-->

Delusi Kemerdekaan, Indonesia Masih dalam Cengkeraman Penjajah


Oleh : Muta'alimatin nisa 

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, beragam seremoni menjelang hari kemerdekaan kembali diselenggarakan, mulai dari acara kenegaraan hingga pesta rakyat di jalanan. Pada lingkup RT, aneka perlombaan diadakan. Kegiatan berupa arak-arakan, jalan santai, sepeda hias, hingga hiburan masyarakat setempat ikut meramaikan rangkaian Agustusan dengan alasan melestarikan budaya lokal. Namun, adakah di antara kita yang berani bertanya: kemerdekaan seperti apa yang sebenarnya diinginkan bangsa ini?

Memasuki pertengahan tahun 2025, ekonomi kelas menengah di Indonesia masih lesu. Daya beli mereka tersedot untuk kebutuhan pokok, cicilan, dan biaya pendidikan anak. Banyak yang kesulitan menabung; bahkan sebelum gajian, uang sudah habis. Meski pemerintah menarasikan pertumbuhan ekonomi positif, kondisi kelas menengah justru stagnan.

Data BPS menunjukkan jumlah kelas menengah turun drastis dari 57,33 juta orang (21,45% penduduk) pada 2019 menjadi 47,85 juta orang (17,13%) pada 2024. Artinya, dalam lima tahun terakhir terdapat 9,48 juta orang turun kelas, atau penurunan sebesar 16,5% (Tirto.id, 7/8/2025).

LPEM FEB UI mencatat, simpanan nasabah perorangan di bank turun 1,09% pada triwulan I-2025 (yoy). Penurunan ini menunjukkan masyarakat mulai mengandalkan tabungan untuk kebutuhan pokok seperti makanan, listrik, air, dan transportasi akibat melemahnya daya beli.

Pertumbuhan kredit konsumsi juga melambat menjadi 10,00% dari 10,70% (akhir 2024), termasuk KPR yang turun tipis menjadi 9,90%. Perlambatan ini dipicu oleh meningkatnya kehati-hatian perbankan terhadap konsumen berisiko tinggi.

Selain itu, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) bank turut melambat menjadi 5,04% dari 5,27%, terutama akibat pertumbuhan giro yang turun menjadi 4,77% serta deposito berjangka yang melemah ke 3,41% (Cnbcindonesia.com, 8/8/2025).

Fenomena ini menandakan kelompok kelas menengah rawan jatuh miskin dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah, mengingat kelompok ini merupakan penopang utama perekonomian.

Dalam periode Agustus 2024–Februari 2025, tercatat 939.038 pekerja terkena PHK di 14 sektor usaha, sementara penyerapan tenaga kerja hanya 523.383 orang. Akibatnya, terjadi pengurangan bersih 415.655 pekerja, dengan sektor tekstil sebagai yang paling terdampak.

Presiden KSPN, Ristadi, menilai gelombang PHK akan berlanjut bila impor barang murah terus membanjiri pasar domestik, ditambah dengan menurunnya konsumsi rumah tangga serta belanja pemerintah.

KSPN mendesak pemerintah memperketat pengendalian impor melalui Permendag No. 8/2024 serta menutup celah bagi importir nakal. Pemerintah juga diminta meningkatkan belanja pada industri dalam negeri dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tinggi agar rantai pasok nasional bergerak dan ekonomi tumbuh lebih kuat (Metrotvnews.com, 8/8/2025).

Di sisi lain, menjelang HUT ke-80 RI, tokoh lintas agama menyampaikan Deklarasi Damai dalam Silaturahmi Nasional FKUB di Serpong (6/8/2025). Deklarasi tersebut dibacakan oleh Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Adib Abdushomad, bersama enam perwakilan majelis agama.

Deklarasi itu menegaskan komitmen bersama umat beragama untuk merawat kebinekaan, memperkuat persatuan, serta membangun kehidupan damai dan bermartabat (Kemenag.co.id, 6/8/2025).

Masyarakat disuguhi istilah-istilah yang terkesan ramah, tetapi sejatinya merusak dan berbahaya. Semua istilah itu ditanamkan melalui sistem pendidikan, seperti Islam moderat, moderasi beragama, deradikalisasi, dialog antarumat beragama, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah-istilah yang dipersepsikan tidak ramah dialihkan menjadi musuh bersama seperti radikalisme, khilafah, dan Islam kaffah, karena dianggap tidak sejalan dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Ironisnya, gagasan-gagasan asing yang tidak bersumber dari Islam justru berkembang pesat di negeri mayoritas Muslim ini.

Dari beberapa fakta tersebut, tampak bahwa kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kemerdekaan terkesan sebatas seremonial belaka. Penjajahan fisik melalui peperangan memang sudah tidak lagi terjadi, tetapi bentuk penjajahan lain masih nyata terlihat, terutama dalam aspek pemikiran, ekonomi, politik, dan ideologi yang diterapkan saat ini—yang merupakan warisan dari negara-negara penjajah.

Dengan demikian, meski Indonesia telah bebas dari penjajahan fisik, sejatinya masih berada dalam cengkeraman penjajahan hakiki. Hakikat kemerdekaan semestinya terlihat dari terwujudnya kesejahteraan rakyat, yakni terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu. Selama rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, berarti kemerdekaan itu belum sepenuhnya nyata.

Penerapan sistem Islam secara kaffah merupakan kebutuhan sekaligus solusi hakiki bagi terwujudnya kemerdekaan sejati. Sepanjang masa keemasannya, Khilafah berhasil menyejahterakan rakyat di seluruh wilayah kekuasaannya. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata di tengah masyarakat. Harta kepemilikan umum dikelola negara dan hasilnya dialokasikan bagi kesejahteraan rakyat, dengan larangan tegas terhadap privatisasi. Negara juga memastikan tersedianya lapangan pekerjaan dan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan, secara layak.

Hal ini berbanding terbalik dengan sistem sekuler-kapitalisme yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, melainkan melayani kepentingan para kapitalis. Akibatnya, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar.

Semua fakta di atas semakin menegaskan bahwa kapitalisme telah gagal mewujudkan kemerdekaan sejati bagi bangsa ini. Sistem yang lahir dari akal manusia itu hanya melahirkan ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan ketergantungan pada kekuatan asing. Selama kapitalisme tetap menjadi fondasi negeri ini, maka rakyat akan terus berada dalam cengkeraman penjajahan gaya baru.

Sebaliknya, Islam dengan syariat-Nya yang bersumber dari Sang Pencipta menghadirkan solusi paripurna bagi umat manusia. Khilafah Islamiyyah terbukti dalam sejarah mampu menyejahterakan rakyat tanpa diskriminasi, menjamin kebutuhan dasar setiap individu, serta menjaga kemandirian umat dari cengkeraman penjajahan. Inilah jalan menuju kemerdekaan hakiki—kemerdekaan yang bukan sekadar seremonial, melainkan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.