NASIONALISME DAN NEGARA BANGSA MENGHALANGI PERJUANGAN MEMBEBASKAN PALESTINA
Oleh : Ummu Malika Hanan
Pemerintah Mesir dilaporkan mendeportasi puluhan aktivis yang berencana mengikuti konvoi kemanusiaan dengan tujuan melawan blokade Israel di Jalur Gaza. Aksi Global March to Gaza yang sedianya dimulai pada Minggu (15/6/2025) besok bertujuan untuk menekan pihak-pihak terkait agar membuka blokade Gaza yang digempur Israel sejak Oktober 2023.
Seorang pejabat Mesir menyatakan, pemerintah setempat telah mendeportasi lebih dari 30 aktivis di hotel dan Bandara Internasional Kairo. Pejabat itu menyebut para aktivis dideportasi karena "tidak mengantongi izin yang diperlukan."
Pemerintah Mesir secara terbuka menentang blokade Israel di Gaza dan mendesak gencatan senjata segera. Namun, Kairo juga getol membungkam pembangkang dan aktivis yang mengkritik hubungan ekonomi dan politik Mesir-Israel.
Hubungan tersebut merupakan isu sensitif di Mesir karena pemerintah tetap menjaga hubungan dengan Israel kendati publik secara luas bersimpati dengan masyarakat Palestina.
Kementerian Luar Negeri Mesir menyatakan peserta Global March to Gaza harus mengantongi izin terlebih dulu. Pihak kementerian juga mengaku menerima "banyak sekali permintaan" akses menuju perbatasan Mesir-Gaza.
"Mesir berhak melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjaga keamanan nasional, termasuk meregulasi keluar-masuk dan pergerakan individu di wilayahnya, khususnya di daerah perbatasan yang sensitif," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir dikutip Associated Press, Rabu (11/6).
Aktivis dan advokat yang berencana mengikuti Global March to Gaza mengatakan, pemerintah Mesir memulai proses razia dan deportasi pada Rabu (11/6) tanpa mengungkapkan alasan secara eksplisit.
Advokat asal Aljazair, Fatima Rouibi menyebut tiga koleganya ditahan di bandara pada Rabu (11/6) sebelum dideportasi sehari kemudian. Sedangkan aktivis Tunisia yang tinggal di Jerman, Bilal Nieh mengaku dirinya turut dideportasi bersama tujuh rekannya asal Afrika Utara yang juga memegang paspor Eropa.
Bilal Nieh menulis di media sosial bahwa pemerintah Mesir "tidak menyampaikan alasan atau dokumen yang menyatakan alasan deportasi."
Penyelenggara Global March to Gaza melaporkan setidaknya 170 peserta ditahan atau dihambat saat berada di Kairo. Penyelenggara mengaku telah mengikuti protokol yang ditetapkan pemerintah Mesir dan mendesak Kairo mengizinkan akses masuk.
"Kami bersedia memberikan informasi tambahan yang dibutuhkan otoritas Mesir untuk memastikan longmars ini bisa berlanjut dengan damai sampai perbatasan Rafah seperti yang direncanakan," demikian pernyataan penyelenggara.
Di tengah serangan brutal yang kembali menghantam jalur Gaza, dunia menyaksikan bangkitnya kembali gelombang solidaritas global untuk Palestina. Salah satu ekspresi nyata dari solidaritas ini adalah munculnya gerakan Global March To Gaza (GMGA). Ribuan orang dari berbagai negara berusaha menerobos blokade, mengirim bantuan kemanusiaan, dan menyuarakan perlawanan terhadap penjajah Israel.
Namun, alih-alih disambut atau diberikan akses menuju wilayah krisis, rombongan GMGA justru tertahan di perbatasan Rafah-pintu gerbang satu-satunya yang tidak dikuasai Israel, melainkan Mesir. Ironisnya, justru pemerintah Mesir-lah yang menutup pintu itu rapat-rapat. Fakta ini menyentak kesadaran: masalah Palestina tidak akan selesai dengan sekedar bantuan kemanusiaan, apalagi selama masih ada tembok besar yang membatasi negeri-negeri muslim satu yang lain: nasionalisme dan konsep negara bangsa (nation-state).
Nasionalisme: Membunuh Nurani dan Memisahkan Ikatan Ukhuwah
Nasionalisme selama ini dipuja sebagai simbol cinta tanah air dan identitas kebangsaan. Namun, dalam konteks dunia Islam, paham ini justru menjadi alat penjajahan yang sangat efektif. Ia mencabik-cabik kesatuan umat, menjadikan negeri-negeri muslim sebagai unit-unit politik terpisah yang masing-masing sibuk dengan kepentingan sendiri.
Inilah sebabnya mengapa ketika Gaza dibombardir siang malam, tidak ada satupun negara yang mengerahkan kekuatan militer mereka untuk membela.
Ketika Rafah memanggil, pintu itu malah dikunci. Para penguasa muslim tidak lagi melihat rakyat Palestina sebagai saudara seiman, tetapi "orang asing" yang datang dari wilayah lain. Nasionalisme telah membunuh empati, membunuh tanggung jawab, membunuh solidaritas sejati.
Lebih parah lagi, para pemimpin negara-negara Islam hari ini justru berlomba menjaga kepentingan negara-negara adidaya, khususnya Amerika serikat- negara yang menjadi penopang utama eksistensi Israel. Demi menjaga kursi kekuasaan, mereka rela menjadi pelindung penjajah, bukan pelindung umat. Inilah buah pahit dari sistem politik yang tidak dibangun di atas ideologi sekuler dan nasionalistik.
Negara Bangsa: Warisan Penjajah Yang Masih Dipelihara
Konsep negara yang kita kenal saat ini adalah warisan langsung dari kolonialisme Barat. Setelah berhasil menggulingkan khilafah Utsmaniyah pada 1924, penjajah Barat memetakan wilayah-wilayah Islam menjadi negara-negara baru dengan batas-batas buatan. Wilayah itu kemudian diserahkan kepada para pemimpin lokal yang loyal kepada kepentingan Barat, bukan kepada Islam dan umatnya.
Akibatnya, umat Islam yang tadinya dipersatukan oleh satu kepemimpinan politik Islam (khilafah) berubah menjadi masyarakat terpisah-pisah yang terkungkung dalam nasionalisme sempit. Masing-masing negara sibuk membangun "kedaulatannya sendiri", bahkan jika itu berarti mengabaikan penderitaan saudara-saudaranya yang dijajah.
Kondisi ini dipertahankan oleh kekuatan global hingga hari ini. Struktur politik internasional, termasuk PBB, IMf, dan lembaga-lembaga internasional lainnya, dirancang untuk mempertahankan sistem nation-state, mematikan potensi bersatunya umat Islam dalam satu kepemimpinan global.
Palestina: Isu Politik, Bukan Sekedar Kemanusiaan
Inilah yang harus disadari umat Islam. Konflik Palestina bukan sekedar masalah kemanusiaan, melainkan persoalan politik yang menyentuh akar eksistensi umat. Wilayah itu dijajah bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan sistem politik yang mengamputasi potensi pembebasannya. Selama sistem negara bangsa masih dijadikan pijakan, mustahil ada kekuatan nyata yang bisa membela Palestina secara utuh.
Sudah terlalu lama umat Islam terjebak dalam paradigma palsu: bahwa cukup dengan mengirim bantuan, menggalang dana, atau membuat petisi, maka Palestina akan merdeka. Faktanya, penderitaan rakyat Palestina terus berlangsung, bahkan semakin parah. Sebab yang dibutuhkan bukan sekedar simpati, tetapi solusi politik yang hakiki.
Saatnya Bergerak Menuju Kepemimpinan Politik Islam
Umat Islam harusnya mengarahkan perjuangannya pada tujuan politik jangka panjang: membongkar sekat-sekat negara bangsa, dan mewujudkan kembali satu kepemimpinan politik Islam yang menyatukan seluruh negeri-negeri muslim dibawah naungan khilafah. Inilah satu-satunya entitas politik yang mampu menggabungkan kekuatan umat secara global- baik militer, ekonomi, maupun diplomasi- untuk membebaskan Palestina dan seluruh negeri muslim yang tertindas.
Langkah ini tentu tidak mudah, tetapi juga bukan mustahil. Umat Islam telah bangkit dalam kesadaran politik di banyak tempat. Namun kebangkitan ini harus diarahkan pada gerakan yang benar: gerakan politik ideologis yang menolak batas nasionalisme, dan konsisten memperjuangkan tegaknya sistem Islam secara kaffah.
Kesimpulan
Gerakan seperti Global March to Gaza menunjukkan bahwa semangat umat masih hidup. Namun jika semangat ini terus dibenturkan dengan tembok nasionalisme dan batas negara bangsa, maka hasilnya hanya akan berupa frustasi yang berulang. Sudah saatnya umat Islam mengambil langkah politik yang lebih mendasar: menghancurkan sekat-sekat buatan penjajah dan menegakkan kembali institusi kepemimpinan global Islam yang akan menjadi pelindung sejati bagi rakyat Palestina dan seluruh kaum muslimin.
Kita tidak butuh lagi sekedar pintu Rafah terbuka. Kita butuh pintu khilafah ditegakkan kembali.
Wallahu a'lam bishawab
Posting Komentar