-->

BAHAYA KORUPSI DAN ANTISIPASINYA


Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Korupsi (State Capture) masih menjadi trending topik saat ini. Masih banyak kasus korupsi bermunculan. Hal ini disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, Jumat (20-6-2025) (www.kompas.id, Sabtu 21 Juni 2025) (1). Beliau menyebut korupsi (state capture) berbahaya. Jelasnya, korupsi sebagai kolusi antara kapitalis besar, pejabat pemerintahan dan elite politik. Dampaknya kemiskinan meningkat dan kelas menengah meluas. Solusi beliau atas korupsi ini dengan kompromi antara sosialisme dan kapitalisme. Tepatkah hal ini?

Solusi Prabowo tidaklah solutif. Menawarkan kompromi antara kapitalisme dan sosialisme, tapi tetap membutuhkan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Tampak kebingungan di sini. Padahal fakta menunjukkan korupsi makin marak di Indonesia. Sepanjang 2024 ada 1.280 perkara korupsi dengan 830 tersangka dan merugikan negara hingga Rp 4,8 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 4.182 pengaduan dari masyarakat, menetapkan 163 tersangka, menggelar 5 operasi tangkap tangan, menetapkan 6 tersangka TPPU, dan menetapkan 4 tersangka korporasi (www.kpk.go.id).

“Klasemen Liga Korupsi Indonesia” adalah sebutan kasus korupsi terbesar. Disebut Mega korupsi. Yaitu kasus Pertamina (Rp968,55 triliun), PT Timah (Rp300 triliun), BLBI (Rp138 triliun), PT Duta Palma Group (Rp78 triliun), PT TPPI (37,8 triliun), PT Asabri (22,7 triliun), PT Asabri (Rp22,7 triliun), PT Jiwasraya (16,8 triliun), dan yang terbaru adalah kasus Wilmar Group (Rp11,8 triliun). Semua ini melibatkan korporasi dan kapitalis kakap, kongkalikong dengan oknum pejabat; yang rugikan negara dengan junlah dana fantastis. Kelas tertinggi dipegang oleh kasus Pertamina dengan kerugian hampir Rp 1 kuadriliun. Padahal anggaran untuk pendidikan hanya Rp665 triliun dan anggaran kesehatan hanya Rp 187 triliun, yang digabungkan masih kalah besar dengan nilai korupsi Pertamina. Sungguh mencengangkan.
Korupsi adalah konsekuensi Logis penerapan sistem politik sekuler demokrasi kapitalisme, karena memarjinalkan peran agama dalam aktivitas politik maupun ekonomi. Akibatnya keuntungan materi menjadi prioritas dalam berpolitik dan berekonomi. Akhirnya aktivitas dominannya menghalalkan segala cara. Sistem demokrasi kapitalisme juga sangat transaksional, karena modal besar yang dibutuhkan penguasa saat pemilu dari para kapitalis.

Beberapa calon kepala daerah pada Pilkada 2024 mengaku telah mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah, yang tentu tidak sepenuhnya dari kocek pribadi, tapi dari para kapitalis juga. Kompensasinya, para kapitalis menuntut balas budi berbentuk kebijakan penguasa yang pro kapitalis. Akhirnya lahirlah aturan yang menguntungkan kapitalis dan merugikan rakyat. Seperti UU Cipta Kerja yang memudahkan perizinan demi investasi dan tanpa Amdal (analisisi dampak lingkungan). 

Dampaknya kerusakan alam yang makin parah akibat penambangan atau perkebunan. Kasus tambang nikel di kawasan Raja Ampat merupakan contoh konkret kerusakan alam akibat ulah para kapitalis yang didukung penguasa dengan dalih investasi. Akhirnya rakyat menjadi korban.
Berbeda dengan Islam yang memandang korupsi adalah kerusakan (fasad) yang nyata. 
Merujuk firman Allah : QS Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum : 4).

Islam mampu menuntaskan kasus korupsi dengan penerapan Islam kafah dalam naungan Khilafah. Khilafah merupakan pemerintahan yang bersih, sehingga efektif mencegah terjadinya korupsi. Kuncinya penanganan pada aspek mendasarnya, yaitu akidah. Akidah Islam menjadi asas kehidupan dalam Khilafah, baik bagi individu, masyarakat, maupun negara. Tiap warga memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh, yang berasal dari penanaman kepribadian Islam buah sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sehingga mereka akan selalu bersikap jujur dan takut berbuat dosa.

Jabatan akan selalu mereka pandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid II hlm. 158 menjelaskan bahwa penguasa haruslah orang yang kuat, yaitu memiliki kekuatan kepribadian (syahsiah) berupa kekuatan akal (akliah) dan jiwa (nafsiah). Dengan kata lain, penguasa harus memiliki kepribadian Islam.

Penguasa juga harus memiliki sifat takwa dalam dirinya dan dalam kepemimpinannya terhadap umat. Rasulullah saw. bersabda, “Dahulu, jika Rasulullah saw. mengangkat seorang pemimpin atas pasukan atau detasemen, beliau berpesan kepadanya dengan ketakwaan kepada Allah dalam dirinya sendiri dan agar ia memperlakukan kaum muslim yang bersamanya dengan baik.” (HR Muslim dan Ahmad).
Mekanisme yang dilakukan Khilafah untuk cegah kolusi dan korupsi adalah sebagai berikut :

Pertama. Khilafah akan membentuk kepribadian islami pada individu-individu rakyat melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Ini akan membentuk pribadi yang amanah, takut berbuat dosa, dan selalu ikhlas dalam melayani umat.
 
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 165—167, “Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut. Strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir islami (akliah islamiah) dan jiwa yang Islami (nafsiah islamiah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian islami (syahsiah islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang.”

Kedua. Sistem rekrutmen pejabat dalam Khilafah sederhana dan murah, tetapi efektif. Penguasa dalam Khilafah harus memenuhi tujuh syarat; yaitu laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu (kapabel). Hal ini juga berlaku untuk pemilihan Wali (gubernur), Amil (bupati/walikota). Calon Khalifah dipilih oleh ahlul-ḥalli wal aqdi yang merupakan orang-orang bertakwa dan prosesnya dibatasi waktu tiga hari, sehingga tidak membutuhkan biaya besar. Ini mencegah adanya politik transaksional dan intervensi dari para kapitalis. Proses pemilihan akan berjalan secara jujur dan transparan, sehingga tidak ada praktik politik uang.

Ketiga. Khalifah wajib menjalankan pemerintahan dengan hukum Islam. Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid II hlm. 163 dijelaskan bahwa penguasa wajib untuk memerintah dengan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.

Keempat. Pengelolaan harta Baitul Mal (APBN ala Islam) harus sesuai syariat. Khalifah berwenang mengelola hartanya sesuai ijtihadnya, tapi tidak boleh menyimpang dari syariat (Syekh Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, hlm. 149). Penguasa haram menyalahgunakannya. Ini berdasarkan hadis Rasulullah saw : “Sesungguhnya aku menugaskan beberapa orang laki-laki di antara kalian untuk mengurusi hal-hal yang dikuasakan kepadaku oleh Allah. Lalu salah seorang dari kalian datang dan berkata, ‘Ini milikmu dan yang ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku.’ Kenapa ia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, sampai datang kepadanya hadiah, jika ia benar? Demi Allah, tidak seorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menanggungnya pada Hari Kiamat.” (HR Bukhari).

Kelima. Khalifah akan melakukan pengawasan terhadap harta para pejabat. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau menghitungnya, baik sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan sumbernya. Jika tidak bisa membuktikannya, Khilafah akan menyita harta yang diduga tidak sah tersebut (harta ghulul) dan dimasukkan ke baitulmal.

Keenam. Dikenakan sanksi tegas dan menjerakan bagi pengkhianat dana rakyat. Hukuman untuk koruptor adalah takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Khalifah atau Qadhi (hakim). Bentuk takzir mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Syekh Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hlm. 78—89). Koruptor juga wajib mengembalikan harta yang dikorupsi kepada negara (baitulmal).
Dengan penerapan syariat Islam kafah dalam naungan Khilafah, korupsi bisa dicegah dan harta negara di Baitul Mal bisa dimaksimalkan penggunaannya untuk kepentingan rakyat.
Wallahualam bissawab.

Catatan Kaki :
(1) https://www.kompas.id/artikel/filosofi-ekonomi-jalan-tengah-prabowo-di-spief-2025
(2) https://www.kpk.go.id/id/ruang-informasi/berita/kinerja-kpk-2020-2024-tangani-2730-perkara-korupsi-lima-sektor-jadi-fokus-utama