Praktik Curang Beras Oplosan, Begitulah Cara Kapitalisme Mengurusi Pangan
Oleh : Lintang Wandira
Kecurangan beras baik dalam timbangan dan kualitas/jenis sudah terjadi beberapa waktu ini. masyarakat dan negara menderita kerugian besar. Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan “5 kilogram (kg)” padahal isinya hanya 4,5 kg. Lalu banyak di antaranya mengklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas
Berdasarkan hasil pemeriksaan, baru didapati 26 merek beras diduga merupakan hasil praktik penipuan sebagaimana yang diungkapkan Mentan Amran. Sebanyak 26 merek beras itu berasal dari empat perusahaan besar produsen beras, yakni Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Satgas Pangan mengumpulkan sampel produk beras keempat perusahaan dari berbagai daerah dan mendapati bahwa produk mereka tidak sesuai.
Temuan serupa juga terjadi pada kategori beras medium. Dari 76 merek yang diperiksa, sebanyak 66 merek menyalahi ketentuan. Potensi kerugian konsumen akibat praktik tersebut diperkirakan mencapai Rp 99,35 triliun.
Sementara itu, Kepala Satgas Pangan, Brigjen Pol. Helfi Assegaf, menegaskan tenggat waktu dua minggu diberikan kepada seluruh pelaku usaha beras untuk melakukan klarifikasi dan penyesuaian atas produk mereka. “Jika tidak dilakukan, Satgas Pangan akan mengambil langkah hukum sesuai ketentuan yang berlaku,” bebernya.
Praktek kecurangan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama. Semua demi keuntungan, bahkan hingga menghalalkan yang haram dan melanggar regulasi. Hal yang dianggap biasa dalam sistem sekuler kapitalisme.
Berlarutnya persoalan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan juga sistem sanksi. Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. menilai, terjadinya penipuan ini bukti lemahnya regulasi. “Penipuan ini membuktikan lemah dan tidak bergiginya regulasi yang ada. Bayangkan, penipuan ini terjadi di 10 provinsi dan telah menelan kerugian konsumen lebih dari Rp99 triliun. Tidak menutup kemungkinan di daerah lain juga banyak ditemukan,” ungkapnya.
Apalagi persoalannya bukan hanya beras oplosan, tetapi juga harga beras yang terus mahal meskipun stok berlimpah atau distribusi beras SPHP (program Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan) yang tidak tepat sasaran.
”Meluasnya persoalan ini sangat tidak cukup jika disolusi hanya dengan melakukan edukasi kepada pedagang atau penegakan sanksi. Sementara mengabaikan akar persoalannya,” ulasnya.
Menurutnya, lebarnya celah tindak penipuan ataupun praktik curang lainnya berpangkal dari tidak berperan utuhnya pemerintah dalam bingkai negara demokrasi kapitalisme untuk mengurusi pangan.
”Mulai dari hulu hingga ke hilir, peran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator. Sedangkan pelaku langsung dalam pengelolaan pangan adalah korporasi dan pedagang swasta. Ini menyebabkan orientasi pengelolaan hanyalah bisnis dan sebesar-besarnya keuntungan, kemaslahatan rakyat diabaikan. Di tengah kelemahan peran negara itu pulalah, mafia pangan tumbuh subur dan sulit diberantas,” bebernya.
Begitu pula, sambungnya, regulasi yang tidak bergigi disebabkan konsep yang mendasarinya adalah demokrasi sekuler yang sangat sarat kepentingan pembuat kebijakan. “Apalagi manusia yang melahirkannya sangat terbatas kemampuan dan akalnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, berbagai regulasi justru memperberat persoalan,” kritiknya.
Bagi pejabat atau penguasa, Islam mengharuskan mereka Amanah dan juga bertanggungjawab dalam menjaga tegaknya keadilan. Apalagi penguasa adalah pelayan rakyat, sebagai raain dan junnah bagi rakyatnya.
Dalam islam tegaknya aturan didukung oleh tiga hal. Ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan tegaknya aturan oleh negara yang akan terwujud dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Islam juga memiliki qadi hisbah yang akan memeriksa dan memastikan regulasi terkait hal ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan.
Islam juga menetapkan negara harus hadir secara utuh untuk mengurusi pangan mulai produksi-distribusi-konsumsi. Bukan hanya memastikan pasokan tersedia, namun juga mengurusi rantai tata niaga sehingga tidak terjadi kecurangan seperti ini serta konsumsi untuk memastikan pangan benar-benar sampai kepada seluruh ind rakyat
Oleh karena itu, perlu ada perubahan paradigma dan konsep pengelolaan pangan yang bervisi untuk sepenuhnya melayani kebutuhan rakyat dan mengukuhkan kedaulatan negara.
Aturan yang ada dalam Islam, sepenuhnya berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah Swt. sehingga terbebas dari kepentingan manusia dan tentunya sempurna. Ia meyakini, konsep Islam ketika diterapkan akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Dalam Islam, pemerintah/kepala negara wajib hadir sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung umat). Oleh karenanya terkait pengelolaan pangan, pemerintah haruslah mengambil peran utuh mulai dari hulu hingga ke hilir untuk memastikan setiap individu rakyat tanpa terkecuali bisa mendapatkan pangan yang mencukupi, layak dan berkualitas, yaitu halal dan tayib.
Di samping itu, pemerintah juga bertanggung jawab penuh terhadap distribusi pangan. Selain menjaga keseimbangan harga yang wajar, negara juga mengawasi pasar sehingga tidak ada praktik penipuan yang merugikan rakyat.
Dalam Islam di bawah institusi Khilafah diangkat para qadi muhtasib yang akan berkeliling ke pasar-pasar untuk mengawasi dan menindak langsung setiap ada kecurangan terjadi.
Posting Komentar