-->

Data Kemiskinan Tidak Valid, Tak Sesuai Realita


Oleh: Hamnah B. Lin

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, meragukan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal data kemiskinan lantaran dinilai tak sesuai dengan realita di lapangan. Menurutnya, tingkat kemiskinan merupakan komoditas politik, sehingga pihaknya menanti komitmen pemerintah untuk mengganti standar yang ada. Apalagi, Esther bilang, terkadang orang yang dikategorikan penduduk miskin itu tidak serta merta dia miskin dalam multidimensional aspect.

Selaras, Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga beranggapan data BPS tentang kemiskinan pada Maret 2025 ini perlu ditelaah lebih dalam. "Karena meskipun angka secara nasional turun, gambaran nyatanya tidak sesederhana itu. Penurunan ini sepenuhnya ditopang oleh perdesaan, sementara kemiskinan di kota justru naik," terang Rendy dalam keterangan tertulis yang Tirto terima, Sabtu (26/7/2025).

Miskin itu merupakan sesuatu yang relatif di dalam kapitalisme. Miskin atau tidak miskin ternyata tergantung ukurannya, yaitu tergantung standar garis kemiskinan yang digunakan. Mau versi Badan Pusat Statistik (BPS) ataukah Bank Dunia.

Ketika menggunakan standar BPS, jumlah orang miskin di Indonesia mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu. Jumlah orang miskin pada Maret 2023 sebanyak 25,9 juta orang atau 9,36 persen penduduk. Angka tersebut turun 0,21 persen poin bila dibandingkan dengan kondisi September 2022. Adapun nilai persentase penduduk miskin juga turun sebesar 0,18 persen jika dibandingkan dengan Maret 2022.

Dasar perhitungan tingkat kemiskinan versi BPS adalah penduduk dengan penghasilan Rp550.458 per kapita per bulan. BPS juga mencatat, rata-rata anggota keluarga dalam rumah tangga miskin adalah 4,71 orang. Dengan demikian, batas penghasilan keluarga yang terkategori miskin adalah Rp2.592.657 per rumah tangga miskin per bulan.

Sedangkan garis kemiskinan ekstrem menurut Bank Dunia adalah US$2,15. Dengan asumsi kurs Rp15.007 per dolar AS, garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia menjadi Rp967.950 per kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan ini, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 40 persen. Sungguh jumlah yang lebih banyak dari data BPS.

Lalu berapa sesungguhnya orang miskin di Indonesia? Bagaimana bisa memberikan solusi atas kemiskinan ini ketika standart dalam menentukan kriteria orang miskin itu masih ambigu. Betapa tega penguasa hari ini menjadikan angka kemiskinan sebagai lahan politik sekuler yang kotor. Inilah penguasa yang mengabdi kepada sistem kapitalisme - sekuler, di mana seluruh urusan rakyat bisa di bisniskan.

Ketika kita kembali kepada Islam yang mengukur kemiskinan bukan dengan nominal, tetapi terpenuhi tidaknya kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Ini merupakan ukuran yang riil dan akurat. Ketika seseorang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya secara sempurna, dia layak disebut tidak miskin alias sudah sejahtera.

Ketika khilafah tegak, pemerintahan Islam ini dengan penuh amanah menjalankan tanggungjawabnya sampai tataran memastikan orang per orang rakyatnya sudah terpenuhi kebutuhan mendasarnya. Misalnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan, maka bukan sekadar makan, asal perut kenyang. Namun, Islam memperhatikan kelayakan gizi makanan yang dikonsumsi, yaitu memastikan bahwa setiap warga negara sudah makan secara berkualitas.

Demikianlah, perhatian sistem Islam terhadap kemiskinan memang pada orang per orang. Bukan mencukupkan pada perkiraan rata-rata seperti kapitalisme. Hal ini karena tanggung jawab seorang imam/khalifah terhadap rakyatnya memang bersifat orang per orang. Kelak di akhirat sang khalifah akan ditanya tentang riayah (pengurusan) rakyatnya satu per satu.

Maka ketika kita kembali kepada Islam dan mengatur kehidupan ini dengan Syariat Islam, kemiskinan akan sangat mudah di ketahui keberadaanya. Hingga pencegahan terjadinya kemiskinan jauh sudah mampu khilafah atasi.
Wallahu a'lam.