-->

IRONI KEMERDEKAAN, DI NEGERI YANG BERLIMPAH KEKAYAAN


Oleh ; Ummu Aqeela
 
Indonesia, negara kepulauan yang diberkahi dengan kekayaan alam melimpah, sering digambarkan sebagai surga tropis. Namun, di balik keindahannya, terdapat ironi yang menyakitkan: masih banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan.
 
Pernyataan bahwa Indonesia adalah negara sejahtera dan makmur karena sumber daya alamnya yang luar biasa, tampaknya bertentangan dengan kenyataan pahit yang dihadapi sebagian rakyat. Jika memang kekayaan alam tersebut dikelola dengan baik, seharusnya tidak ada lagi cerita tentang kelaparan, kekurangan gizi, dan akses yang tidak memadai terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan bahkan sandang dan papan.
 
Saat ini, kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia memasuki tengah tahun ini masih pontang-panting. Daya beli mereka masih lesu, dan cenderung habis untuk sekadar urusan sandang dan operasional harian.
 
Narasi pemerintah yang menyebut perekonomian Indonesia terus melejit, seolah sama dengan menyebut kelas menengah kita macam menjadi bonsai. Terus tumbuh, namun tak mampu berkembang lebih dari itu.
 
Aris (31), asal Kota Bandung, merasa keadaan keuangannya terus megap-megap sejak pandemi Covid-19 mereda. Untuk menghidupi istri dan satu anak perempuannya, ia bahkan sudah berganti pekerjaan dua kali sejak 2021. Menurutnya, pengeluaran paling banyak masih untuk rumah tangga harian dan cicilan tempat tinggal. Biaya pendidikan anak menyusul menjadi pengeluaran yang paling menguras kantongnya.
 
"Seringnya mah belum tanggal gajian uang kadang udah habis juga, untungnya istri punya sampingan jadi bisa dipakai dulu sebelum cair (gajian)," ceritanya kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8/2025).
 
Ironi bukan? 
Nampaklah bahwa sejatinya Indonesia meski sudah merdeka dari penjajahan fisik, namun sejatinya Indonesia masih terjajah secara hakiki. Kemerdekaan seharusnya tampak pada kesejahteraan rakyat, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar tiap rakyat. Ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, esensinya Indonesia belum merdeka secara hakiki. 
 
Kondisi ini merupakan akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, tetapi malah melayani kepentingan kapitalis. Akibatnya, kapitalis makin kaya, sedangkan rakyat makin miskin. 
 
Dengan demikian, dalam model kekuasaan seperti ini, seluruh pertimbangan politik mengacu kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomi alias bisnis, seperti pertambahan modal, peningkatan produksi dan konsumsi, dan lain-lain sehingga fungsi utama kekuasaan/negara dalam sistem ini hanya sebagai regulator, bukan pengurus yang memberi pelayanan. 
 
Istilah good government atau good governance yang diagung-agungkan pun sejatinya bukan merujuk pada fungsi hakiki pengurusan atau pelayanan, melainkan dalam rangka mengejar efisiensi yang mutlak diharuskan untuk mendukung iklim bisnis yang menguntungkan. 
 
Miris memang, rakyat dalam sistem ini selalu terposisi sebagai korban. Sudahlah secara genuine sistem ini sangat destruktif dan tidak berperikemanusiaan karena tegak di atas asas yang menafikkan peran Tuhan, alias sekuler, lalu dalam praktiknya diperparah dengan perilaku para pejabat yang cenderung koruptif karena terkooptasi budaya sekuler dan liberal yang makin kental, serta kapabilitasnya jauh dari kata profesional.
 
Dengan demikian, patutlah jika kita bertanya, pantaskah kemerdekaan kita rayakan?
Bendera dikibarkan, lagu dinyanyikan, namun rakyat tetap dikendalikan, 
Pantas pulakah kita berteriak merdeka, sedangkan hak rakyat atas kesejahteraan sudah tercerabut oleh penguasa dan kaki tangannya?
 
Penderitaan yang dirasakan rakyat hari ini semestinya tidak terjadi jika mereka diurus oleh sistem kepemimpinan Islam Kaffah dalam Daulah Khilafah. Sistem ini benar-benar akan memerdekakan karena tegak di atas paradigma yang benar, yakni akidah Islam dengan standar amal berupa hukum-hukum Islam yang diterapkan sebagai sistem kehidupan. Paradigma dan standar seperti inilah yang menutup celah bagi penjajahan karena sama sekali tidak memberi ruang kedaulatan bagi manusia yang serba lemah untuk membuat aturan kehidupan yang sarat kepentingan.
 
Sementara itu, kekuasaan dalam Islam dipandang sebagai milik umat yang diserahkan pada pemimpin pilihan, itu pun semata dalam rangka menegakkan kedaulatan syariat Islam melalui akad baiat kepemimpinan.
 
Syariat juga menetapkan bahwa pemimpin umat adalah pengurus (raa’in) dan penjaga (junnah) bagi seluruh rakyatnya. Semua tugas ini dipandang sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan hanya atas umat secara komunal, tetapi atas mereka secara individual. 
 
Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
 
Paradigma inilah yang membuat khalifah sekaliber Umar ra. rela menanggung sekarung gandum di punggungnya demi memenuhi kebutuhan keluarga seorang janda yang kesejahteraannya baru diketahui terlalaikan oleh negara. Umar begitu takut jika kelalaiannya dalam mengurus urusan umat akan mendatangkan kemurkaan dari Zat Pencipta alam di akhirat kelak.
 
Jadi,
Berharap merdeka di bawah kepemimpinan sekuler demokrasi kapitalisme  adalah seperti pungguk merindukan bulan. Sistem ini justru telah terbukti menjadi jalan  melanggengkan penjajahan sekaligus menjadi akar munculnya berbagai penderitaan. Urusan umat dilalaikan dan menjadi jalan meraih keuntungan, bahkan harta kekayaan milik mereka dieksploitasi para pemilik modal secara legal. 
 
Alhasil, jika bangsa ini ingin benar-benar merdeka, sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem kepemimpinan Islam dan segera mencampakkan sistem yang jelas-jelas memberikan banyak kemudaratan. Mereka harus mau diatur oleh hukum-hukum Allah dalam semua aspek kehidupan mereka. Hanya dengan itulah mereka mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, yakni kehidupan yang sejahtera, adil, makmur dan mendapatkan ridha Allah Swt
 
Wallahu’alam bish-showab.