Jika Takdir Adalah Ketetapan-Nya, Dimanakah Letak Ikhtiar?
Oleh : Neneng Suryani
Takdir adalah ketetapan Allah yang menyeluruh, mencakup segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Segala peristiwa, dari yang besar hingga yang kecil, tak luput dari ilmu dan kehendak-Nya. Namun, sering muncul pertanyaan: Jika semuanya sudah ditetapkan, apa gunanya ikhtiar manusia?
Di sinilah letak keseimbangan antara iman kepada takdir dan tanggung jawab usaha.
Allah menetapkan segala sesuatu, tetapi Dia juga memberikan manusia akal, pilihan, dan kemampuan untuk berusaha. Ikhtiar bukanlah upaya melawan takdir, melainkan bagian dari takdir itu sendiri. Sebagaimana petani yang menanam benih: ia tidak bisa memaksa hujan turun atau matahari bersinar, namun ia wajib berusaha menanam, menyiram, dan merawat. Hasil akhirnya tetap dalam genggaman Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
"Beramallah, karena masing-masing akan dimudahkan menuju apa yang telah ditetapkan baginya." (HR. Bukhari-Muslim)
Artinya, ikhtiar adalah jalan yang Allah sediakan agar manusia sampai pada takdirnya. Takdir bukan alasan untuk pasrah tanpa usaha, dan ikhtiar bukan pula jaminan penuh atas hasil. Keduanya menyatu: ikhtiar adalah kewajiban hamba, sedangkan hasil adalah rahasia Allah.
Dengan memahami hal ini, seorang mukmin akan tetap bersemangat berusaha, namun hatinya tenang menerima apapun hasilnya. Ia bekerja bukan karena merasa berkuasa, tetapi karena ia taat kepada perintah Allah untuk berikhtiar, sambil berserah diri pada keputusan-Nya.
Maka, letak ikhtiar adalah pada ruang yang Allah beri untuk manusia memilih jalan hidupnya, sedang takdir adalah garis akhir yang sudah Allah tetapkan dengan ilmu dan hikmah-Nya
Sekian lama berusaha mempertahankan sesuatu,meski Allah mengilhamkan kepada kita jalan keluar dari setiap problematika tapi manusia sebagai hamba tidak serta merta peka dan jeli untuk lantas berupaya seperti yang Allah ilhamkan padaNya.
Disitulah letak persoalannya.
Seseorang tetap harus ikhtiar untuk selalu dekat pada Allah agar mampu melihat dan membaca bahasa cinta yang Allah sampaikan.
Untuk itu kita harus mampu melihat syariat dan menyelami hakikat agar bisa sampai pada derajat Makrifatullah
Syariat adalah jalan yang menuntun kita untuk mendekat kepada Allah. Ia ibarat pagar dan rambu, menjaga langkah agar tidak tersesat. Dalam syariat, kita belajar tentang kewajiban, larangan, dan adab; semua itu adalah bentuk kasih sayang Allah agar manusia tetap berada di jalan lurus.
Namun, perjalanan tidak berhenti di situ. Di balik syariat, ada hakikat yang lebih dalam: makna, rasa, dan tujuan dari setiap amal. Hakikat adalah kesadaran batin bahwa semua ibadah bukan sekadar gerakan dan lafaz, melainkan jalan untuk menghidupkan hati dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Melihat syariat berarti menjaga bentuk lahir, sementara menyelami hakikat berarti merasakan inti ruhani. Keduanya tidak dapat dipisahkan—ibarat tubuh dan jiwa. Tanpa syariat, hakikat bisa melenceng. Tanpa hakikat, syariat bisa hampa.
Maka, mari kita jalani syariat dengan penuh ketundukan, sekaligus menyelaminya hingga menemukan hakikat: cinta, ikhlas, dan ridha Allah.
Wallahu alam bishowab.
Posting Komentar