-->

Sekolah Rakyat, Solusi Nyata atau Janji Manis Kapitalisme?


Oleh : Umma Almyra

Beberapa waktu lalu, jagat media sosial diramaikan dengan berita tentang pengosongan gedung SLBN-A Pajajaran Bandung yang selama ini difungsikan sebagai sekolah bagi anak-anak tunanetra. Gedung tersebut diambil alih untuk keperluan “Sekolah Rakyat” yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial. 
Akibatnya, proses belajar-mengajar siswa tunanetra pun terganggu. Banyak warganet mempertanyakan keputusan ini: mengapa harus mengambil alih gedung sekolah anak disabilitas? Tidakkah ada solusi lain yang lebih manusiawi?

Di sisi lain, pemerintah melalui Kemensos menyampaikan bahwa angka putus sekolah di Indonesia masih tergolong tinggi, terutama di kalangan keluarga miskin. Menteri Sosial Tri Rismaharini menginisiasi Sekolah Rakyat sebagai upaya “meretas rantai kemiskinan” dan memberikan akses pendidikan alternatif kepada anak-anak yang terpinggirkan oleh sistem formal. Dalam beberapa pernyataan, Mensos bahkan menyebutkan bahwa para siswa Sekolah Rakyat harus disiplin, rajin, dan taat agar bisa menjadi orang sukses. Wamenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Paiman Raharjo, menambahkan bahwa kebutuhan siswa-siswi Sekolah Rakyat akan terus dipenuhi agar mereka mendapat pendidikan layak.

Langkah ini sekilas tampak mulia. Pendidikan untuk semua. Pemerataan kesempatan belajar. Namun, jika dikaji lebih dalam, benarkah Sekolah Rakyat adalah solusi jangka panjang bagi kemiskinan struktural? Ataukah ini hanya janji manis baru dari wajah lama kapitalisme yang kerap gagal memenuhi hajat pendidikan rakyat secara adil?

Wajah Ketimpangan dalam Dunia Pendidikan

Tingginya angka putus sekolah bukan sekadar masalah teknis, tapi bukti nyata dari bobroknya sistem pendidikan dalam sistem kapitalisme. Biaya pendidikan yang mahal, akses yang terbatas, kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat, hingga komersialisasi lembaga pendidikan menjadi tembok penghalang utama. Lalu negara hadir bukan sebagai penjamin utama hak pendidikan rakyat, melainkan hanya sebagai “fasilitator” yang menyerahkan urusan pendidikan pada mekanisme pasar.

Sekolah Rakyat lahir dari realita getir ini. Saat negara tak mampu menyediakan layanan pendidikan gratis dan berkualitas, muncul “sekolah alternatif” yang diharapkan menambal celah yang ditinggalkan sistem utama. Namun, seberapa kuat tambalan ini menahan arus deras kerusakan sistemik?
Jika kita runut dari akar masalah, Sekolah Rakyat sebenarnya bukan solusi hakiki. Ini hanyalah bentuk tambal sulam dari sistem yang sudah cacat sejak awal. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan diposisikan sebagai komoditas. Siapa yang mampu bayar, dia yang bisa sekolah tinggi. Maka wajar jika sekolah-sekolah bermutu hanya bisa dinikmati segelintir orang berada. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin? Terpinggirkan. Terlupakan.

Pendidikan dalam Islam: Hak Asasi, Bukan Komoditas

Islam kaffah memiliki pandangan yang sangat khas dan progresif tentang pendidikan. Dalam sistem Islam, pendidikan adalah hak dasar setiap individu, tidak peduli miskin atau kaya, laki-laki atau perempuan. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah)

Kewajiban menuntut ilmu ini ditopang oleh kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan secara gratis, berkualitas, dan merata. Dalam sejarah peradaban Islam, kita mengenal ribuan madrasah, baitul hikmah, dan universitas ternama seperti Al-Azhar, Nizamiyah, hingga Cordoba yang semuanya didanai negara. Negara tidak membebani rakyat dengan biaya pendidikan karena pendidikan dianggap sebagai kebutuhan pokok yang harus dijamin negara.

Tidak hanya dari aspek pembiayaan, kurikulum pendidikan Islam juga dirancang untuk membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah), mengembangkan kemampuan berpikir kritis, serta mendorong kontribusi nyata dalam kehidupan masyarakat. Tujuan pendidikan bukan sekadar untuk mencari kerja, tapi untuk mencetak manusia beriman, berilmu, dan bertanggung jawab sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.

Mengungkap Janji Manis Kapitalisme

Jika kita jujur, Sekolah Rakyat hanyalah semacam "darurat solusi" dari sistem kapitalisme yang gagal menjamin pemerataan pendidikan. Di satu sisi, negara membuat program beasiswa, bantuan pendidikan, dan sekolah rakyat. Tapi di sisi lain, negara tetap membiarkan biaya pendidikan melambung, membiarkan privatisasi lembaga pendidikan, bahkan mendorong liberalisasi sektor pendidikan melalui kerja sama internasional.

Inilah wajah nyata kapitalisme: memberi permen di tangan kiri, tapi mengambil hakmu dengan tangan kanan. Seolah-olah membantu, tapi sesungguhnya hanya menyamarkan kerusakan sistemik. Rakyat dibius dengan janji-janji manis, program tambal sulam, dan narasi kemanusiaan, agar tak menyadari bahwa akar persoalannya adalah sistem itu sendiri.

Karena itu, kita harus bersikap kritis. Apresiasi terhadap niat baik tidak boleh membuat kita lengah terhadap kerusakan struktural. Kita butuh perubahan fundamental, bukan solusi temporer.

Islam Kaffah: Jalan Keluarnya

Islam kaffah menawarkan solusi nyata dan sistemik. Dalam sistem Khilafah, negara wajib menjamin pendidikan secara menyeluruh dengan tiga prinsip utama:
1. Pendidikan Gratis dan Berkualitas: Negara membiayai penuh seluruh layanan pendidikan dari jenjang dasar hingga tinggi. Tidak ada pungutan liar, tidak ada diskriminasi karena status sosial.

2. Kurikulum Berbasis Aqidah Islam: Pendidikan diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang selaras dengan syariah. Ilmu tidak dipisahkan dari nilai.

3. Pemerataan Akses: Negara membangun lembaga pendidikan hingga pelosok negeri, dengan distribusi guru yang merata dan pengawasan yang ketat agar standar pendidikan tetap tinggi.

Dengan penerapan sistem ini, tak perlu ada lagi Sekolah Rakyat, karena semua sekolah adalah milik rakyat dan untuk rakyat. Tak akan ada lagi kisah anak putus sekolah karena kemiskinan, karena negara betul-betul hadir sebagai pengurus umat, bukan pebisnis layanan publik.

Penutup: Saatnya Bangkit dari Ilusi

Sekolah Rakyat memang bisa menjadi harapan sementara bagi sebagian anak yang terpinggirkan. Namun, selama sistem kapitalisme masih bercokol, harapan itu akan terus dirundung ancaman: anggaran minim, pengelolaan seadanya, dan kebijakan tambal sulam.

Sudah saatnya kita keluar dari ilusi. Jangan terbuai oleh janji manis kapitalisme yang berkali-kali terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Kita butuh sistem yang benar-benar memihak rakyat, bukan sistem yang mempermainkan nasib anak-anak miskin demi pencitraan.

Islam kaffah bukan sekadar teori. Ia adalah sistem hidup yang telah terbukti sukses mencetak generasi emas, ilmuwan kelas dunia, dan masyarakat berperadaban tinggi. Maka, jika kita ingin serius mengentaskan kemiskinan, pendidikan dalam sistem Islamlah yang layak kita perjuangkan.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.