-->

Sekolah Rakyat, Solusi Mengentaskan Kemiskinan atau Sekadar Tambal Sulam?

Oleh : Ghooziyah

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Sosial, baru-baru ini meluncurkan program Sekolah Rakyat (SR) sebagai upaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Program ini merupakan inisiatif dari Presiden Prabowo Subianto yang ditujukan khusus untuk anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Harapannya, mereka yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan bisa mendapatkan layanan yang layak dan menjadi “orang sukses” di masa depan. Namun, benarkah SR mampu menjadi solusi tuntas bagi kemiskinan struktural yang selama ini membelit bangsa?

Di atas kertas, Sekolah Rakyat tampak seperti terobosan yang berpihak pada rakyat miskin. Bahkan, berbagai pejabat negara turun langsung memantau pelaksanaannya, menjanjikan pemenuhan kebutuhan siswa, serta menekankan pentingnya kedisiplinan. Namun realitas di lapangan menunjukkan adanya kekacauan. Di Bandung, misalnya, penggunaan gedung SLBN A Pajajaran untuk SR justru mengganggu proses belajar siswa tunanetra. Ini menjadi salah satu bukti bahwa program ini tidak dirancang secara sistemik dan komprehensif, melainkan sekadar menambal lubang masalah sosial.

Masalah mendasar dari program ini adalah tidak dijawabnya akar persoalan kemiskinan di negeri ini. Sebab kemiskinan hari ini bukanlah sekadar karena anak-anak miskin tidak bisa sekolah. Lebih dalam dari itu, kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskinan struktural—kemiskinan yang lahir dari sistem ekonomi dan politik yang diterapkan. Dalam sistem kapitalisme yang dianut saat ini, negara berfungsi hanya sebagai regulator kepentingan segelintir elit, bukan sebagai pengurus urusan rakyat.

Lapangan kerja yang menyusut, PHK yang masif, dan rendahnya kualitas pendidikan di sekolah negeri adalah bukti nyata bahwa solusi parsial seperti SR tidak akan menyentuh inti persoalan. Bagaimana mungkin anak-anak dari keluarga miskin bisa keluar dari jerat kemiskinan, jika ketika dewasa mereka tidak juga mendapatkan pekerjaan? Bagaimana bisa mengentaskan kemiskinan jika negara hanya fokus pada mereka yang “ekstrem miskin” saja, sementara mayoritas rakyat terus dihimpit oleh biaya hidup yang makin tinggi?

SR memang gratis, tapi justru menunjukkan betapa negara hari ini hanya hadir untuk rakyat yang benar-benar terpuruk. Padahal seharusnya negara menyediakan pendidikan berkualitas dan gratis bagi semua warganya—tanpa diskriminasi. Apalagi jika melihat kondisi sekolah negeri yang masih jauh dari kata ideal: fasilitas minim, guru tidak merata, hingga kurikulum yang cenderung tidak menyentuh kebutuhan riil anak didik.

Kebijakan populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Sekolah Rakyat tampak menarik di permukaan, namun tidak menjawab akar masalah. Program semacam ini hanyalah solusi jangka pendek yang bersifat tambal sulam. Ia tidak dirancang untuk membangun sistem pendidikan dan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Bahkan, dalam kacamata kapitalisme, program-program seperti ini cenderung menjadi alat pencitraan politik semata, bukan wujud kesungguhan melayani rakyat.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara diwajibkan menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin. Pendidikan adalah hak dasar setiap individu, dan tanggung jawab pemenuhannya berada di pundak negara. Tidak ada diskriminasi berdasarkan status sosial, tidak pula ada “sekolah khusus untuk yang miskin”. Semua rakyat mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan terbaik.

Lebih dari itu, dalam sistem Islam, negara tidak hanya menggratiskan biaya pendidikan, tetapi juga menjamin ketersediaan tenaga pendidik berkualitas, fasilitas yang memadai, serta kurikulum yang membentuk kepribadian Islam dan penguasaan ilmu kehidupan. Semua itu dibiayai dari pos-pos pemasukan negara seperti fai’, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam milik umum yang dilarang dikapitalisasi.

Negara dalam sistem Islam juga berperan sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Negara wajib menyediakan lapangan kerja, menjamin kesejahteraan, dan memastikan bahwa tidak ada satu pun rakyatnya yang hidup dalam kelaparan dan kebodohan. Negara bukan sekadar memfasilitasi program sosial, tetapi hadir sebagai pelaksana langsung dari tanggung jawabnya terhadap umat.

Dengan demikian, solusi nyata untuk kemiskinan dan rendahnya akses pendidikan bukanlah terletak pada program sporadis seperti Sekolah Rakyat, melainkan pada perubahan sistemik menuju sistem yang menjadikan rakyat sebagai pusat perhatian negara—yakni sistem Islam yang menerapkan syariat secara kaffah dalam bingkai Khilafah.

Sudah saatnya umat Islam membuka mata dan melihat bahwa akar dari problem kemiskinan, pengangguran, dan bobroknya pendidikan terletak pada sistem kapitalisme yang menindas. Maka, menambal lubang dengan program sosial tidak akan menyelesaikan persoalan. Yang dibutuhkan adalah transformasi sistem menuju keadilan yang sejati: penerapan Islam sebagai solusi menyeluruh bagi umat manusia.

Wallahu a'lam