-->

Korupsi Merajalela, Penerapan Islam Kaffah Solusi Nyata


Oleh : Linda Anisa

Korupsi tampaknya telah menjadi penyakit kronis yang terus mengakar dan semakin mengakar serta menggerogoti tubuh bangsa ini. Tiada bulan tanpa berita korupsi yang selalu saja menguap ke permukaan. Ironisnya, di tengah upaya pemerintah menggalakkan efisiensi anggaran dan penghematan di berbagai sektor strategis seperti dari pendidikan, kesehatan, hingga pertahanan; publik justru disuguhi kenyataan pahit dengan fakta menyakitkan atas uang negara yang jumlahnya triliunan rupiah digarong oleh oknum pejabat dan elite yang seharusnya menjadi pelindung aset rakyat.

Baru-baru ini, media diramaikan dengan mencuatnya kasus korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di Bank BRI yang nilainya mencapai Rp 2,1 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sejumlah tersangka dan mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri karena diduga terlibat dalam skandal tersebut (BeritaSatu, 2024). Ini bukan kasus tunggal. Hanya berselang beberapa pekan sebelumnya, KPK juga membongkar dugaan rekayasa sistem e-katalog dalam proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara yang melibatkan kongkalikong antara pejabat daerah dan rekanan proyek (Kumparan, 2024).

Yang membuat publik semakin muak, kasus-kasus korupsi tersebut kerap diselimuti drama hukum berlarut-larut. Ada yang menghilang, ada yang ‘sakit mendadak’, hingga vonis ringan yang tak sepadan dengan kerugian negara. Semua ini memperlihatkan bahwa korupsi tak lagi sekadar pelanggaran hukum, tetapi telah menjelma menjadi budaya sistemik dalam politik dan birokrasi kita.

Lebih tragis lagi, korupsi terjadi justru ketika anggaran untuk rakyat dikurangi secara masif. Penonaktifan Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS, pemotongan tunjangan guru, pembatasan dana bansos, riset, bahkan anggaran militer adalah contoh nyata bahwa rakyat diminta hidup hemat, sementara elite berpesta pora dengan uang negara.

Kapitalisme Biang Kerok Maraknya Korupsi yang Tiada Henti

Sistem kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi; ia adalah ideologi yang mengatur bagaimana kekuasaan dijalankan dan sumber daya dikelola. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai pelayan kepentingan korporasi dan elite pemilik modal. Kekuasaan politik tak lagi dilihat sebagai amanah untuk melayani rakyat, tetapi sebagai alat transaksi antara penguasa dan pemodal. Di sinilah benih-benih korupsi disemai.

Kapitalisme menjadikan jabatan sebagai sumber kekayaan, bukan tanggung jawab. Akibatnya, setiap proses pemilihan pemimpin sarat dengan praktik transaksional yang mahal dan koruptif sejak awal. Setelah berkuasa, pemimpin yang "berutang politik" pun harus membayar balas budi. Inilah lingkaran setan korupsi.

Lebih parah lagi, kapitalisme menciptakan ketimpangan ekonomi akut. Ketika kesenjangan sosial melebar dan kebutuhan dasar rakyat diabaikan, maka godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan menjadi semakin besar. Dalam sistem ini, hukum sering kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Pelaku korupsi kelas kakap bisa lolos dengan berbagai cara, sementara rakyat kecil dipenjara karena mencuri demi bertahan hidup.
Selama kapitalisme menjadi fondasi sistem negara, maka pemberantasan korupsi tak akan pernah menyentuh akar masalah. Rotasi pemimpin dan reformasi birokrasi hanya akan menghasilkan perubahan kosmetik, bukan solusi sistemik.

Islam Solusi Sistemik untuk Mewujudkan Kepemimpinan Bersih dan Adil

Berbeda dengan kapitalisme, Islam membangun seluruh sendi kehidupan atas dasar akidah Islam yang kuat. Dalam sistem Islam, kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt., bukan sekadar posisi untuk mencari keuntungan duniawi. Paradigma ini melahirkan pemimpin-pemimpin yang takut berbuat curang karena sadar bahwa setiap tindakan akan dihisab.
Allah Swt. berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (QS. An-Nisa: 58)
Dan Rasulullah ﷺ bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam tidak hanya mengajarkan moral pribadi, tetapi juga menegakkan sistem hukum dan tata kelola negara yang bersih dan teratur. 

Dalam sistem Islam (khilafah), ada mekanisme pengawasan keuangan yang ketat, pembatasan harta bagi pejabat, serta sanksi tegas bagi pelaku penyimpangan seperti korupsi. Hukuman ta’zir dapat diterapkan secara menjerakan, disesuaikan dengan kadar kejahatan, dan bersifat publik agar menjadi efek jera bagi masyarakat luas.

Bahkan, Islam memberi keteladanan dalam penerapan hukum secara adil, tanpa pandang bulu. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

"Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, jika orang terpandang mencuri, mereka membiarkannya. Namun jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih dari itu, Islam juga menjamin kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sandang pangan. Negara dalam sistem Islam berperan sebagai pelayan umat (raa’in), bukan penguasa yang menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi. Ketika negara menjalankan fungsinya dengan benar, maka celah untuk menyalahgunakan jabatan menjadi sangat kecil. Tidak akan ada pembiaran terhadap kesenjangan, apalagi kelaparan di tengah kekayaan sumber daya alam.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
"Imam (penguasa) adalah penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya."(HR. Bukhari)

Dengan sistem ini, Islam menutup pintu bagi munculnya penguasa zalim dan pejabat rakus. Negara dijalankan dengan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan pelayanan tulus kepada umat. Tentu saja ini merupakan sebuah model kepemimpinan yang tidak mungkin lahir dari sistem sekuler kapitalistik yang menyembah kekuasaan dan keuntungan.

Era Tanpa Korupsi dalam Naungan Khilafah

Jika merujuk saat Islam diterapkan, maka sejarah mencatat bahwa penerapan Islam secara kafah pernah mewujudkan peradaban yang nyaris bebas dari korupsi dan kezaliman. Di masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, kekayaan negara dikelola secara transparan. Tidak hanya pejabat yang diaudit, bahkan keluarga khalifah pun tidak luput dari pengawasan. Uang negara digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, dan siapa pun yang berbuat curang langsung ditindak tegas.
Fakta sejarah ini bukan mitos. Ia adalah bukti bahwa sistem Islam bukan utopia belaka, melainkan realitas yang pernah menjadikan umat Islam sebagai mercusuar peradaban dunia. Dengan pemimpin yang amanah, sistem ekonomi yang adil, dan sanksi hukum yang konsisten, masyarakat hidup dalam kesejahteraan dan keadilan sejati.

Berani Berubah, Bukan Hanya Ganti Pemimpin

Kasus demi kasus korupsi yang terus bermunculan menunjukkan satu hal bahwa akar masalahnya bukan hanya pada individu, tetapi pada sistem yang menopang perilaku koruptif tersebut. Sistem kapitalisme sekuler yang digunakan hari ini tidak hanya gagal membendung korupsi, tetapi juga mempercepat laju kehancuran moral dan ketimpangan sosial.

Sudah saatnya bangsa ini berpaling dari sistem yang rusak dan gagal. Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh (kafah) menawarkan solusi yang bukan hanya menindak, tetapi juga mencegah. Islam membangun fondasi negara yang bersih, kuat, dan adil yang dimulai dari kesadaran individu, hingga kebijakan publik dan sistem pemerintahan.
Jika kita sungguh ingin keluar dari lingkaran setan korupsi, maka kita harus berani meninggalkan sistem yang menjadi sumber penyakitnya. Hanya dengan kembali kepada syariat Islam secara kafah-lah, negeri ini dapat benar-benar bebas dari korupsi dan berjalan menuju keadilan serta kesejahteraan yang hakiki.