begitu Baitul Maqdis menjadi nama yang mesti terus diperjuangkan untuk terbebas dari kengkangan penjajah Zionis Israel. Sebagaimana panduan Wahyu telah menggariskannya. Bahwa di dalamnya ada seruan untuk membebaskan saudara yang terzalimi dan menolong mereka.

Pun umat Islam harus memahami bahwa mereka adalah umat terbaik yang telah Allah sebutkan dalam firmannya surah Ali-Imran ayat seratus sepuluh gelar umat terbaik ini bukan hanya sekedar pujian tapi sebuah amanah dari Allah yang harus ditunaikan oleh kaum muslim dan khususnya para penguasa negara muslim. 

Sejarah Islam telah membuktikan bagaimana sikap tegas Khalifah Abdul Hamid II yang menolak menjual tanah Palestina kepada Zionis meskipun dengan iming-iming harta yang berlimpah. Hal ini dilakukan dalam rangka melindungi kehormatan tanah suci umat Islam agar tidak dikuasai musuh. Ini pula seharusnya para pemimpin muslim agar belajar dari sosok teladan dari Khalifah Abdul Hamid untuk tegas dan bertindak, tidak diam dan membisu. Bila perlu kekuatan militer dan komando jihad harus dikerahkan. Sebab hanya dengan cara itulah Palestina dapat dibebaskan.

Seperti Inilah potret nyata pemimpin dalam peradaban Islam dalam menjaga kemulian agama dan umatnya. Umat Islam harus menyadari bahwa kemulian umat yang dirindukan tidak akan kembali dengan sendirinya dia butuh diperjuangkan dengan persatuan umat Islam yang lahir dari dorongan aqidah Islam. Wallahu a'lam.