-->

Generasi dalam Cengkeraman Kapitalisme, Saatnya Kembali pada Islam


Oleh : Siti Asri Mardiyati

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh dua kasus kekerasan tragis yang melibatkan pelajar di usia belia. Di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, seorang siswa kelas empat SD berinisial JN (9) menusuk seorang pelajar MTs kelas dua berinisial RI (13) menggunakan gunting di bagian leher. Kejadian memilukan itu merenggut nyawa korban. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa pelaku terbiasa membawa gunting di kantongnya, dan pihak kepolisian masih mendalami motif sebenarnya.

Hanya berselang waktu, insiden serupa terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat. Seorang pelajar SMK tewas setelah ditusuk oleh temannya sendiri, diduga karena persoalan cemburu. Keduanya sempat terlibat cekcok sebelum pelaku mengakhiri nyawa korban di pelataran sebuah bengkel.

Dua kejadian ini mencerminkan adanya krisis karakter dan degradasi moral yang sangat serius di kalangan generasi muda. Pertanyaannya, mengapa anak-anak usia sekolah dasar atau remaja bisa begitu mudah melakukan tindakan kekerasan ekstrem? Jawabannya tidak sesederhana “anak nakal” atau “pelajar bermasalah”. Masalah ini bersifat sistemik dan mencerminkan kondisi masyarakat yang sedang sakit.

Banyak faktor memang berperan: lingkungan, keluarga, sosial, dan ekonomi. Namun, satu akar persoalan yang jarang dibahas secara jujur adalah sistem kehidupan yang membentuk mereka yakni sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang membesarkan generasi dengan pola pikir materialistik dan individualistik. Dalam sistem ini, kebebasan menjadi nilai utama, bahkan jika itu berarti mengorbankan nilai kemanusiaan dan empati.

Sosiolog Puji Qomariyah, S.Sos., M.Si., menyoroti bahwa lingkungan yang diwarnai oleh nilai-nilai kapitalistik menciptakan atmosfer egoistis, yang membuat remaja semakin berani bertindak di luar batas kemanusiaan. Ketika remaja tumbuh tanpa nilai spiritual yang kuat, tanpa rasa takut terhadap pertanggungjawaban di akhirat, mereka cenderung mengikuti hawa nafsu dan dorongan sesaat.

Kapitalisme tidak hanya merusak dari sisi ekonomi, tapi juga dari sisi moral dan sosial. Sistem ini gagal memberikan perlindungan dan pembinaan terhadap generasi. Sementara solusi yang ditawarkan oleh negara sering kali bersifat simbolis seperti pendirian "Ruang Ekspresi" atau pelatihan kepribadian padahal yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik.

Islam, sebagai sistem hidup yang paripurna, menawarkan solusi menyeluruh. Tidak hanya mengatur pola asuh dalam keluarga, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang sehat, serta sistem pendidikan dan hukum yang berlandaskan akidah Islam. Dalam sejarah Islam, kita menyaksikan bagaimana para pemuda seperti Muhammad al-Fatih, Umar bin Abdul Aziz, dan Salahuddin al-Ayyubi bisa tumbuh menjadi pemimpin agung karena dibesarkan dalam sistem Islam yang membentuk karakter mereka secara utuh.

Pendidikan Islam tidak membiarkan anak-anak tumbuh liar dalam arus kebebasan tanpa arah. Negara dalam sistem Islam memiliki peran utama dalam memastikan kurikulum mendidik akidah, akhlak, serta membina tsaqafah Islam sejak dini. Negara juga wajib menyediakan sarana pendidikan yang memadai dan mengawasi interaksi sosial masyarakat agar tetap dalam koridor syariat.

Ancaman terbesar bangsa ini bukanlah radikalisme sebagaimana sering dikampanyekan oleh media dan pemerintah, tetapi ideologi sekuler kapitalisme yang merusak sendi-sendi kehidupan. Selama ideologi ini terus mendominasi, selama itu pula kekerasan, hedonisme, dan krisis moral akan terus terjadi di tengah generasi kita.
Sudah saatnya umat Islam berhenti terkecoh oleh propaganda yang menjauhkan kita dari solusi Islam. Fokuslah pada pembinaan generasi dengan tsaqafah dan pemahaman Islam yang kaffah. Hanya dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam pendidikan, sosial, dan pemerintahan generasi muda bisa diselamatkan dari jurang kehancuran moral yang semakin dalam.