-->

Abolisi Tom Lembong, Mencerminkan Rapuhnya Sistem Hukum Sekuler


Oleh : Nabia

Presiden Prabowo Subianto telah memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016), terkait kasus dugaan korupsi. Keputusan ini, yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (31/7), memicu berbagai tanggapan dari publik. Prof. Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D., Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), memandang pemberian abolisi ini sebagai langkah politik Presiden sekaligus peringatan keras bagi lembaga peradilan. (kemdikbud.go.id, 02/08/25)

Keputusan pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto mencerminkan problematika mendasar dalam sistem peradilan Indonesia saat ini. Kewenangan absolut presiden dalam memberikan amnesti, abolisi, dan remisi menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan yang menempatkan eksekutif di atas sistem peradilan. Kondisi ini menciptakan celah untuk intervensi politik dan berpotensi merusak prinsip keadilan.

Fenomena "hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas" semakin nyata terlihat dalam praktik penegakan hukum. Rakyat kecil dengan kasus ringan diproses secara tegas, sementara kasus korupsi bernilai ratusan triliun rupiah seperti di PT Pertamina tidak mendapat penanganan yang memadai. Ketimpangan ini mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang ada.

Sistem hukum sekuler yang bersandar pada interpretasi manusia dan kepentingan politik dinilai menjadi akar permasalahan. Tanpa landasan transendental yang mengikat, hukum menjadi rentan terhadap manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Penerapan sistem peradilan Islam dipandang sebagai solusi fundamental untuk mewujudkan keadilan sejati. Sistem ini dibangun atas prinsip-prinsip yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, sehingga terbebas dari intervensi politik dan kepentingan pribadi. Allah SWT berfirman:

Hak memutuskan hukum itu hanya ada pada Allah, Dia menerangkan kebenaran dan Dialah Pemberi keputusan terbaik (TQS al-An'am [6]: 57),

Dalam sistem peradilan Islam, keputusan hakim (qadhi) bersifat final dan tidak dapat dibatalkan oleh siapa pun, termasuk khalifah, selama putusan tersebut sesuai dengan kaidah syariat. Hal ini menjamin independensi peradilan dan mencegah intervensi kekuasaan.

Sistem pembuktian dalam Islam mengedepankan prinsip objektif dan presisi. Tidak ada ruang untuk manipulasi alat bukti, dan setiap tuduhan harus didukung dengan bukti yang kuat. Prinsip "bayyinah 'ala man idda'a wa al-yaminu 'ala man ankar" memastikan tidak ada yang dizalimi dalam proses peradilan.

Sejarah mencatat berbagai contoh keadilan dalam sistem peradilan Islam, seperti kasus Imam Ali yang menerima keputusan hakim meski sebagai khalifah, atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menaati putusan qadhi untuk menarik pasukan dari Samarkand. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada yang kebal hukum, termasuk pemimpin tertinggi sekalipun.

Implementasi sistem peradilan Islam secara menyeluruh dalam kerangka Khilafah Islamiyah dipandang sebagai satu-satunya cara untuk mewujudkan keadilan hakiki di tengah masyarakat. Sistem ini tidak hanya menjamin keadilan prosedural, tetapi juga keadilan substansial yang berlandaskan pada wahyu Ilahi.

Oleh karena itu saatnya umat kembali pada sistem Islam secara kaffah. Tidak lain dengan menerapkan seluruh sistem islam, termasuk sistem peradilan islam, dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam. Hanya dengan itu, keadilan sejati akan benar-benar hadir di tengah tengah umat manusia.

Wallahu 'alam bishshawab