Sekolah Rakyat, Solusi Atau Ilusi Mengentaskan Kemiskinan?
Oleh : Ummu Aqila
Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program Sekolah Rakyat (SR) sebagai upaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Program ini menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan sangat miskin yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan layak. Pemerintah mengeklaim bahwa inisiatif ini merupakan langkah strategis untuk memberikan akses pendidikan bagi mereka yang termarjinalkan. Pikiran Rakyat Sabtu, 19/07/2025
Namun, benarkah Sekolah Rakyat adalah solusi mendasar untuk menghapus kemiskinan? Ataukah ia sekadar kebijakan tambal sulam yang tidak menyentuh akar persoalan?
Kemiskinan di negeri ini bukan sekadar akibat dari rendahnya akses pendidikan. Ia merupakan kemiskinan struktural yang lahir dari sistem yang menciptakan ketimpangan ekonomi secara sistematis dan masif. Ironisnya, banyak lulusan sarjana pun kini menganggur atau bekerja tidak sesuai bidang, karena lapangan kerja yang sempit serta praktik PHK massal yang terus menghantui. Maka, menyederhanakan solusi kemiskinan hanya dengan “sekolah gratis” jelas bertolak dari akar permasalahan.
Fakta menunjukkan bahwa angka pengangguran terdidik justru terus meningkat. Lalu, bagaimana mungkin SR—yang menyasar pendidikan dasar dan menengah—bisa menjadi solusi substansial mengatasi kemiskinan jika sumbernya persoalannya ada pada sistem ekonomi dan ketenagakerjaan?
Akar persoalan sesungguhnya adalah sistem kapitalisme yang dijalankan hari ini. Kapitalisme menjadikan negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pengurus dan pelayan rakyat. Kebijakan ekonomi, pendidikan, dan sosial lebih mengabdi pada kepentingan para pemodal (oligarki), bukan pada kemaslahatan rakyat.
Akibatnya, pendidikan bermutu hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu. Sementara mayoritas rakyat hanya mendapat “jatah” program-program populis seperti Sekolah Rakyat dan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tampak menyentuh kebutuhan, tapi sejatinya jauh dari menyelesaikan persoalan.
Sekolah negeri pun masih jauh dari kata ideal. Fasilitas minim, kualitas tenaga pendidik yang belum merata, kurikulum yang cenderung pragmatis, hingga ketimpangan antarwilayah menjadi catatan panjang. Alih-alih membenahi yang sudah ada, pemerintah justru menambah program baru yang hanya menyentuh permukaan.
Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak setiap rakyat, baik kaya maupun miskin.
Dalam sistem Islam, negara berkewajiban menyediakan pendidikan berkualitas secara cuma-cuma di seluruh jenjang pendidikan. Bukan hanya pendidikan dasar, tetapi hingga tingkat tinggi, bahkan bagi siapa pun yang memiliki kapasitas.
Negara Islam tidak akan membiarkan urusan pendidikan diserahkan kepada swasta apalagi kepada mekanisme pasar. Negara adalah penanggung jawab langsung dalam memastikan seluruh rakyat mendapat pendidikan yang terbaik. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. yang bersabda, "Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Lebih dari itu, Islam juga mewajibkan negara menjamin kesejahteraan ekonomi rakyat, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Negara dalam Islam bukan hanya menggratiskan pendidikan, tapi juga menjamin kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan keamanan.
Lalu, dari mana negara mendapatkan pembiayaan untuk semua itu? Islam memiliki sistem keuangan negara yang kuat, yakni Baitul Mal. Dana negara dalam Islam bersumber dari pos kepemilikan umum (seperti hasil tambang, air, hutan, dan energi), zakat, fai’, kharaj, jizyah, dan lain-lain yang semuanya dikelola untuk kesejahteraan umat. Tidak ada istilah negara kekurangan anggaran ketika kekayaan alam melimpah dan dikelola sesuai syariah.
Jika kita lihat secara jujur, Sekolah Rakyat hanyalah solusi semu dalam sistem yang rusak. Ia tidak mengubah struktur ketimpangan, tidak menghapuskan pengangguran, dan tidak menjamin kesejahteraan. Ia hanya memberi ilusi solusi, seolah negara sudah peduli, padahal yang diberikan hanyalah “sisa dari meja jamuan kapitalis”.
Selama sistem kapitalisme masih menjadi fondasi negeri ini, maka program-program sejenis SR tidak akan mampu menghapus kemiskinan. Sebab, sumber kemiskinan itu sendiri adalah kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi ekonomi, bukan subjek pembangunan.
Umat harus sadar bahwa kesejahteraan dan keadilan sejati hanya dapat terwujud dengan sistem Islam yang kaffah. Pendidikan, ekonomi, kesehatan, hingga keamanan adalah tanggung jawab negara yang harus dijalankan sesuai syariah. Saat negara berfungsi sebagai rā’in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat, maka semua kebutuhan pokok akan terjamin.
Kini saatnya umat kembali memperjuangkan tegaknya sistem Islam secara menyeluruh, yang menjadikan pendidikan sebagai hak publik, bukan komoditas. Bukan Sekolah Rakyat ala kapitalisme yang kita butuhkan, tetapi kembali kepada sistem pendidikan Islam dalam naungan Khilafah, yang akan benar-benar menyelesaikan akar persoalan umat—bukan sekadar menambalnya.
Wallahu 'alam bishowab
Posting Komentar