Bilakah Kita Merdeka?
Oleh : Ummu Hanan
Tepat tanggal 17 Agustus 2025 Indonesia merayakan HUT kemerdekaan yang ke 80. Pengibaran bendera merah putih dan pembacaan teks proklamasi menjadi seremonial yang senantiasa mengiri perayaan HUT RI. Masyarakat di bebagai daerah pun tak kalah meriah menyelenggarakan berbagai pesta rakyat berupa lomba dan kegiatan bersama untuk memperebutkan beragam hadiah menarik. Sungguh perayaan HUT kemerdekaan menjadi sangat yang begitu dinantikan oleh sebagian besar rakyat negeri ini sebagai wujud kegembiraan atas anugerah kemerdekaan dari para penjajah. Namun HUT kemerdekaan harusnya menjadikan Indonesia lebih “matang” sebagaimana manusia pada umumnya yang telah berusia 80 tahun. Bahkan tak sekadar matang secara pemikiran idealnya pada usia 80 tahun seseorang mampu memberi dedikasi terbaiknya bagi kehidupan, apalagi jika dalam bentuk negara. Nyatanya negeri ini seperti belum beranjak dari berbagai keterpurukan.
Jika kita berbicara soal kebutuhan asasi bagi suatu kemajuan bangsa, maka sektor pendidikan dan kesehatan adalah hal mendasar yang harus dipenuhi dengan baik. Tidak hanya pemenuhan pada kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan, namun diluar dari itu suatu bangsa tentu akan terkucilkan dari perkembangan sains dan teknologi manakala tidak berupaya menaikkan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki. Selain itu, kecerdasan saja pun tidak mampu berkontribusi pada perubahan ketika tidak diwujudkan oleh masyarakat yang sehat secara jasmani. Sedangkan jika kita melihat lebih jauh bagaimana mutu pendidikan dan layanan kesehatan di tanah air, sepertinya masih jauh dari kata layak. Contoh yang dapat potret adalah bagaimana kondisi sarana dan prasarana salah satu sekolah yang ada di Desa Embonatana, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sekolah tersebut berlantai tanah, berdinding papan dengan papan tulis kayu (kompas.id,16/8/2025).
Setali tiga uang dengan potret pendidikan, kualitas kesehatan negeri ini pun cukup memprihatinkan. Seperti pada layanan kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang masih memberlakukan beberapa syarat kelengkapan administrasi agar seseorang bisa mendapat layanan kesehatan. Seperti apa yang baru terjadi pada balita bernama Raya berusia tiga tahun yang kematiannya menjadi viral dipenuhi oleh banyak cacing. Yang lebih memprihatinkan, Raya tidak mendapatkan penanganan kesehatan yang semestinya sebab berasal dari keluarga miskin dan tidak terdata sebagai peserta BPJS Kesehatan. Raya terlahir tanpa memiliki nomor induk kependudukan (NIK) yang menghalangi dirinya memeroleh akses layanan kesehatan. Raya hanyalah salah satu korban layanan kesehatan yang belum optimal di tanah air, bagaimana dengan nasib “Raya” lainnya?
Layanan kebutuhan publik pada dasarnya adalah hak setiap individu rakyat. Hanya saja dalam sistem kapitalisme kebutuhan bermetamorfosis menjadi komoditas. Ada harga ada rupa, kurang lebih seperti itulah layanan yang akan kita dapatkan. Semakin tinggi harga yang bisa dibayar maka niscaya semakin prima pula layanannya. Kapitalisme melibatkan negara hanya sebatas regulator yang menjembatani hajat hidup rakyat dengan kepentingan korporasi. Prinsip untung dan rugi dikedepankan jika tak mau layanan tersebut berhenti di tengah jalan. Bagaimana tidak, sistem kapitalisme membuka ruang terjadinya saling silang kepentingan antara penguasa dan pengusaha. Dan, sektor publik merupakan ranah yang sangat empuk untuk dijadikan komoditas karena pastinya akan selalu ada orang yang membutuhkannya. Selama itu pula perputaran uang akan mengalir kepada para pemodal.
Pemenuhan kebetuhan masyarakat hakikatnya adalah tanggung jawab negara. Kondisi ini selaras dengan ketentuan dalam syariat Islam. Allah swt telah menjadikan penguasa sebagai raa’in atau penaggungjawab atas urusan rakyatnya. Dalam salah satu hadits Nabi saw bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya” (HR Bukhari).
Melalui hadits ini kita dapati bagaimana wujud kepemimpinan itu nampak dari baiknya pemenuhan terhadap rakyat, termasuk dalam hal kesehatan dan pendidikan. Tidak boleh ada dikotomi antara si kaya dan si miskin, semuanya berhak mendapatkan pelayanan dengan kualitas terbaik oleh tenaga yang profesional, secara cuma-cuma. Begitupula halnya dengan keberdaan sarana dan prasarana umum seperti alat-alat transportasi, jembatan dan jalan wajib dibangun oleh negara sesuai dengan kebutuhan rakyat bukan mengikuti apa yang didiktekan oleh pemilik modal.
Negara yang menerapkan syariat Islam secara integral memiliki mekanisme tertentu terkait sumber pendanaan bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. Melalui pengeloaan atas kekayaan alam yang melimpah oleh negara dan juga sektor pemasukan lainnya seperti kharaj, fai, zakat serta lainnya akan membuka pintu pendanaan yang besar. Seharusnya tidak ada alasan dan tidak boleh negara membatasi akses layanan publik dengan alasan efisiensi anggaran. Oleh karena itu penerapan sistem Islam semacam inilah potret merdeka yang sesungguhnya. Kebutuhan individu masyarakat akan terpenuhi dengan layak sehingga mereka berfokus pada membangun peradaban. Kemajuan pemikiran berkembang pesat ke arah yang luhur, sebagaimana Islam pernah Berjaya berselang abad lamanya. Allahu’alam.
Posting Komentar