Jember Krisis BBM, Ekonomi nyaris Lumpuh, Bukan Masalah Fundamental?
Oleh : Dinda Kusuma W T
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) masih berlanjut di Kabupaten Jember. Terhitung sejak Sabtu 26 Juli 2025, hingga hari ini (29/07/2025) belum ada tanda-tanda pasokan BBM akan normal kembali. Bahkan perang mendapat BBM tampak berjalan makin sengit. Banyak warga menjual bensin eceran dengan harga berkali-kali lipat. Tidak tanggung-tanggung, BBM harga tak wajar ini banyak dijajakan di sekitar SPBU dengan menyasar warga yang sudah kelelahan mengantre.
Krisis BBM selama kurang lebih tiga hari ini ternyata berdampak besar bagi masyarakat Jember. Tak heran, sebab nyaris seluruh aktivitas warga bergantung pada ketersediaan BBM. Yang mau berangkat bekerja butuh BBM, pedagang butuh BBM, pengiriman barang butuh BBM, siswa yang berangkat ke sekolah pun butuh BBM. Hingga dikeluarkan edaran belajar daring untuk seluruh sekolah se Kabupaten Jember sampai kondisi pasokan BBM kembali seperti biasa. Bisa dikatakan, ekonomi dan kegiatan masyarakat Jember nyaris Lumpuh.
Namun, sebuah pernyataan kurang relevan dilontarkan oleh Bupati Jember, Muhammad Fawait atau sering dipanggil Gus Fawait. Beliau mengatakan bahwa kelangkaan BBM ini bukanlah masalah fundamental yang perlu dikhawatirkan. Gus Fawait meyakini bahwa dalam dua hari ke depan, kondisi antrean BBM di Jember akan membaik. "Sekali lagi, kepada seluruh masyarakat Jember, bahwa kelangkaan BBM ini bukan karena masalah fundamental (kuota BBM-nya). Kuotanya masih aman, tapi distribusinya terhambat akibat penutupan jalan Gumitir," jelasnya (detik.com, 28/07/2025).
Penutupan jalur Gumitir yang merupakan salah satu jalur utama distribusi BBM dilakukan sejak 24 Juli 2025. Baru berlangsung selama 5 hari dari estimasi selesai 2 bulan mendatang yaitu hingga 24 September 2025. Mirisnya, baru berjalan beberapa hari saja dampaknya luar biasa. Terhambatnya pasokan BBM rupanya tidak dipertimbangkan dalam rencana dan strategi perbaikan jalur Gumitir. Akibat perencanaan dan antisipasi yang kurang baik ini akhirnya masyarakat menjadi korban. Ada yang mengantre terlalu lama hingga pingsan. Ada yang tidak bisa berangkat ke sekolah dan bekerja. Beberapa kisah pilu seperti seorang ibu tua yang mengantre lama namun hanya mengisi sedikit BBM saja karena keterbatasan ekonomi. Dan banyak cerita lain akibat terhambatnya pasokan BBM. Bagaimana mungkin hal ini bukan masalah yang fundamental?
Persoalan ini jelas menunjukkan banyaknya kecacatan dalam sistem demokrasi kapitalis. Banyak dijumpai kasus nihilnya empati para pemimpin terhadap penderitaan rakyat. Wajar, karena bukan rahasia jika ongkos demokrasi sangat mahal. Para pemimpin dalam sistem ini harus mengeluarkan ratusan juta hingga milyaran rupiah untuk menduduki kursi kekuasaan. Praktis ketika berkuasa mayoritas mereka hanya memikirkan mengembalikan modal demokrasinya, kemudian menambah dan menumpuk kekayaan.
Persoalan terhambatnya distribusi yang menimbulkan efek domino ini tidak perlu terjadi jika para pemimpin baik pusat maupun daerah mau benar-benar memikirkan kebaikan seluruh rakyat. Infrastruktur jalan raya akan dibangun dan dirawat sebaik mungkin tanpa menunggu kerusakan parah yang justru semakin sulit diperbaiki. Setiap kebijakan yang diambil harusnya menjamin bahwa kebutuhan pokok seperti bahan bakar, sandang, pangan dan papan tetep terpenuhi secara maksimal. Sayang, terwujudnya kesejahteraan sosial dalam sistem ini hanya sebatas slogan.
Kebiasaan dalam sistem demokrasi yang merupakan buatan manusia ini adalah membuat solusi kuratif, yaitu solusi yang dibuat ketika masalah sudah terjadi. Alih-alih menyelesaikan persoalan, seringkali sebuah persoalan makin pelik dan sulit untuk diurai ketika sudah terlanjur terjadi tanpa upaya pencegahan. Kesengsaraan masyarakat Jember hanya merupakan salah satu bukti kecil carut marut pengelolaan negara dalam sistem Demokrasi Kapitalis. Sudah saatnya diterapkan sistem yang jauh lebih sempurna dan mampu memberikan solusi bagi seluruh umat manusia di dunia, yaitu Sistem Islam. Wallahu a'lam bishsawab.
Posting Komentar