Menjemput Hidayah, Menapaki Jalan Surga
Oleh : Khansa Alma
(Pejuang Pena)
“Emang harus ngaji? Bukannya hidup saya sudah cukup bahagia?”
Pertanyaan itu barangkali pernah singgah di benak kita, terutama ketika hidup terasa baik-baik saja. Namun, seiring bertambahnya usia, justru seharusnya kita bertanya lebih dalam: Apakah aku semakin dekat dengan Allah? Ataukah justru semakin jauh?
Kedewasaan bukan sekadar tentang usia, tetapi tentang kematangan dalam memilih arah hidup. Semakin dewasa, semestinya kita semakin memahami batas, semakin mampu memilah mana yang hak dan mana yang batil. Sayangnya, banyak di antara kita justru makin hanyut dalam arus kehidupan yang menawarkan kebebasan tanpa batas semuanya atas nama kebahagiaan.
Padahal, hidup bukan sekadar tentang merasa bahagia. Tapi tentang menemukan makna. Dan makna sejati hanya ditemukan ketika kita mengenal siapa diri kita dan untuk apa kita diciptakan.
Hidup yang Penuh Potensi
Masa muda dan masa dewasa awal sering kali menjadi fase produktif: fisik masih kuat, pikiran tajam, dan emosi penuh semangat. Namun semua potensi ini bisa hilang sia-sia bila tak diarahkan dengan benar. Hari ini, tidak sedikit dari kita yang terseret pada gaya hidup konsumtif, mengejar tren, larut dalam dunia maya, dan menjadikan standar bahagia sebatas pencapaian duniawi.
Padahal, dunia ini fana. Uang, popularitas, dan hiburan tak bisa menjadi sumber kebahagiaan sejati. Bahkan, tokoh besar dalam dunia teknologi seperti pendiri Facebook pernah mengatakan, “Aku ingin semua orang menjadi kaya, agar mereka menyadari bahwa kekayaan tidak menjamin kebahagiaan.”
Lalu, apa yang bisa memberi kita kedamaian dan tujuan hidup yang hakiki? Hidayah. Dan jalan menjemputnya adalah dengan ngaji—mengaji, menuntut ilmu, mendekat pada Allah, dan mengenal syariat-Nya.
Ketika Identitas Muslimah Terkikis
Ironisnya, di tengah gempuran budaya kapitalistik, identitas kita sebagai muslimah mulai terkikis. Kita mengaku beriman, tapi kadang abai terhadap aturan-Nya. Kita ingin masuk surga, namun merasa enggan menapaki jalannya.
Kajian dianggap kuno. Penampilan syar’i dianggap tidak modis. Menghindari hal-hal yang maksiat dianggap tidak terbuka. Padahal, justru ketaatan itulah yang menjaga kita dari kesesatan dan kehampaan hidup.
Menjadi muslimah sejati bukan perkara mudah. Namun siapa pun yang memahami tujuan hidupnya, akan rela menempuh jalan yang sulit demi akhir yang indah. Seperti orang yang mendaki gunung, meski melelahkan, karena ia yakin akan keindahan puncaknya. Begitu pula kita, menapaki jalan surga membutuhkan perjuangan, kesabaran, dan keistiqamahan.
Teman, Lingkungan, dan Arah Hidup
Dalam perjalanan ini, kita tidak bisa berjalan sendiri. Lingkungan sangat memengaruhi kita. Teman bukan sekadar pelengkap cerita hidup, tapi bisa menjadi penentu arah hidup kita.
Rasulullah pun dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang luar biasa:
• Abu Bakar, yang lembut dan menenangkan
• Umar bin Khattab, yang tegas dan melindungi
• Ali bin Abi Thalib, yang cerdas dan pemberani
• Utsman bin Affan, yang dermawan dan pemalu
Mereka bukan hanya teman, tapi bagian dari lingkaran keimanan yang saling menguatkan. Mereka saling menjaga dalam kebaikan, saling menasihati dalam ketakwaan, dan saling mendorong untuk tetap berada di jalan lurus.
Lalu bagaimana dengan kita hari ini? Siapa yang kita izinkan untuk berada dalam lingkaran terdekat kita? Apakah mereka membawa kita makin dekat pada Allah, atau justru sebaliknya?
Teguh dalam Prinsip, Tetap terang dalam gelap
Menjadi muslimah tidak berarti menutup diri dari dunia. Tapi kita perlu punya prinsip, punya arah, dan tahu batas. Tegas dalam memegang nilai, namun lembut dalam menyampaikan. Menolak maksiat bukan berarti antisosial.
Menghindari ghibah, menjaga pandangan, membatasi interaksi lawan jenis bukanlah hal kuno, tetapi bentuk kedewasaan iman.
Ujian terbesar bagi muslimah hari ini bukan hanya pada dosa yang terang-terangan, tapi pada tekanan sosial: ingin diterima, ingin dianggap modern, ingin terlihat “terbuka”. Maka di sinilah pentingnya ilmu dan komunitas yang sehat agar kita tidak kehilangan arah.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Surga
Mengaji bukan hanya kegiatan pengisi waktu luang. Ia adalah sarana untuk memperkuat iman, membenahi hati, dan membentuk pola pikir islami. Dengan ilmu, kita tahu batas. Dengan ngaji, kita mengenal Allah lebih dekat.
Menjemput hidayah adalah keputusan. Menapaki jalan surga adalah proses. Tidak mudah, tapi sangat mungkin asal kita mau mulai.
Hari ini, mari kita berani melangkah. Bukan hanya untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tapi untuk menjadi hamba yang lebih dekat dengan-Nya.
Wallahu A’lam Bisshowwab
Posting Komentar