-->

ISLAM MENJAGA HARTA RAKYAT


Oleh : Siti Asri Mardiyati

Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening pasif (dormant) menuai polemik. Meskipun kebijakan ini disebut sebagai upaya mencegah kejahatan keuangan, banyak pihak mempertanyakan legalitas dan dampaknya terhadap hak kepemilikan individu.
Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Marcus Mekeng, secara tegas menolak langkah ini. Ia menyatakan bahwa pemblokiran tersebut menyerempet ranah hak pribadi warga negara dan menilai PPATK tidak memiliki dasar hukum yang kuat. “Saya belum tahu landasan apa yang dipakai oleh PPATK. Menurut saya, mereka terlalu jauh masuk ke ranah pribadi,” ujarnya.

Dari sisi lain, PPATK mengklaim bahwa pemblokiran rekening dormant adalah langkah strategis untuk menutup celah penyalahgunaan, terutama dalam kasus judi online. Data mereka menunjukkan bahwa sejak pemblokiran dilakukan per Mei 2025, jumlah deposit judi online menurun signifikan dari Rp2,29 triliun menjadi Rp1,5 triliun pada Juni 2025. Temuan lainnya adalah lebih dari 140 ribu rekening dormant dengan nilai total Rp428 miliar, serta sepuluh juta rekening bantuan sosial yang tidak aktif selama lebih dari tiga tahun dengan dana mengendap sebesar Rp2,1 triliun.

Namun, sebagian masyarakat menilai pemblokiran ini sebagai bentuk intervensi berlebihan terhadap hak kepemilikan. Tidak semua rekening pasif digunakan untuk tindak kejahatan banyak yang menyimpannya untuk keperluan darurat atau tabungan jangka panjang. Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, menyatakan bahwa kebijakan ini justru memicu kekhawatiran masyarakat tentang keamanan dan hak mereka atas harta pribadi.

Kepemilikan dalam Pandangan Islam

Islam memandang bahwa harta merupakan hak individu yang dijamin oleh syariat. Negara tidak memiliki kewenangan untuk menyita atau membekukan harta warga tanpa alasan yang sah menurut hukum Islam. Prinsip al-bara’ah al-asliyah (praduga tidak bersalah) menjadi fondasi penting: seseorang dianggap bebas tanggungan hingga terbukti sebaliknya dengan dalil yang jelas.

Dalam Islam, hak kepemilikan individu dilindungi dan diatur secara adil. Negara tidak boleh sewenang-wenang membatasi, apalagi mengambil alih harta warganya tanpa proses yang transparan dan sah secara syar’i. Syariat Islam menetapkan lima sebab yang sah untuk kepemilikan harta:
1. Bekerja dalam perdagangan, industri, atau pertanian
2. Warisan
3. Kebutuhan mendesak untuk mempertahankan hidup
4. Pemberian harta dari negara kepada rakyatnya
5. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi, seperti hibah, hadiah, atau sedekah

Dengan demikian, usaha manusia untuk memiliki harta adalah fitrah yang tidak boleh dihalangi kecuali dengan dalil syar’i yang jelas. Justru negara dalam sistem Islam wajib menjaga dan memfasilitasi hak kepemilikan ini.

Negara Sebagai Pelindung, Bukan Pemilik
Berbeda dengan sistem sekuler-kapitalis yang kerap menjadikan negara sebagai alat eksploitasi rakyat melalui pajak, biaya, dan regulasi yang menekan Islam menempatkan negara sebagai pelindung hak rakyat, bukan pemiliknya. Negara wajib menjamin keamanan, keadilan, dan kemaslahatan publik dengan tetap menjunjung hak kepemilikan individu.
Islam juga menekankan prinsip amanah bagi penguasa, serta penerapan hukum yang cepat, profesional, dan tidak menyulitkan rakyat. Dalam sistem Islam, tak ada birokrasi berbelit atau kebijakan sepihak yang merugikan masyarakat. Setiap kebijakan ditujukan untuk melindungi, bukan mencurigai atau mengendalikan rakyat secara berlebihan.
Polemik pemblokiran rekening dormant membuka diskusi penting tentang posisi negara dalam mengatur kepemilikan harta rakyat. 

Dalam pandangan Islam, negara tidak boleh melampaui batas kewenangannya hingga merugikan individu. Syariat Islam memberikan sistem yang adil dan manusiawi dalam mengatur harta dimana hak dan kewajiban saling bersinergi, serta negara berfungsi sebagai pelayan umat, bukan pengendali mutlak. Penerapan syariat secara kafah tidak hanya akan menjaga harta rakyat, tetapi juga menjamin ketenteraman hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.