-->

"MENTAL RAKUS", SALAH SATU IMBAS KAPITALISME


Oleh : Eki Efrilia

"Orang yang rakus itu pada kenyataannya adalah orang miskin, meskipun dia memiliki seisi dunia"
(Wahab bin Munabbih) 

Apa yang disampaikan oleh Wahab bin Munabbih (seorang Tabi'in dan ahli sejarah yang lahir pada masa pemerintahan Utsman bin Affan tahun ke 34 H di Yaman) tersebut, saat ini makin kentara kebenarannya. Bagaimana tidak? Saat ini begitu banyak manusia yang "rakus" akan dunia. Tidak hanya rakus dalam arti sebenarnya yaitu rakus terhadap makanan dan minuman, tapi banyak sekali manusia yang "rakus" akan harta benda dan jabatan. Mereka ada dari berbagai kalangan, baik kalangan bawah maupun kalangan atas. 

Masyarakat kalangan bawah yang saat ini jumlahnya paling banyak, karena desakan ekonomi, mereka berupaya mengangkat taraf hidup bagi dirinya dengan segala cara. Ada yang melakukan dengan cara halal seperti bekerja sebagai buruh atau pekerja dan ada pula yang berdagang dengan modal pas-pasan. Tapi ada juga yang berupaya dengan cara instan yang menjerumuskan kepada kemaksiatan, seperti mencari pinjaman ke rentenir (sehingga banyak yang terbelit utang riba), bermain judol (judi online), bahkan banyak yang tega melakukan kejahatan agar bisa menikmati harta haram seperti mencuri, menipu, menjambret, klitih bahkan merampok. 

Apa yang dilakukan oleh masyarakat "akar rumput" ini sepertinya akibat mereka mencontoh kejahatan yang dilakukan oleh kalangan atas termasuk oknum-oknum yang ada di dalam lingkaran kekuasaan saat ini. Bagaimana tidak? Banyak sekali oknum pejabat yang bukannya bekerja untuk menyejahterakan rakyatnya, malah sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Tanpa malu-malu, dengan rakusnya mereka memamerkan harta yang sebagian besar adalah pendapatan mereka dari "keringat rakyat"nya karena berasal dari pungutan pajak yang saat ini makin menggila besarannya, seperti  penyampaian dari Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan ada 104 daerah yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun ini dan 20 diantaranya menaikkan pajak lebih dari 100 persen (tempo.co, 20/8/2025). 
Bahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang menaikkan PBB-nya dengan jumlah fantastis, di mana ada penduduk yang mengeluh dikenai kenaikan pajak hingga 1.202 persen (detik.com, 14/8/2025).

Penguasa negeri ini tidak hanya menarik Pajak Bumi dan Bangunan saja kepada rakyatnya, tapi mereka juga dikenal pajak-pajak yang lain seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan masih banyak lagi (dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak).

Tentu saja beban pajak yang 'bertubi-tubi' tersebut di atas adalah beban berat bagi rata-rata rakyat Indonesia, karena menurut data bulan Februari 2025 gaji rata-rata pekerja negeri ini hanya Rp 2,84 juta perbulannya (CNBC Indonesia, 1/5/2025).

Hitung-hitungan di atas, menunjukkan bahwa apabila ada masyarakat yang bergaji jauh di atas jumlah rata-rata tersebut, berarti ada masyarakat yang betul-betul kecil pendapatannya alias di bawah rata-rata. Untuk yang jumlah gajinya sesuai rata-rata saja, itu sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak, transportasi, kebutuhan pokok seperti sandang, pangan serta papan, juga kebutuhan lain. Dan masih ada 1 hal lagi yang menyedot keuangan mereka yaitu pajak dari negara. Tentu saja hal ini adalah tanggung jawab yang sangat menyesakkan bagi para kepala keluarga dengan penghasilan pas-pasan ini.

KAPITALISME PENJEGAL KESEJAHTERAAN RAKYAT

Kondisi miris rata-rata masyarakat negeri ini yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan (Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk Indonesia dengan kategori miskin ada 194,4 juta jiwa) tentu saja membuat geram bagi banyak pihak. "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula" sepertinya pantas disematkan pada sebagian besar dari rakyat Indonesia, karena dengan pendapatan yang 'kembang-kempis' selain harus memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga 'ditarget' untuk membayar pajak.

Padahal kalau melihat kekayaan alamnya, Indonesia harusnya bersyukur karena memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam. Indonesia memiliki kekayaan yang tidak terbatas pada keanekaragaman hayati, juga dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti petroleum, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak (Wikipedia). Apabila dikelola dengan baik, rakyat Indonesia tidak akan kesusahan seperti yang dirasakan mereka saat ini. 

Sayangnya, tata kelola negeri ini memakai sistem Kapitalis yang merujuk pada Barat. Akhirnya Barat-lah yang mengatur dengan mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia untuk kepentingan mereka. Penguasa negeri ini menjadi 'boneka' Barat yang bekerja untuk melanggengkan penguasaan Barat untuk menguras kekayaan alamnya. 

Barat meletakkan penguasa-penguasa yang rakus akan harta dan jabatan di bagian-bagian strategis, agar orang-orang ini melanggengkan tipu-dayanya. 
Ketimpangan ekonomi antara penguasa dan rakyatnya akhirnya semakin tampak nyata. Para pejabat tidak malu-malu membanggakan pendapatan mereka yang makin naik tinggi, tanpa peduli sebagian rakyatnya masih banyak yang kelaparan. Seperti yang dilakukan wakil rakyat baru-baru ini, dimana di depan kamera mereka berlenggak-lenggok gembira saat diumumkan ada kenaikan gaji dan tunjangan untuk mereka (tempo.co, 22/8/2025). Padahal gaji dan tunjangan mereka sebelumnya sudah jauh di atas nominal gaji rakyat karena total pendapatan mereka sebelumnya sudah ratusan juta. Kapitalisme inilah yang akhirnya 'membutakan mata dan hati' mereka, boro-boro berempati dengan penderitaan rakyatnya, tapi malah bahagia berbunga-bunga saat ada tambahan besar dana pajak yang masuk ke kantong mereka. Imbas kapitalisme, rakyat hidup dalam penderitaan. Naudzubillahi min dzalik.

SISTEM ISLAM 'MEMBUANG MANUSIA RAKUS'

Sumber dari databoks 25/8/2025 menunjukkan bahwa utang Pemerintah Pusat mencapai Rp 9,1 Kuadriliun pada kuartal 1 tahun 2025 ini. 
Data tersebut membuat was-was sebagian rakyat negeri ini, karena utang itu akan jatuh tempo dan kita semua wajib menanggungnya dari utang pokok berikut bunganya. Sedangkan sebagian rakyat yang lain, malah 'menari-nari' kegirangan karena uang 'jatah proyek' masuk ke kantong-kantong mereka. Rakyat yang 'menari-nari' itu tidak sadar bahwa mereka 'merampas harta umat' yang sudah jungkir balik mencari nafkah yang ternyata hasilnya malah dinikmati 'si penari' ini. 

Ketidakpuasan atas kinerja penguasa, akhirnya 'tumpah' kemarin tanggal 25 Agustus 2025 dengan aksi berdarah di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Banyak rakyat yang terluka karena tekad mereka untuk menyuarakan tuntutan kepada wakil mereka tidak digubris dan malah mereka harus terkena gebukan dan semprotan gas air mata dari aparat. 

Dalam Islam, penguasa adalah orang yang bertanggungjawab kepada rakyatnya, seperti yang disampaikan nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:
"Imam atau Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya"
[HR. Bukhari dan Muslim].

Bahkan penguasa itu adalah pelindung rakyat dari marabahaya, seperti sabda Nabi Saw. sebagai berikut:
"Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya" 
[HR. Bukhari dan Muslim].

Seorang pemimpin dalam Islam akan bersikap keras kepada kezaliman dan akan lembut kepada rakyat yang dipimpinnya, seperti sikap Rasulullah Saw. yang sangat kita cintai. 

Contohnya adalah Khalifah Umar bin Khattab, beliau terkenal akan sikap tegasnya, tetapi beliau "welas-asih" kepada rakyatnya. Seperti sebuah kisah saat ia rela memanggul sekarung gandum yang ia berikan kepada seorang ibu yang ia temukan sedang merebus batu untuk membujuk anak-anaknya yang kelaparan. Beliau pula yang menemani rakyatnya di suatu wilayah yang sedang paceklik dan memasak roti di sana untuk mereka, kemudian makan bersama-sama mereka sampai masa paceklik usai.

Juga ucapan Khalifah Umar bin Khattab yang termashur yaitu:
"Demi Allah jika ada seekor keledai jatuh terperosok dari negeri Irak aku khawatir keledai itu akan menuntut hisab aku di hari kiamat".
Seekor hewan saja beliau jaga keselamatannya, apalagi manusia-manusia di bawah perlindungannya. 

Hal ini seharusnya membuat kaum muslimin sadar bahwa di bawah Khilafah Islam, umat akan hidup aman dan sejahtera di bawah perlindungan Khalifah. Ini bukan omong kosong, tapi sudah terbukti, bahwa Islam pernah tegak sebagai sistem besar yang ditancapkan sejak hijrahnya Rasulullah ke Madinah sampai 13 abad yang kemudian diruntuhkan oleh Laknatullah Mustafa Kemal pada 3 Maret 1924.

Tugas kaum muslimin saat ini adalah mewujudkan kembali kepemimpinan Islam dalam naungan Khilafah Islam, sesuai dengan janji Allah yang disampaikan Rasulullah Saw. sebagai berikut:
"Adalah masa kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia hendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang menempuh jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia hendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang menggigit (mulkan ‘aadhdhon) yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia hendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang memaksa/diktator (mulkan jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia hendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam."

Dengan tegaknya kembali khilafah Islam, maka tabiat manusia yang rakus akan harta dan jabatan akan tersingkirkan, karena khilafah akan selalu menjaga rakyatnya dari kemaksiatan. 
Wallahu'alam bishshowwab.