Korupsi EDC terkuak, Mustahil Memberantasnya Dengan Demokrasi
Oleh : Heni Satika (Praktisi Pendidikan)
Penemuan bilyet deposito sebesar Rp 28 miliar dan rekening senilai Rp 5,3 miliar oleh KPK ketika mengeledah dua kantor BRI di Jalan Gatot Subroto dan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Penggeledahan dilakukan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) BRI. Pemeriksaan juga dilakukan kepada Catur Budi Harto yakni mantan Wakil Dirut BRI. Pelarangan bepergian ke luar negeri juga dikenakan kepada 13 orang yang diduga terlibat atau menjadi saksi atas kasus tersebut.
Dilansir dari Tempo.co pada (5 Juli 2025) pernyataan KPK yang mengidentifikasi adanya rekayasa dalam pengadaan EDC, terdapat penggelembungan harga serta tidak transparan dalam prosesnya. Kasus korupsi EDC menjadi catatan kesekian kalinya badan berplat merah rawan korupsi. Nilai korupsi dengan nilai fantastis juga ditorehkan oleh PT Taspen yakni 200 miliar dan masih banyak yang lainnya.
Mengapa BUMN atau lembaga plat merah rentan kasus korupsi? Beberapa analisa berikut bisa menjadi gambaran bahwa sulit memberantas korupsi di system demokrasi. Pertama tata kelola perusahaan yang buruk dan tidak transparan menyebabkan direksi BUMN bisa bekerjasama dengan swasta untuk mark up dana anggaran proyek. Walaupun terdapat pengawasan internal seperti BPK atau KPK seringkali tindakan mereka dibatasi oleh perubahan perundang-undangan. Sehingga berikurang kewenangan lembaga tersebut untuk mengawasi dan mengaudit keuangan.
Kedua, status pejabat BUMN dalam perundang-undangan yang baru menyebutkan bahwa direksi, komisaris dan pejabat structural BUMN bukan penyelenggara Negara. Ini menjadi rumit ketika KPK hanya punya kewenangan khusus terhadap penyelenggara Negara. Ketiga, birokrasi yang rumit dan tidak efisien menjadi sarang yang subur untuk kasus suap.
Kalau diamati semua kasus korupsi tercipta karena peluang yang dibuat oleh system demokrasi. Dimana aturan dibuat oleh rakyat yang diwakili MPR/DPR yang sebagian besar wakil rakyat adalah pengusaha. Semua proses yang mereka lewati untuk menjadi wakil rakyat melalui jalur mahal. Maka menjadi wajar jika aturan yang mereka buat untuk mempermudah mengembalikan modal kampanye. Bisa diamati dari produk UU yang mereka buat. Ditambah lagi politik dagang sapi yang diterapkan. Yakni pemberian ucapan terimakasih pada pihak yang terlibat kampanye dengan menempatkan mereka pada jabatan tertentu. Bisa diamati hari ini banyaknya personal tidak kapabel masuk menjadi komisaris atau direksi BUMN.
Tidak adanya rasa takut kepada Allah dan RasulNya, tidak takut terhadap malaikat yang mencatat amal baik dan buruk. Serta tidak takut terhadap balasan Allah kepada pemakan harta orang lain. Padahal rasa takut inilah yang akan mencegah seseorang untuk melakukan tindakan keji dan dholim. Bagaimana rasa takut ini muncul jika Negara tidak diatur berdasarkan syariat agama? Ketika Negara dengan syariat agama yakni Islam diterapkan dalam bentuk kenegaraan. Maka akan muncul pemimpin sekaliber Umar bin Khattab, Abu Bakar, Umar bin Abdul Aziz.
System tersebut secara efektif mencegah korupsi dimulai dari munculnya rasa takut kepada Allah. Berikutnya system pemerintahan yang efektif karena semua keputusan hanya bermuara kepada pemimpin yang disebut khalifah. Penyelenggara Negara hanya bersifat administrative. Sehingga mereka tidak bisa menjalin kerjasama secara mandiri dengan pihak swasta. Pemilihan menjadi pejabat Negara tanpa biaya, sehingga tidak ada upaya balik modal. Ditambah hukuman yang efektive oleh syara menjadikan jera pelaku criminal.
Efektivitas Islam sebagai sebuah aturan sudah terbukti selama 13 abad menguasai dunia. Maka solusi hari ini tidak lain adalah penerapan syariah Islam secara Kaffah ke seluruh dunia
Posting Komentar