Kolusi dan Korupsi, Keniscayaan dalam Demokrasi Kapitalistik
Oleh : Maesa
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan pernyataan yang cukup mengejutkan sekaligus menyadarkan: “Ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang, yaitu kolusi antara kapital besar dengan pejabat pemerintahan serta elite politik.” (kumparan, 24 Juni 2025). Beliau menyinggung istilah state capture, sebuah bentuk korupsi sistemik yang terjadi ketika para pelaku ekonomi besar mampu memengaruhi dan mengendalikan kebijakan publik demi keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Pernyataan ini menguak fakta lama yang selama ini hanya dibisikkan di balik layar: bahwa sistem demokrasi yang kita anut saat ini rentan ditunggangi oleh kepentingan segelintir elite. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik semacam ini telah menjadi kelaziman yang tak lagi tersembunyi.
Kasus demi kasus terus bermunculan dan menegaskan betapa kuatnya cengkeraman kapital terhadap roda pemerintahan. Salah satu kasus besar yang baru-baru ini terungkap adalah dugaan korupsi ekspor CPO (minyak sawit mentah) yang melibatkan Wilmar Group. Kejaksaan Agung menyita aset senilai Rp 118 triliun dalam perkara ini—angka yang mencengangkan publik dan menjadi salah satu kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. (tirto.id, 24 Juni 2025)
Wilmar Group, sebagaimana diulas BeritaSatu, merupakan perusahaan agribisnis raksasa yang punya jaringan luas dan pengaruh kuat, termasuk dalam kebijakan ekspor komoditas strategis seperti sawit. Dugaan keterlibatan perusahaan ini dalam kasus korupsi dengan nilai fantastis, tentu menegaskan bahwa kolusi antara pelaku usaha besar dan pejabat publik bukan sekadar potensi, tetapi sudah menjadi realita.
State capture seperti yang disebut Presiden Prabowo bukanlah kecelakaan dalam sistem, melainkan konsekuensi logis dari sistem demokrasi kapitalisme-sekuler yang dijalankan saat ini. Dalam sistem ini, kekuasaan diperoleh lewat pemilu yang sangat mahal. Untuk bisa bersaing, calon pejabat atau partai politik membutuhkan logistik dan modal besar, yang sebagian besar datang dari para pemilik modal.
Pengusaha menyumbang, politisi melenggang. Tapi “investasi” itu tak gratis. Setelah terpilih, penguasa kerap membalas jasa dalam bentuk regulasi, proyek, hingga monopoli kebijakan. Terjadilah politik transaksional yang tak bisa dihindari. Sementara itu, rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek dalam proses demokrasi.
Berbeda dengan demokrasi, Islam memandang jabatan sebagai amanah, bukan alat memperkaya diri atau membalas jasa politik. Dalam Islam, asas kehidupan baik individu maupun negara adalah akidah Islam. Artinya, setiap perilaku, termasuk dalam mengelola jabatan dan harta publik, akan selalu diukur dengan halal-haram dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lebih dari itu, Islam juga memiliki seperangkat mekanisme untuk menjaga integritas dan mencegah korupsi: mulai dari pembinaan ketakwaan, sistem pengawasan internal yang ketat, pengangkatan pejabat berdasarkan kelayakan bukan transaksional, hingga sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Hukuman dalam Islam tidak sekadar menciptakan efek jera, tetapi juga menjaga kemurnian kekuasaan agar tetap berpihak pada keadilan dan kemaslahatan umat.
Pernyataan Presiden dan kasus-kasus korupsi raksasa yang terungkap seharusnya menjadi sinyal bagi kita semua untuk melakukan evaluasi serius terhadap sistem yang kita anut. Apakah masih layak mempertahankan sistem yang secara struktural memproduksi kolusi dan korupsi? Atau saatnya kita terbuka pada alternatif sistem lain yang memiliki rekam jejak keadilan dan integritas?
Islam dengan sistem pemerintahannya yang menerapkan syariat secara kaffah bukan sekadar mimpi masa lalu, tetapi tawaran solusi masa depan. Sebuah sistem yang membangun kekuasaan bukan dari kekuatan uang, tetapi dari ketakwaan dan amanah. Sebuah sistem yang memutus rantai transaksi haram antara penguasa dan pengusaha.
Posting Komentar